Setelah dua jam pelajaran yang hanya di isi dengan perkenalan dan dilanjut dengan penunjukan anggota inti seperti ketua, wakil, sekertaris. Untuk anggota lainnya masih menyusul dan dipilih secara acak.
"kamu mau beli apa nanti?" mereka sedang perjalanan menuju ke kantin "kayanya siomay aja deh" Cahaya mengangguk "Kamu apa?" Inje balik bertanya "aku pengen batagor" Kali ini Inje yang mengangguk.
Kantin benar-benar penuh dan sesak. Antrian batagor dan siomay pun tak kalah banyaknya. "Kita langsung nunggu di kelas aja ya nanti biar ga tunggu-tungguan" saran Cahaya. Benar juga. Melihat antrian yang sebegini banyaknya pasti akan lama dan justru tidak sempat makan.
Mereka berpisah dan mengantri di barisan masing-masing. Inje melihat kearah pojokan dimana ada Putra dan teman-temannya sedang asik mengobrol. Sebenarnya ada beberapa kakak kelas juga, karena bet kelasnya menunjukan seperti itu.
Inje terkadang kagum dengan jiwa sosialnya Putra karena dia bisa dengan mudah akrab dengan orang lain. Berbeda dengan Inje yang tidak mudah bergaul. Harusnya perbedaan ini menjadi penghambat untuk pertemanan mereka tapi entah mengapa justru mereka masih bisa berteman sampai sekarang.
Mungkin karena Putra yang memaksa untuk tetap berteman.
Giliran Inje memesan siomay yang akan dia makan dan menunggunya.
Sebelum kembali kekelas Inje bersitatap dengan Putra yang tersenyum lebar kearahnya sambil melambaikan tangan. Inje hanya membalas dengan lambaian tangan singkat dan segera balik ke kelas sebelum penggemar Putra memergokinya.
Karena Inje yakin perempuan yang hampir setengah di kantin pasti merupakan penggemar Putra. Kalau sampai ketahuan sudah dipastikan akan ada yang mencegatnya saat pulang. Inje sudah sangat hafal dengan kejadian seperti itu. Dan dia sangat trauma.
Hidupnya benar-benar jauh dari kata tenang. Baru saja Inje duduk, tiba-tiba saja ada yang meneriakan namanya. "ADA INJE ENGGA YA?" Inje yang merasa namanya dipanggil pun menoleh dan mengangkat tangan.
Mereka menghampiri Inje dan duduk dibangku depan Inje. Untungnya kelas sedang sepi hanya lima orang yang sedang istirahat dikelas. Sepertinya keempat orang ini yang tadi pagi mencarinya karena ada -Dona teman sekelasnya yang cantik tadi.
"Kenalin aku Linda, sepuluh IPS dua" dia menjulurkan tangannya mengajak berkenalan. Inje membalas jabat tangannya meskipun hatinya sudah benar-benar gugup karena takut akan kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu terjadi "Aku Inje" balasnya kaku.
Linda seperti menilai Inje karena dari tatapannya benar-benar bukan tatapan yang ramah untuk ajakan berteman. Inje yang ditatapan seperti itu semakin mengencangkan cengkraman di ujung roknya.
"Kamu siapanya Putra?" pertanyaannya sangat tidak basa-basi dan bukan untuk mengajak berteman. Ayolah Inje bagaiamana bisa kamu berpikir dia mau ngajak berteman, bodoh. batinnya
"Aku cuma tetangga depan rumahnya",
"Bukan keluarga atau saudara sepupu?"
"Bukan, gaada hubungan keluarga. Kita cuma tetangga"
"Tapi kalian deket?"
"Iya, kan dah dari kecil bareng"
"Kalian pernah pacaran? Atau pernah ngapain aja?"
Oke, Inje semakin tidak bisa membaca arah pembicaraanya. "Kita cuma tetanggaan, ga ada lebih. cuma sebatas main bareng aja. Itu pun dulu waktu kecil, sekarang udah jarang." Inje berusaha sesantai mungkin untuk menjelaskan. Sedangkan Linda tampak mencerna ulang kalimat Inje.
"Aku harap kamu bukan pengganggu di hubungan kami" setelah mengatakan itu dia dan teman-temannya pergi meninggalkan Inje yang bengong mencerna kalimat barusan.
"Heh, kamu diapain aja" Cahaya menggoyangkan badan Inje yang masih bingung dengan kejadian tadi
Inje memukul Cahaya yang baru datang "Kamu lama banget sih darimana aja?"
"Aku duduk di belakang pas liat kamu udah di kerumunin mereka, emang diapain?".
Inje menceritakan ulang apa yang barusan dialaminya tadi. "Emang aku mau ganggu gimana sih? Aku bahkan ga peduli Putra mau pacaran sama siapa dan aku juga ga pernah ikut campur sama hubungannya. Kenapa sih mereka selalu menganggap aku kaya parasite?"
Inje benar-benar bingung kenapa semua orang menganggapnya musuh padahal belum kenal. Apa yang dilihat bahayanya dari seorang Inje yang bahkan tidak gaul dan cantik seperti mereka. Apa yang mereka khawatirkan?
"Karena kamu sama Putra tu dari dulu terkenalnya kaya kuaci sama bunga matahari" Inje mengernyit mendengar perumpamaan dari Cahaya. "Maksudnya aku kuacinya? Hitam kecil?" sewot Inje.
"Bukan gitu Injeku.. aku ga bilang kamu kuacinya"
"Tapi kamu bilang kaya kuaci sama bunga matahari!"
"Ga peduli lah siapa yang mau jadi kuacinya. Maksud aku tu kalian tu udah kaya perangko kemana-mana selalu bareng"
Sebenarnya dalam hati Inje membenarkan. Selama Ayahnya tidak membelikannya motor atau sepeda maka setiap Ayahnya tidak bisa mengantar Inje harus berangkat dengan Putra.
Inje bukanlah dari keluarga kaya dia hanya terlahir dari keluarga kecukupan yang tidak lengkap berbeda dengan Putra yang menjadi anak tunggal kaya raya. Mama Inje meninggal saat melahirkan Dika adiknya.
Baru-baru ini Ayah baru membeli toko baru yang membuat sibuk karena harus mengecek gudang setiap pagi. Inje tidak masalah kalau jalan sebenarnya karena dia masih mampu untuk menempuh 15 menit perjalanan. Tapi justru Ibunya Putra yang sedari dulu memaksanya untuk ikut Putra. Yah, sikap memaksa Putra memang turun dari Ibunya.
"Makannya, tuh cewek-cewek pasti cemburu. Karena kamu pemegang tahta tertinggi buat duduk diboncengannya". Kali ini Inje tidak bisa menahan tawanya, aneh-aneh saja. "Yah kaya permaisuri dan mereka cuma selir gitu"
"Emang gitu Ya?" Cahaya mengangguk semangat
"Apa aku pulang bareng kamu aja kali ya?" Cahaya lagi-lagi mengangguk semangat "Tapi beda arah lo kita, kasian kamunya kalo nganter aku balik malah muter", "Halah gapapa situ doang, kaya sama siapa aja" Cahaya menyenggolnya. Inje kembali tertawa "Yaudah nanti aku pulang sama kamu ya" Cahaya memberikan jempolnya untuk menandakan oke.