Jalanan kota Jakarta dipadati oleh kendaraan roda empat dan dua. Kebanyakan dari pengguna motor tersebut ialah tukang ojek, anak-anak sekolah, serta lelaki setengah baya yang ingin pergi bekerja. Saking banyaknya kendaraan bermotor membuat jalanan tertutup asap, kerap kali seorang gadis berseragam putih abu-abu itu melambaikan tangan tepat di depan hidungnya. Berusaha menghalau asap-asap yang mengganggu pernapasan dan penglihatannya.
Tak seperti orang-orang yang berangkat sekolahnya diantar, atau membawa kendaraannya sendiri. Gadis yang bernama Amanda Maheswari itu lebih memilih jalan kaki sambil menjajakan dagangannya ke orang-orang. Setiap dia berpas-pasan dengan orang, Amanda selalu menawarkan dagangannya. Sayang, senyum manisnya berubah kecut ketika tak ada yang bersedia membeli dagangannya.
Amanda Maheswari, gadis berusia tujuh belas tahun yang tinggal bersama mama dan kakaknya. Sayangnya, dia harus merasakan pahitnya lika-liku kehidupan ketika dirinya menginjak usia lima belas tahun. Di saat itu, kakaknya yang bernama Vano Anggara mengidap kanker otak yang mengharuskannya untuk rutin menjalani pengobatan.
Karena itulah mamanya memilih untuk pergi bekerja di suatu perusahaan yang entah Amanda tidak tahu namanya. Namun, sudah dua bulan lamanya mamanya tidak ada kabar sama sekali. Selama itu juga Amanda tidak mendapatkan uang kiriman untuk biaya berobat kakaknya.
Kondisi kakaknya pun semakin parah. Mulai batuk berdarah, mimisan, bahkan sebagian rambutnya sudah mulai rontok. Untuk mencari uang untuk pengobatan kakaknya, Amanda memilih untuk menjual nasi kucing. Setiap pukul dua dini hari dia harus bangun untuk menyiapkan dagangannya. Rutinitas tersebut dia lakukan hingga sekarang.
Namun, uang hasil dagangannya tak pernah cukup untuk berobat.
"Hei! Gue borong semua dagangan lo."
Amanda sontak kaget dan langsung membalikkan badan. Terlihat sosok remaja berseragam putih abu-abu tengah berdiri dengan kedua tangannya yang berada di saku celana. Wajahnya dingin, hidungnya mancung, tatapan matanya pun sangat tajam. Kentara jelas pemuda itu bukanlah orang baik-baik. Preman, sebutan yang cocok untuknya. Dikarenakan telinga cowok itu mengenakan benda seperti anting yang melekat di sana. Serta banyak tato di tangannya.
"Beneran? Semua?" tanya Amanda setengah tidak percaya.
"Iya ... Emangnya kenapa? Lo kira gue miskin?"