Ketika hendak membuka pintu toilet, tiba-tiba saja aku mendengar sesuatu yang membuat tubuhku seketika mematung.
"Kamu yakin? Kamu gak salah dengar, kan?"
Aku menajamkan pendengaran. Mendekatkan telinga pada pintu ketika seseorang di luar sana mengulangi pertanyaannya.
"No! Kuping gue masih bisa mendengar dengan jelas. Dan gue gak nyangka kalau ternyata Sam itu cuman jadiin Naya sebagai bahan taruhan sama teman-temannya. Dan satu lagi! Barusan gue juga lihat kalau si Sam itu nerima sejumlah uang dari temen satu gengnya."
"Gue gak nyangka. Padahal, kan, Naya itu cantik. Banyak yang ngejar-ngejar dia buat dijadiin pacar. Kok, bisa-bisanya Sam jadiin Naya sebagai taruhan?"
"Nah, justru karena cantiknya itu. Naya terlalu sombong dan menolak setiap cowok yang nembak dia. Mungkin itu sebabnya Sam sama temannya itu taruhan."
Apa? Sam jadiin aku sebagai bahan taruhan? Dasar cowok gak tahu diri!
Braaak!
Dengan emosi aku membuka pintu toilet secara kasar, sehingga kedua orang yang sedang asyik membicarakan aku dan Sam itu pun terkejut. Apalagi setelah mereka melihat wajahku.
"Eh, Na-Naya. Lo di dalem?" tanya salah satu dari mereka dengan raut wajah yang terlihat pucat.
Tanpa menjawab, aku melangkah dengan gusar menuju kantin yang berada di belakang sekolah. Tempat Sam biasa berkumpul dengan teman-temannya.
Dada ini bergemuruh. Detak jantungnya pun berdetak tak beraturan dengan ritme yang cepat. Rasanya tangan ini ingin sekali menampar mulut cowok itu.
Seiring kaki melangkah, bayangan kata-kata manis yang selalu Sam ucapkan untukku seketika menambah kadar kemarahan di dalam hati.
Bagaimana tidak marah? Dia adalah pacar pertama yang seharusnya memiliki kesan paling manis dalam sejarah. Aku sangat menyesal! Kenapa dulu aku bisa-bisanya terhanyut ke dalam rayuannya. Sementara sekarang, dia membanggakan diri di hadapan teman-temannya atas kemenangan taruhannya itu.
Dasar cowok kurang ajar!
Tepat dugaan. Cowok itu berada di sana sambil tertawa terbahak bersama gengnya. Mata ini memanas melihat wajah cowok yang sudah menjadikan aku sebagai bahan taruhan. Di tangannya memang ada sejumlah uang ratusan ribu. Setelah itu, dia memasukkan uangnya ke dalam dompet. Gegas aku pun mempercepat langkah menuju tempat tujuan.
Plak!
Tangan ini menampar pipi kirinya dengan penuh amarah. Seketika semua yang ada di dalam kantin pun melihat ke arahku. Sementara Sam terlihat beberapa kali mengerjapkan kelopak matanya sebelum akhirnya dia menatapku dengan tajam.
"Apa?" bentakku. "Mau marah?"
Sam mendengkus kasar sembari mengelus pipinya yang sudah kemerahan itu.
"Kita putus!" ujarku dengan nada penuh penekanan pada setiap katanya.
"Heh!" Lagi-lagi cowok tidak tahu diri itu mendengkus kasar. Matanya menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Lagian siapa yang mau pacaran sama lo? Kalau bukan karena uang, gue ogah punya cewek yang sangar kayak lo."
Apa? Sangar dia bilang?
Dengan cepat aku melangkah ke meja sebelah lalu mengambil segelas jus mangga di atas meja tersebut. Entah itu milik siapa? Aku tidak peduli. Karena saat ini yang ada di pikiranku adalah ingin melampiaskan kekesalan terhadap makhluk tak tahu diri itu.
Dengan sekali gerakan, aku mengarahkan jus mangga itu sembari membalikkan badan menghadap Sam.
Byuurr!
Ups! Aku salah sasaran.
"Eh ... sorry, sorry," ucapku kepada cowok yang tidak sengaja telah aku siram. Namun, sepertinya dia anak baru. Sebab, baru kali ini aku melihatnya.
Sam dan teman satu gengnya terlihat puas menertawakan aku. Sementara cowok yang telah aku siram dengan jus mangga itu hanya menatap tajam tanpa mengatakan apa pun sampai dirinya pergi begitu saja.
Aku mengepalkan kedua tangan dengan kuat. Kemudian melayangkan tinju tepat di hidungnya. Rasakan! Siapa suruh menertawakan aku! Kepala Sam pun mendongak ke atas lalu dengan beringas dia berdiri hendak melawanku. Namun, bel sekolah lebih dulu berbunyi. Aku pun menyeringai puas dan berlalu pergi meninggalkan sekumpulan orang-orang menyebalkan itu. Namun, aku sempat mendengar ancaman dari Sam sebelum aku benar-benar menjauh dari mereka.
"Lo bakalan nangis darah meminta belas kasihan dari gue, Nay!"
Sesampainya di dalam kelas, aku mengernyit melihat bangku Indira kosong.
"Indira gak sekolah?" tanyaku kepada Vina, teman sebangku denganku. Wanita berkacamata itu menggeleng pelan sembari melihat bangku milik Indira yang tepat di belakang bangku kami.
"Indira kenapa, ya, Nay? Kok, gak biasanya?" Vina malah balik bertanya.
"Aku juga gak tahu. Besok kalau masih gak sekolah, kita ke rumahnya, yuk," ajakku yang dibalas anggukan oleh Vina.
Aneh memang. Sudah tiga hari Indira tidak masuk sekolah tanpa memberikan kabar apa pun. Biasanya, dia yang paling rajin. Datang paling pagi sebelum yang lain tiba di sekolah. Katanya, dia tidak mau menyia-nyiakan waktu. Lebih baik, menunggu bel berbunyi sembari membaca buku. Iya, sih. Dia memang selalu menjadi juara kelas dan dijuluki sebagai kutu buku di sekolah.
Tak lama kemudian, Sam pun memasuki kelas. Cowok itu menatapku dengan tajam. Pun tangannya terlihat mengepal. Mungkin dia masih marah karena belum puas dan tak sempat membalas. Sementara aku mendelik lalu mengerling malas.
Dia pikir aku akan takut dengan ancamannya! Tidak akan! Memangnya siapa dia?
Sudah beberapa menit dari bel masuk berbunyi, tetapi belum ada tanda-tanda kalau guru akan memasuki kelas. Biasanya, akan ada salah satu teman sekelas yang berteriak memberitahu jika terlihat ada seorang guru yang sedang berjalan menuju kelas.
"Hidung lo kenapa, Sam? Orang mah nangis darah itu di mata, lo malah di hidung," ujar Rudi menertawakan hidung Sam yang memerah dan sedikit mengeluarkan darah.
Ternyata tanganku ini lumayan kuat juga.
Sam menatapku dengan tajam ketika aku melirik ke belakang. Tepatnya, sih, aku mau melihat ekspresi cowok menyebalkan itu ketika mendapat ejekan dari temannya.
"Ada Busur!" teriak Niko sembari berlari ke arah bangkunya. Dan semuanya pun sontak mengambil posisi rapi di bangkunya masing-masing. Begitu pun denganku.
"Selamat pagi anak-anak," sapa Ibu Suratmi— guru bahasa Indonesia di sekolahku—begitu memasuki kelas.
"Pagi, Bu!" Serentak semua yang ada di dalam kelas pun menjawab.
Busur. Itulah nama yang diberikan oleh teman-teman untuk beliau. Entahlah ... semua guru di sini mempunyai nama kesayangan dari para murid-muridnya.
Sebelum memulai pelajaran, Bu Suratmi menanyakan keadaan hidung Sam. Namun, cowok itu hanya menjawab kalau hidungnya itu terbentur dengan helm temannya saat rem mendadak. Bu Suratmi pun percaya lalu meminta Sam untuk menjadi juru tulisnya di papan tulis.
Hal itulah yang awalnya membuat aku menyukai Sam setelah beberapa kali dia menyatakan cinta kepadaku. Dia selalu dipilih oleh para guru untuk menjadi juru tulis di papan bor dan dia pun selalu berani tampil ke depan untuk menjawab soal dari para guru.
Aku mengernyit ketika Sam menyimpan selembar kertas di mejaku tanpa sepengetahuan Bu Suratmi. Tangan ini pun meraihnya lalu membacanya.
"Tunggu pembalasan dari gue karena sudah berani membuat gue malu di hadapan teman-teman gue."