***
Di sebuah gang kecil, di sudut perkotaan. Nampak seorang laki laki dan seorang perempuan tengah berdebat.
Entah apa yang tengah mereka bicarakan tidak terdengar begitu jelas.
Suaranya tersamarkan rintik hujan yang mulai turun membasahi kota itu.
"Aku tidak setuju dengan persyaratan yang tuan ajukan itu." tiba-tiba saja terdengar suara lantang seorang perempuan dari tempat itu.
"Terserah kau saja, aku tidak akan menuntut hal yang lain kecuali itu," ucap seorang laki-laki menyahutinya dengan datar.
"Dia itu adikku, aku tidak mungkin menyerahkannya padamu mengerti!" Hardik perempuan itu kembali.
"Mau tidak mau, setuju atau tidak setuju, dan suka atau tidak suka. Aku tetap akan menikahi Kikan adikmu! Bagaimana pun nyawa harus di balas dengan nyawa bukan." Laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke arah perempuan itu.
"Ta-tapi aku?" ucap perempuan itu berusaha untuk menghindar.
"Tidak ada kata tapi, nona Kinan. Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu itu! Aku akan berikan dua pilihan untukmu,"
"Yang pertama kau masuk penjara!"
"Atau?"
"Yang kedua, kasus ini akan saya tutup. Tapi dengan syarat kau berikan adikmu itu sebagai jaminan," ucap laki-laki itu kembali.
"Asal kau tahu tuan, aku tidak mengenal kakakmu! Jadi bagaimana bisa aku membunuhnya?" ucap gadis berusia dua puluh tahun itu seraya menjelaskan.
"Membunuh atau tidak membunuh! Adikmu tetap akan kubawa sebagai tawananku," ucap laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahunan itu.
Mendengar hal itu, tubuh perempuan itu pun langsung terkulai lemas dan terjatuh ke aspal jalanan.
Dirinya tidak menyangka bahwa keputusan yang diambilnya saat itu akan membawa petaka besar dalam kehidupannya. Dan menyeret adiknya dalam permasalahan yang rumit ini.
"Jadi, pikirkanlah dengan baik-baik nona Kinan. Setelah itu kau boleh menemui saya untuk memberitahu jawabannya." Dia berkata seraya meninggalkan tempat itu.
Ya perempuan itu bernama Kinan
Lebih tepatnya Kinan Putri Sinaga.
Perempuan yang bekerja sebagai pegawai cafe itu tidak menyangka bahwa insiden pembunuhan beberapa hari yang lalu ikut menyeret namanya.
Membawa Kinan dalam palung kehancuran yang terdalam.
Bagaimana tidak? Dia harus menyerahkan Kikan adik satu-satunya agar dia bisa terbebas dari tuduhan terduga pelaku pembunuhan saat itu.
***
Cafe jingga . Nampak beberapa orang hilir mudik berdatangan ke tempat itu, ada yang mengadakan pertemuan bahkan juga ada yang berkencan romantis dengan pasangannya.
"Kinan." Panggil Hendrik sang manager pada perempuan yang tengah sibuk membereskan piring sisa makanan bekas pengunjung.
"I-iya pak," ucapnya seraya menghampiri atasannya tersebut .
"Antarkan minuman ini di kamar nomor 40 C," ucap Hendrik seraya memberikan sebuah botol bir serta beberapa gelas kecil pada Kinan.
"Sejak kapan? Cafe ini memiliki 'kamar khusus pengunjung'," batin Kinan seraya melirik sekilas, ke arah nampan yang berisikan bir dan beberapa gelas kecil yang diberikan oleh Pak Hendrik.
"Mengantarkan bir?" batin Kinan lagi
Perasaannya sedikit tidak enak!
"Iyah, ke kamar nomor 40 C." Dia berkata dengan nada bicara yang ketus.
"Ta-tapi sejak kapan? Cafe ini menyediakan kamar khusus pengunjung. Lagi pula pak, bukankah ini tugas Mimi dimana dia," ucap Kinan sembari melihat sekeliling ruangan mencari seseorang yang dimaksud.
"Tidak usah banyak tanya! Mimi aku tugaskan yang lain. Jadi kau gantikan dia untuk sementara." Pak Hendrik berkata seraya memberikan nampan itu.
"Cepatlah! Jangan banyak berfikir, atau nanti aku potong gajimu," ancam Pak Hendrik.
"Ba-baik, Pak," lirih Kinan.
"Kalo bukan demi Kikan! Aku nggak mau kerja begini." Kinan berkata sambil menghela nafasnya.
Setelah kepergian Kinan, Pak Hendrik pun mengambil ponselnya dan menelpon seseorang.
"Tuan, barang yang anda pesan sudah saya siapkan!"
"Kerja yang bagus." Terdengar suara dari ujung telepon menimpali kemudian sambungan telpon pun terputus.
"Untung besar, malam ini," ucap Pak Hendrik.
"Kamar 40 C, oh Iyah yang ini" ujar Kinan yang menemukan ruangan yang dimaksud setelah beberapa kali mencari
Dirinya pun mengetuk pintu ruangan tersebut.
"Permisi tuan, saya mau mengantarkan pesanan," ucap Kinan.
5 menit ...
10 menit ...
15 menit ...
Kemudian,
Lama sekali Kinan menunggu sang empunya kamar untuk membukakan pintu.
Namun, tak terdengar jawaban apa-apa dari dalam ruangan tersebut.
Sampai akhirnya
"Apa, aku masuk aja kali ya?" batin Kinan.
"Sudah 15 menit aku menunggu di sini,"
"Mau sampai kapan lagi? Aku harus terus menunggu." Kinan berkata seraya meraih gagang pintu kamar tersebut.
Saat tiba di depan pintu tiba-tiba saja terdengar rintihan dari tempat tidur.
"Tolong ... tolong, selamatkan saya!" ucap suara itu nadanya sangat lirih bahkan tidak terdengar sama sekali.
"Si-siapa itu?" Kinan berjalan mendekat dirinya tak bisa melihat sosok itu dengan jelas karena ruangan itu dalam posisi gelap.
"Nona, tolong saya. Kumohon ...," lirih Laki- laki itu.
"Tu-tuan kenapa? Kenapa banyak sekali darah di sini," ucap Kinan seraya perlahan menghampiri sumber suara tersebut.
Nampak seorang laki-laki tengah sekarat di atas ranjang kamar itu, tubuhnya bersimbah darah.
Terlihat sebuah pisau tertancap tepat di dada laki-laki tersebut.
Kinan bingung harus berbuat apa? Dirinya pun bermaksud pergi untuk memberi tahu sang atasan atas kejadian ini.
"Tolong, nona cabut pisau ini," ucap laki-laki itu menahan kesakitan.
"Ta-tapi tuan, saya tidak berani!" ujar Kinan berjalan menjauhi ranjang.
"Tolong saya nona, jika nanti saya mati. Setidaknya pisau ini bisa tercabut dari dada saya," ucap laki-laki tersebut memelas.
"Ta-tapi ak-?"
"Sa-sakit nona, to-tolong saya." Terdengar laki-laki itu merintih lagi.
Sampai akhirnya,
Kini terlihat Kinan tengah memegang sebuah pisau berlumuran darah itu.
"Cekrek" terdengar suara jepretan kamera dari depan pintu.
"Akan ku jadikan ini, sebagai barang bukti!" batin laki-laki itu seraya berjalan masuk menghampiri Kinan.
"Hei, apa yang sedang kau lakukan di sini? Di mana kakakku?" ucap laki-laki itu berjalan mendekat ke arah Kinan.
Kinan yang saat itu merasa panik melemparkan pisaunya ke sembarang arah.
"Ka-kak" pekik laki-laki itu kembali.
"Tu-tuan, bu-bukan saya yang-," tubuhnya gemetaran wajahnya langsung pucat pasi. Terlihat beberapa noda darah membekas di pergelangan tangannya.
"Hei, apa yang sudah kau lakukan pada kakakku?" ucap laki-laki itu seraya menatap tajam ke arah Kinan.
"Tu-tuan ini tidak seperti yang tuan bayangkan, say-," ucap kinan
Laki-laki itu menatap tajam ke arah Kinan seraya menghardiknya, "Diam!" Apa yang sudah kau lakukan padanya? kenapa masih mengelak? Jelas-jelas pisau itu ada di tanganmu!"
"Tidak tuan! Ta-tadi tuan itu, yang menyuruh saya untuk mencabut pisau ini." Kinan menjelaskan sembari menunjukan sebuah pisau yang di tergeletak di atas lantai.
"Bohong! Mana mungkin begitu? Mana ada orang yang ditusuk meminta pisau yang menusuknya untuk di cabut? Itu mustahil!" Bentak laki-laki itu kembali.
~Terima kasih sudah membaca~