Chereads / Black Roses Storm / Chapter 4 - Chapter 04

Chapter 4 - Chapter 04

Saat malam hari berikutnya yang begitu dingin, dia berjalan diantara tiang tinggi lorong yang cukup hangat. Tidak gelap, ataupun menyeramkan seperti kastil hantu atau kastil penyihir. Tempat ini sangat keras, pilar-pilar nya, dindingnya, dan semuanya telah dipersiapkan dan dibangun dengan baik. Kokoh dan dapat melindungi.

Dia memakai jubah hitam, tidak seperti biasanya namun itu bisa menggambarkan suasana hatinya setelah wanita itu meninggalkannya. Rasanya sangat dingin, sangat sepi, dan hampa. Ketika dia melewati ruangan pintu besar sebuah pertemuan, tidak sengaja pintu itu terbuka dan langkahnya berhenti disana. Menolehkan kepalanya untuk sesaat dan melihat siapa saja orang-orang di dalamnya.

Netra yang jernih menangkap empat sosok orang yang paling berkuasa. Mereka tinggi dan besar, mereka sangat kuat. Aura mereka terlalu kuat dan mendominasi.

Meskipun sedikit pintu terbuka tetap saja, Zallena tidak bisa mendengar mereka. Dia hanya bisa melihat mereka yang sedang berbincang serius. Ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tetapi satu hal yang pasti, anak-anak muda ditempat ini dilarang melihat, mengganggu ataupun mencoba mendekati ruangan itu. Ruangan untuk bernegosiasi, berunding, saling berkomunikasi dan merupakan tempat yang paling utama bagi keempat pemimpin itu.

Keempat orang itu adalah, Jackon Liime yang berusia 47 tahun. Dia merupakan yang paling tua diantara mereka. Orang kedua adalah Larxon Baggio, usianya 45 tahun dan dia adalah yang paling tinggi diantara mereka. Kemudian pria yang duduk paling megah, dan juga memiliki aura yang sangat kuat dengan pakaian serba hitamnya adalah Hulius Bernan. Usianya 35 tahun dan dia adalah yang paling berkuasa. Auranya sangat dingin dan kaku. Tidak ada siapapun yang berani menyapanya saat dia berada diantara orang-orang.

Orang terakhir adalah Hallaela. Seorang wanita berusia 35 tahun dengan rambut pirang yang pendek. Dia satu-satunya wanita yang diijinkan memiliki perdebatan dengan mereka. 

Mereka memiliki kekuatan yang magis. Sebab itulah mereka pemimpinnya disini. Aura mereka terasa sangat berbeda. Benar, orang-orang dengan bakat lahir mereka sangat berbeda dengan hanya melihat kehadiran mereka.

Zallena menoleh lagi, tidak menatap mereka. Dia menelan ludahnya. Terasa sulit saat dia merasa dirinya berada dalam timbangan yang kosong. Dia berada dalam keadaan yang tidak tahu dengan pasti dia memiliki apa. Ketika dia berdiri memikirkan semua itu, hembusan angin yang dingin dan aura yang familiar berhembus dibelakang rambutnya. Itu terlihat jelas, dia merasakan bahunya yang tiba-tiba saja menggigil.

Zallena menoleh ke belakang, netra nya yang jernih memandang ke sekitar, dan dia berjalan menjauhi tempat itu mengikuti arah angin yang lewat tadi dan berjalan ke depan.

Perasaan ini adalah perasaan yang sama ketika dia mimpi buruk kemarin malam. Angin kecil itu seperti memiliki sesuatu dan aura itu sangat familiar meskipun dia tidak pernah bertemu, ataupun merasakannya sesering yang seharusnya sehingga dapat dikatakan familiar.

Kakinya berjalan menjauh, menyelusuri lorong raksasa itu. Dia tidak tahu dia ingin kemana. Dia hanya berjalan-jalan disana.

Saat tubuhnya ditengah lorong aula, dia merasakan angin itu membelai jubahnya, sehingga dia terkejut dan hatinya terasa bergetar. Dia berbalik dengan terkejut, mencari-cari sesuatu yang aneh itu. Tetapi dia tidak dapat menemukannya. Semilir angin itu seperti ingin mengatakan sesuatu atau memberitahu sesuatu sehingga tubuhnya bereaksi dengan hebat.

Kini ia merasakan aura dingin diseluruh tulang-tulang nya.

"Apa ini...?" Dia bertanya kepada dirinya sendiri.

Nafasnya memburu..... "Rasanya aneh... Apa yang terjadi?," Dia lagi-lagi bertanya kepada dirinya sendiri. Dia tidak melihat siapapun. Ruangan itu sungguh kosong dan itu membuatnya sedikit takut dan sangat penasaran.

"Kau sangat suka sendirian."

Gadis itu menoleh dengan cepat. Dia menemukan seorang anak laki-laki dengan jubah cokelat gelap yang sedang duduk dengan kaki yang menggantung dan gigitan apel merah ditangannya.

"Andreo?," Sosok matanya menangkap siluet itu dan menatapnya heran.

"Apa yang kau lakukan disini? Apa kau yang datang sejak tadi dan mengikutiku?,"

Dia tampak berdiri mematung dan memandang anak laki-laki berambut cokelat pirang itu. Dia kemudian berhenti mengunyah apel. Memandang Zallena dalam diam dari tempatnya duduk.

"Ya, sejak tadi aku disini. Aku yang seharusnya bertanya padamu. Sedang apa kau mengendap seperti itu? Seperti seorang pencuri di dalam kastilmu sendiri...," Dia balik bertanya.

Dalam beberapa saat dia kembali memakan apelnya.

Zallena menatap lama laki-laki itu. Mereka seusia dan mereka selalu bersama saat dalam rombongan, entah itu keluar mencari sesuatu atau berlatih sesuatu.

"Jadi... Kau disini? Kenapa...?"

Tanyanya. Dia merasa aneh, golongan laki-laki berada di kastil yang berbeda dan mereka tidak diijinkan masuk ke dalam kastil perempuan. Kecuali jika ada tugas. "Kau punya tugas?,"

Anak itu menggeleng.

"Tidak..." Dia lalu menjatuhkan tubuhnya dan apel baru masih setengahnya. Dia berjalan dalam tatapan tajam menghampiri Zallena.

"Aku hanya bosan, dan aku ingin ke tempat lain. Aku senang disini, lebih kosong dan dingin dibanding kastil yang lain."

Dia mendekati Zallena dan kini sedang berdiri di hadapannya. "Kau tahu kau tidak boleh datang ke sini. Kau akan menerima hukuman." Ujar Zallena tidak yakin mengapa laki-laki itu berada disini.

"Mengapa kau khawatir? Aku bisa tidak terlihat oleh siapapun. Kau lupa?," Dia tersenyum miring lalu menggigit kembali buah apelnya.

"Aku tidak percaya. Kau sepertinya sedang melakukan sesuatu." Ujar Zallena lagi. Dia sempat memicingkan matanya. Andreo tersenyum lagi, senyuman itu sungguh tampak licik. Dia memang orang Yangs sedikit licik seperti rubah abu-abu gelap.

"Bukan urusanmu. Aku bilang aku hanya bosan." Jawabnya lagi.

"Baiklah, lalu kenapa auramu berbeda, kau terasa berbeda."

Sebelah alis anak itu terangkat. "Berbeda? Apanya yang berbeda?,"

Tanyanya. Andreo memiliki kemampuan seperti berkamuflase dia sangat pintar menyamar menjadi apapun. Sehingga dia suka bertindak sesukanya.

"Maksudku auramu. Energimu. Apa kau disini dari tadi?,"

Laki-laki itu menatap wajahnya sepenuhnya, dia lalu menggigit lagi buah apelnya setelah hampir habis lalu berbalik dan berjalan perlahan-lahan. "Apa yang kukatakan kurang jelas? Aku disini sejak tadi, tidak kemanapun. Meskipun kemampuanku berkamuflase baik tetapi jika berjalan-jalan energiku tetap bisa dikenali orang. Pertanyaanmu tidak cukup berguna..."

Dia kemudian berhenti. Perkataan itu sama sekali tidak membuatnya kesal. Zallena hanya menghela nafasnya. Tiba-tiba saja Andreo berbalik, dan dia kembali berjalan mendekatinya.

"Kau bisa merasakan energi? Itu artinya kau memiliki sesuatu. Apa aku benar? Tidak mungkin seseorang biasa bisa merasakan energi seseorang..."

"Aku tidak tahu." Balas Zallena kemudian terdiam. Andreo memicingkan matanya dan dia menaruh tangannya di dagu.

"Hmm, kau akan segera menemukannya."

Zallena kemudian berpikir, jika Andreo berada disini sejak tadi. Lalu energi yang ia rasakan itu tadi sejak diruangan itu. Milik siapa itu? Ataukah hanya angin biasa? Ia tidak begitu yakin. Itu membuatnya gelisah.

"Aku akan pergi. Aku tidak ke sini untuk bertemu denganmu. Jangan terlalu larut dalam kesedihanmu. Kau harusnya latihan keras hari ini."

Dengan kibasan angin cepat dia seperti menghilang dari balik jubahnya. Yang sebenarnya, dia tetap berjalan pergi seperti biasanya orang-orang berjalan hanya saja dia membuat dirinya tidak bisa dilihat orang dengan memposisikan dirinya sebagai tempat yang ia lewati.

Zallena memandang ruangan yang kembali kosong. Dia bisa merasakan energi Andreo yang kini perlahan pergi. Aura ini jelas berbeda. Bukan seperti aura yang ia rasakan saat angin kecil itu menyapanya. Sepertinya laki-laki itu juga tidak melihat saat jubahnya seakan disapa oleh angin aneh itu. Dia tidak merasakan lagi hawa yang dingin itu. Sejak Andreo datang.

Zallena ingin mencari tahu tapi dia tidak tahu bagaimana.

Mungkin dia terlalu banyak berpikir akhir-akhir ini sehingga dia merasa aneh pada dirinya sendiri. Setelah berdebat dengan pikirannya sendiri, Zallena melangkah pergi dari sana.

Setelah kepergiannya, sesuatu yang berwarna hitam seperti sehelai bulu, terlihat mengambang di atap pilar yang tinggi. Angin-angin kecil kemudian membawanya pergi dari sana, seolah-olah dia hanya berada untuk tetap memperhatikan setiap gerak gerik gadis itu. Kini ruangan itu benar-benar kosong dan dingin.

***