Di sebuah rumah tinggal lah tiga orang di dalamnya. Sepasang suami istri dan seorang gadis bersama mereka. Selama mereka bertiga hidup, hanya ada ketenangan tanpa adanya gangguan dari orang luar yang mendesak masuk mengobrak-abrik kerukunan mereka. Warga di sekitar mereka juga damai-damai saja, jarang ada kejahatan malah hampir tidak pernah. Siapa yang tidak menginginkan lingkungan yang aman, damai dan jauh dari tindak kejahatan?
Namanya Hannah, gadis berusia dua puluh dua tahun itu tengah menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri. Ia mengambil jurusan kesehatan, sebagai perawat umum.
Selain mengejar cita-citanya, Hannah juga bekerja sebagaimana bidang yang ia geluti, bekerja di sebuah rumah sakit yang terletak di Parkville, Victoria, pinggiran kota Melbourne, Australia. Sudah hampir setahun setengah dia bekerja di sana. Dan Hannah nyaman akan pekerjaan tersebut.
Dari penghasilan pekerjaannya, Hannah menggunakannya untuk membayar biaya pendidikannya. Ia tidak mau membebani sang paman dan bibi. Cukup dengan mereka mendukung dan memberinya motivasi saja Hannah sudah bersyukur.
"Hannah. Bisa kau bantu aku untuk mengecek pasien?"
"Ah? Iya, tentu dokter." dokter tampan itu tersenyum ucapannya direspons cepat dan baik oleh Hannah.
Dia bekerja sangat giat, rajin dan tekun. Bekerja di rumah sakit besar dan ternama ini tidaklah mudah. Pasti banyak orang yang menginginkannya. Jadi, Hannah harus tetap semangat.
Dosennya yang merekomendasikan dirinya untuk bekerja di sini. Hannah tentu saja tak menolak. Gajinya lumayan besar, sesuai dengan kemampuannya bekerja.
Sambil mengecek, menulis di atas papan yang ia bawa. Hannah sesekali bertanya pada pasien, untuk menghibur sedikit supaya tak merasa bosan dan canggung.
Berbicara panjang lebar dan di depan banyak orang bukanlah keahliannya. Dia sangat gugup, dan takut. Tetapi, Hannah berusaha untuk mengusir kelemahannya iti dengan cara perlahan-lahan.
"Emm, dokter. Apa aku siang ini boleh pulang?"
"Apa kau tidak ada jadwal lagi setelah ini?"
"Tidak, dok. Jadwalku hari ini hanya sampai siang nanti."
"Baiklah. Kalau begitu."
"Terima kasih, dok. Kalau begitu aku permisi."
"Ya." sahut sang dokter.
Ya. Hannah hanya bekerja separuh waktu saja, atau bisa dibilang pergantian shift jika dia ada kelas pagi, maka dia akan bekerja di siang hari sampai malamnya. Begitu pun sebaliknya. Tapi, selama ini Hannah selalu kedapatan siang hari dan pulang sampai malam hari.
*****
"Paman, bibi aku pulang." ucap Hannah riang sembari memasuki rumah sambil menenteng dua buah kantung keresek di kedua tangannya.
Bibi pun keluar, "Kau sudah pulang? Padahal ini masih siang, Hann."
"Iya bi. Jadwalku sampai siang saja. Lagi pula aku juga agak lelah." jawab Hannah sembari meletakkan kantung keresek dan mengeluarkan isi di dalamnya ke meja.
"Aku tadi mampir, beli pancake untuk paman dan bibi. Ini, masih hangat." menyodorkan sekotak pancake yang sudah terbuka kardusnya.
"Kenapa kau selalu membelinya Hann? Uangnya bisa kau gunakan untuk keperluanmu."
"Tidak apa-apa bi. Ini hanya makanan, tidak berlebihan kok."
"Tapi tetap saja, kau membelinya terus-terusan."
Hannah tertawa pelan, "Bibi. Bibi selalu saja mengomel."
"Bagaimana aku tidak mengomel Hannah. Kau itu keras kepala, sama seperti pamanmu." kesal bibi setelah kembali mengambil piring kecil dan garpu untuk mewadahi pancake yang masih hangat itu.
"Ada apa menyebutku?" ucap paman tiba-tiba saja baru muncul dari pintu utama dengan pakaian agak kotor karena tanah.
"Hei? Pancake? Wah, kebetulan sekali aku lapar." senang paman melihat makanan itu di depannya.
Belum sempat menyentuhnya seujung kuku pun, tangan paman sudah lebih dulu ditepis oleh bibi.
"Cuci tanganmu dulu. Lihatlah, tubuhmu kotor nanti makanannya jadi tidak sehat." peringat bibi.
"Hah, ya ya ya. Aku akan mencucinya. Kau ini, selalu mempermasalahkannya."
Hannah menggeleng-gelengkan kepalanya saja, lucu sekali melihat interaksi paman dan bibinya ini. Mereka terus bertengkar seperti kartun film saja, tidak akur.
*****
Malam harinya, Hannah, paman dan bibi makan malam bersama di rumah mereka. Dengan makanan sederhana seperti biasanya. Namun, itu tak menghilangkan rasa nikmat akan kebersamaan semuanya.
Mereka makan dengan hikmat, amat menikmati santapan malam hari ini. Coklat panas tak pernah sekali pun ketinggalan. Pasti selalu ada di meja makan bundar sederhana itu.
Lama tidak ada bunyi suara sepatah kata pun, hanya dentingan antara sendok dan piring serta tegukan air ketika masuk ke dalam mulut lalu mengalir melewati tenggorokan.
Usai makan malam itu, semua orang berkumpul di depan ruang tamu, duduk di sofa kecil minimalis itu.
Hannah terdiam, memikirkan esok pagi ketika kelas dimulai.
Bibi memikirkan akan memasak apa besok.
Paman, sepertinya akan angkat bicara terlihat dari gelagatnya saja.
"Hannah." sang empu menoleh
"Besok malam, kau ikut, ya?"
"Ke mana paman?"
Paman menghela napas sebentar, "Kakek mengundang semua keluarga untuk ke acara pestanya Becca."
Lantas, Hannah sedikit ragu untuk menolak. Bukannya tidak terima kasih sudah diundang acara penting mereka. Hanya saja, dia jadi ingat akan pertemuan keluarga waktu lalu. Perlakuan mereka terhadap dirinya kurang baik, sehingga rasanya Hannah tak mau datang lagi.
"Memangnya, paman dan bibi datang?"
"Iya. Kami semua harus datang katanya. Termasuk kita juga."
"Apakah kau akan datang ke acara itu?" kali ini bibi yang bertanya pada paman.
"Mau atau tidak pun, ayah akan mengirimkan anak buahnya ke sini."
"Kalau begitu, aku ikut paman dan bibi saja. Kalian ikut, aku juga akan ikut." usul Hannah.
"Memangnya kau tidak keberatan Hann?"
"Tidak, paman. Paman tadi bilang kan mau atau tidak pun, kakek akan mengirimkan anak buahnya ke sini. Jadi, lebih baik kita datang saja."
"Hannah, tapi terakhir kali kita datang mereka tidak dengan baik terhadapmu." khawatir bibi.
"Itu kan dulu bi, siapa tahu mereka akan bersikap lebih baik dari sebelumnya."
"Aku rasanya tidak yakin." ragu paman.
Setelah perbincangan itu, mereka memutuskan untuk datang ke pesta Becca di rumah kakek. Oh maksudnya kediaman kakek.
Anggota keluarga itu terbiasa membuat acara di sana, karena tempatnya yang luas dan tempatnya yang indah sangat cocok untuk digunakan sebagai acara penting-penting seperti pesta dan lainnya.
Kalau sudah begini ceritanya, semua keluarga harus bisa datang, meski ada acara penting lainnya. Karena katanya, keluarga itu nomor satu dari yang lainnya, harus paling diutamakan.
Namun, di setiap rumah pasti ada kelebihan dan kekurangan. Tidak ada yang bisa disembunyikan, apalagi dari bagian keluarga itu sendiri.
Hannah, mendapatkan perlakuan kurang pantas ketika berkumpul menjadi satu. Dia biasanya selalu diabaikan, bahkan tidak dianggap.
Kadang Hannah berpikir apakah mereka sangat benci kehadirannya? Sehingga, mereka mengacuhkannya. Padahal, Hannah selalu berusaha untuk bisa lebih dekat dengan mereka. Mencoba membuka obrolan kecil, tapi, mereka langsung pergi dan tidak menggubrisnya.
Hal itu membuat dada Hannah sesak ingin menangis.
Mereka berlaku baik, hanya ketika ada kakek saja. Ketika kakek tidak disekililing, mereka kembali pada karakter asli mereka.
Yang menjadi pikiran Hannah selama ini adalah bagaimana dia bisa santai dan dekat dengan orang baru? Dia tidak punya teman di kampusnya. Hannah terbiasa sendirian. Belajar, makan, bekerja.
Tapi, semua masalah itu tidak mematahkan semangatnya. Justru ia jadikan motivasi hidup. Bahwa hidup di dunia ini sangatlah kejam. Ada banyak orang jahat, dan banyak orang baik. Tinggal diri sendiri lah yang mencari jalan menuju bertemu orang baik itu sendiri.
Mencari teman sejati tidak lah semudah mencari lawan.
Manusia kadang bersikap romantis saat di depan, ketika di belakang mereka akan berubah seperti seorang psikopat yang jahat tak punya hati.
Hannah selalu yakin. Di suatu saat nanti, dia akan bertemu pasangan yang baik dan mengerti dirinya apa adanya. Menerima segala kekurangannya, dan mau membangun dunia kehidupan dengan saling melengkapi kekurangan diri masing-masing.
Tapi apakah ada orang seperti itu di dunia ini? Kalau ada, berikanlah satu... Saja untuk Hannah.
Bersambung...