"Morning Mom! Makin cantik aja Mommy tiap hari."
Seorang pemuda berjalan menghampiri sebuah tempat. Pemuda itu juga membawa sebuket bunga camelia.
"Aku bawakan bunga kesukaan Mommy. Bay the way, Daddy gak mau ketemu sama Mommy. Masih ngambek mungkin."
Pemuda itu duduk bersimpuh di depan sebuah pahatan batu besar, bunga camelia yang tampak segar itu ia letakan di pahatan batu bertuliskan nama seseorang yang sangat ia sayangi.
"Miss you Mom. Aku akan selalu merindukan Mommy," ucap pemuda itu, wajahnya menyendu seraya membelai pahatan batu itu.
"Mom tahu, setiap hari aku berharap ada seseorang yang dapat mengubah hati keras Daddy. Aku tahu dia sangat mencintai Mommy, tapi aku juga tak mau selamanya Daddy sendirian tanpa pendamping." Pemuda itu menyandarkan kepalanya di batu yang merupakan batu nisan itu.
Ketukan dari suara sepatu pantofel dengan ubin terdengar dengan jelas ketika seorang pria bertubuh tinggi dan besar melangkah, mendekat ke arah pemuda yang tengah sibuk bercerita di depan sebuah makam.
"Kita pulang!" seru pria berjaket tebal itu.
Walaupun pemuda itu mendengar seruan dari pria itu, tapi ia tak bergeming. Malah pemuda itu acuh tak acuh.
"Vain!" panggilnya.
"Mommy, coba lihat kelakuan Daddy yang tidak menghargai Mommy sedikitpun," gumam pemuda itu seraya melirik ke arah pria yang sedang berdiri di sampingnya.
"Vain!" panggil pria itu lagi.
"Ya Dad, aku tidak tuli," sahut pemuda yang dipanggil Vain itu.
Ia pun berdiri. Sebelum pergi, terlebih dahulu ia mencium batu pahatan yang bertuliskan Karen. Lalu ia pergi begitu saja, tanpa menoleh ke arah pria bertubuh tinggi besar itu.
Pria yang dipanggil Daddy oleh pemuda itu hanya melirik dengan wajah datar. Lalu, setelah itu ia juga pergi meninggalkan makam itu.
Angin musim gugur kali ini sangat dingin dan juga cukup kencang. Daun-daun di makam itu berterbangan kemana-kemana, hingga menutupi jalanan yang ada di makam itu. Pria yang mengenakan jaket tebal dan syal itu menghentikan langkahnya sejenak, ia membalikan tubuhnya menatap makam yang tak jauh dari ia berdiri sekarang.
"Angin yang masih sama kurasakan saat kau masih ada di dunia ini, Kareen, tapi keadaannya tak sama lagi. Dulu selalu ada kau yang memelukku." Pria itu bergumam dalam hati.
Batu bertuliskan Kareen itu adalah makam istrinya yang sudah hampir 10 tahun ini meninggalkannya. Namun hingga kini, tak pernah ia duduk bersimpuh sambil bercerita seperti yang dilakukan sang putra yang ia panggil Vain itu. Bukan tidak mau, hanya saja, pria itu tak ingin larut dalam kenangannya bersama sang istri di masa lalu.
.
.
Darren Alexander Loyard, pria berumur 35 tahun adalah duda dengan satu anak. Istrinya meninggal 10 tahun yang lalu akibat penyakit langka yang menyerang hatinya. Dia adalah seorang pria flamboyan, tampan, tapi sangat dingin terhadap orang sekitarnya, sekalipun itu adalah putra semata wayangnya Zarga Agvain Loyard. Namun sebenarnya ia sangatlah menyayangi putranya yang berumur 20 tahun itu, hanya saja ia tak bisa memperlihatkan rasa sayangnya. Dulu, sebelum sang istri meninggal, Darren adalah sosok pria yang hangat dan penuh perhatian. Namun semenjak istrinya pergi untuk selamanya, ia menjadi sosok yang berbeda. Hidupnya monoton, hanya bekerja dan bekerja setiap harinya. Diumurnya yang hampir menginjak kepala empat itu, tak pernah sekalipun ia terikat hubungan dengan seorang wanita. Hanya rumor-rumor konyol yang selalu menghubung-hubungankannya dengan wanita diluaran sana, tapi hingga sampai detik ini tidak ada yang terbukti. Darren tetap sendiri.
Sedangkan Zarga Agvain Loyard, ia putra semata wayang Darren yang masih berumur 20 tahun, dan masih duduk di meja kuliah. Sifat Zarga, panggilannya, sangat berbeda dengan sang ayah. Bagaikan langit dan bumi, Zarga pemuda yang ceria, humoris dan hangat, persis seperti mendiang sang ibu. Soal ketampanan, jangan ditanya lagi. Ia tak kalah tampan dan mempesonanya dengan sang ayah, itulah mengapa dia menjadi pemuda yang suka bergonta-ganti pasangan tak seperti ayahnya. Zarga tak pernah sedikitpun kekurangan soal materi, ia hidup dengan kemewahan sejak kecil, karena sang ayah memang dari keluarga terkaya di kota itu. Sang ayah selalu memberikan apa yang dia mau tanpa harus bersusah payah.
"Dad, besok aku ada kegiatan di luar kampus yang mengharuskan aku ke luar negeri. Nih surat izinnya!" Zarga menyerahkan amplop putih kepada sang ayah yang tengah duduk di ruang santai sambil menatap benda pipih di depannya.
"Aku tidak mengizinkanmu pergi," ucap Darren.
"What?" Zarga begitu terkejut dengan ucapan sang ayah.
"Aku bukan anak kecil lagi Dad, traveling adalah hobiku. Dad tidak boleh melarangku!" protes Zarga.
"Sekali tidak, tetap tidak Vain." Darren berucap tanpa menoleh sedikitpun kepada sang anak, ia tetap sibuk dengan tabletnya.
Zarga mengepalkan tangannya erat. Sifat yang paling ia benci dari sang ayah, tak pernah memperbolehkannya keluar dari jalur kota ini. Sang ayah terlalu overprotektif padanya, hingga tidak bisa pergi kemana-mana selain kota yang ia tinggali ini. Alasannya tetaplah sama, demi menjaga keamanan dirinya. Tapi ia sudah bukan anak kecil lagi, kini ia sudah dewasa. Sifat sang ayah berubah menjadi over protektif semenjak tidak adanya sang ibu. Darren selalu mengawasi sang anak dengan menyuruh anak buahnya mengikuti kemanapun sang anak pergi, Zarga sebenarnya tahu jika dia diawasi tapi ia tak peduli. Ia tetap melakukan kegiatan yang ia sukai. Walaupun pada akhirnya ia akan bertengkar dengan sang ayah.
"Tidurlah, sudah malam," ucap Darren kepada sang anak seraya beranjak dengan membawa tabletnya.
"Apa kau memperlakukanku karena permintaan Mommy, he? Jawab Darren!" Ucapan Zarga membuat Darren berhenti dalam langkahnya.
"Kalau kau sudah tahu, kenapa kau masih membantah?" balas Darren dingin.
Hampir setiap hari ayah dan anak itu berdebat dan pada besoknya mereka sudah akur kembali, tapi tetap dengan sikap yang dingin, terutama Darren sang ayah. Zarga tak kaget dengan sikap sang ayah yang seperti itu.
Darren lalu melanjutkan langkahnya menuju lantai atas, tempat kamarnya berada.
"Wait Dad!"
Lagi, Darren menghentikan langkahnya. Belum sempat ia menoleh, Zarga sudah melayangkan bogeman padanya, tapi itu jelas meleset, karena Darren dengan cepat menghindar. Tak mau kalah, Zarga ingin menendang sang ayah dengan lututnya, tapi sekali lagi Darren menghindar dengan mudahnya.
"Stop Vain! Ini bukan tempat untuk bertarung," ucap Darren, tapi tak didengar oleh sang anak. Zarga malah berulang kali menyerang sang ayah, tapi Darren selalu menghindar.
Ini bukanlah kali pertamanya mereka melakukan hal seperti ini, jika mungkin ada orang asing di mansion itu pastinya akan terkejut. Para pelayan yang kebanyakan para pria itu hanya bisa diam melihat ayah dan anak itu.
"Zarga, Darren stop!"
Teriakan seorang pria tua menghentikan pertarungan mereka. Dengan tongkatnya, pria tua itu menghampiri ayah dan anak itu.
"Apa-apaan kalian berdua, he? Apa kalian tidak bosan setiap hari seperti ini terus, kalian anak dan ayah harusnya saling melindungi dan menyayangi, bukan malah seperti ini," tutur pria tua dengan topi koboy itu.
"Grandpa berisik! Aku dan Dad hanya melatih kemampuan saja, masa gak ngerti?" ujar Zarga seraya berlalu meninggalkan sang kakek dan sang ayah.
"Cucu durhaka!" umpat pria tua yang dipanggil Zarga grandpa itu.
"Sudahlah Ayah, lebih baik kita berbincang di ruang kerjaku," ucap Darren seraya merapikan kaos hitamnya.
Pria tua itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ayah dan anak itu. Dulu mereka tak pernah seperti ini, walaupun itu hanya bercanda, tapi Matteo, nama pria tua itu tetap saja geram melihatnya.
"Ada apa Ayah kemari?" tanya Darren, ia meletakan macbooknya di atas meja kerjanya.
Matteo menghela napas panjang seraya duduk di sofa. "Darren, kau juga belum menemukan wanita yang cocok untukmu? Apa perlu aku kenalkan lagi dengan wanita diluaran sana?" tanya Matteo.
Darren menyeringai, ia lalu berjalan mengambil botol anggur yang berjajar rapi di ruang kerjanya, tidak lupa ia juga mengambil dua buah gelas untuk dirinya dan sang ayah.
"Sudahlah Ayah, aku tidak tertarik dengan wanita pilihanmu yang agresif-agresif itu," sahut Darren seraya duduk di sofa single yang langsung berhadapan dengan Matteo, dituangnya minuman anggur itu ke gelas miliknya dan sang ayah.
"Hahaha ... begitulah wanita-wanita Eropa Darren, tak seperti wanita-wanita Asia yang malu-malu kucing," ucap Matteo. Pria tua itu lalu menyesap minuman terbaik yang dimiliki Darren.
Darren hanya tersenyum tipis, menampakan sedikit gigi putihnya.
"Ngomong-ngomong Darren, kau tidak melanjutkan mencari jejak wanita asia yang dulu pernah menolongmu?" tanya Matteo serius.
Darren terdiam saat ia baru selesai menyesap anggurnya. "Aku sudah menghentikannya lama, aku tidak ingin lagi berurusan dengan wanita. Kau tahukan, tanpa menyentuh maupun memiliki kemampuan khusus wanita bisa dengan mudah menaklukan seorang pria."
"Ya aku itu, tapi wanita asia itu yang membuat kau hidup sampai sekarang bukan. Kau tidak ingin balas budi?" tanya Matteo menyelidik.
Darren diam tak menjawab pertanyaan Matteo. Ia berpikir yang dikatakan Matteo ada benarnya juga, setidaknya ia memberikan sedikit hadiah pada penyelamat hidupnya itu.
Beberapa menit kemudian, suara ketukan keras terdengar dari pintu ruang kerja Darren.
"Tuan Darren! Tuan Darren, gawat!" Panggilan dari pelayan itu membuat Darren dan Matteo terkejut.
"Ada apa?" tanya Darren seraya membuka pintu.
"T–tuan muda Zarga, Tuan. Di–dia kabur," jawab pelayan itu dengan panik.
"Kabur?" Matteo melototkan kedua matanya. Sedangkan Darren hanya bersikap biasa saja.
"Darren, kau harus kejar Zarga! Bisa saja terjadi apa-apa dengan cucuku," ucap Matteo ikut panik dan khawatir.
"Ayah tenang saja, dia tidak akan berani pergi jauh dari kota ini. Jika dia pergi pun, aku dapat melacaknya dengan mudah," jawab Darren santai.
"Darren, kau tidak bisa sesantai itu. Kau tahu kan seperti apa Zarga?" ujar Matteo sambil mengarahkan tongkatnya pada Darren.
"Ya aku tahu." Darren menyingkirkan tongkat itu dari dadanya, lalu beranjak bersama pelayan yang tadi melaporkan Zarga.
"Hei ... heii! Darren, mau ke mana kau?" ucap Matteo sedikit keras. Matteo jelas geram pada Darren saat melihat Darren yang malah berjalan menuju sebuah ruangan khusus.
"Darren!" Matteo akhirnya berteriak memanggil Darren sambil berusaha menyusul anak sulungnya itu susah payah karena tubuhnya yang sudah reot.
"Aw ... aw ... pinggangku!" pekik Matteo seraya memegangi pinggangnya yang terasa sakit.
"Anak sialan! Rematik ku jadi kambuh lagi!" gerutu Matteo. Pria tua itu lalu berjalan dengan sangat pelan dengan menggunakan tongkatnya untuk menyusul Darren.