Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Late Night Visitor

🇮🇩RoseeLiLy
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1k
Views
Synopsis
Geneva kehilangan ibunya dalam sebuah kebakaran dan bertemu kembali dengan mantan kekasihnya – Luke yang memiliki obsesi gila padanya. Dia kira kemalangan sudah berakhir, tetapi pertemuan tak terduga kembali berlanjut. Kali ini dengan ayah yang meninggalkannya sejak ia masih dalam kandungan. Bertemu sang ayah tidak lantas mengubah hidup Geneva menjadi lebih baik, dia justru diminta untuk menikah dengan Luke. Laki-laki yang ingin Geneva hindari sepanjang hidupnya. Geneva menolak. Namun, saat tengah malam, seseorang menyelinap masuk ke dalam kamarnya dan merusak hidupnya. Dan Geneva tidak punya pilihan lain. *** “Anggap saja ini baktimu pada Papa, Geneva.” “Bakti? Papa tidak turut andil membesarkan aku lalu sekarang menuntut baktiku sebagai seorang putri?” RoseeLily - Late Night Visitor
VIEW MORE

Chapter 1 - Malam yang Mengerikan

"Lepaskan aku!"

Api menyala-nyala di tengah gelapnya malam, melahap dengan cepat bangunan yang ada di depannya tanpa ampun. Geneva berteriak histeris. Demi Tuhan, dia ingin berlari ke dalam, menerjang kobaran api untuk menyelamatkan ibunya. Ibunya masih di dalam. Sedang berjuang ke luar dari kematian yang mengerikan, terbakar hidup-hidup sendirian. Oh Tuhan, siksaan apa yang lebih menyakitkan dari kulit yang meleleh karena panasnya api?

 

Namun demikian, sekuat apa pun Geneva berusaha memberontak, tenaganya tidak sebanding dengan dua laki-laki berbadan besar yang memegangi ke dua lengannya.

 

"Lepas! Tolong lepaskan aku, Mama masih di dalam." Geneva mengiba, memohon supaya dilepaskan. Dia ingin bersama ibunya, hidup ... ataupun mati terbakar. Tidak ada yang berharga di dunia ini selain ibunya, hanya wanita itu yang Geneva punya.

 

Asap hitam mengepul ke atas. Menambah kengerian di malam yang gelap. Satu per satu kayu pada bagian atap rumah berjatuhan, disusul kayu-kayu penyangga, mendesis sebelum nyala api padam. Geneva terjatuh. Tubuhnya luruh seperti gula yang dicairkan.

 

"Kenapa? Kenapa?!" Geneva berteriak dengan kepala mendongak ke atas. Dia merasakannya, tetes-tetes air hujan yang jatuh di wajahnya. "Kenapa Kau begitu kejam, Tuhan?"

 

Cahaya putih menyambar di atas sana, membentang sepanjang hamparan langit yang gelap. Andai saja langit lebih bisa diandalkan, andai saja hujan turun lebih awal, andai saja ....

 

"Argh!" Geneva berteriak pilu, mengapa hujan baru turun setelah bangunan di depannya hampir rata dengan tanah, habis dilahap api.

 

Keadilan macam apa ini, Tuhan?

 

Mendadak kepala Geneva berdenyut, degup jantungnya melemah, napasnya tersengal, dan pandangannya menggelap. Geneva terjatuh di depan reruntuhan kayu yang mengepulkan asap hitam dan aroma daging terbakar.

 

***

 

"Lepas! Lepaskan aku!"

 

"Tidak, tidak! Jangan!"

 

"Geneva."

 

"Geneva."

 

"Bangun!"

 

Geneva terbangun dengan napas terengah. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Perlahan dia bangun lalu menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang sambil berusaha mengurai napasnya yang memburu. Sudah satu minggu berlalu sejak kematian ibunya dalam kebakaran, tapi mimpi buruk tentang kejadian malam itu terus menghantuinya. Tak kenal waktu dan tempat.

 

Setelah beberapa detik dia mencoba menarik sudut bibirnya. Tersenyum tipis untuk wanita yang berdiri di depannya.

 

"Maaf, Bibi, apa aku membangunkanmu?" tanya Geneva, kepalanya menunduk dalam sementara hatinya dipenuhi perasaan bersalah pada Beatrice –  teman Ibunya yang sudah berbaik hati menampung Geneva setelah tempat tinggalnya ludes dilahap api.

 

Setelah kematian ibunya, Geneva tidak memiliki siapa pun, jadi, saat Beatrice mengulurkan tangan, bersedia menampung dia yang sebatang kara itu, Geneva menerima dengan cepat.

 

Namun, mimpi buruk terus menghantuinya, selalu dihantui perasaan takut sehingga dia sering berteriak saat tengah malam atau saat menjelang pagi. Tentu itu mengganggu waktu istirahat Beatrice dan Marius – sang suami. Dia sungguh menyesal, tapi alam bawah sadarnya sulit untuk dikendalikan.

 

"Maafkan aku, Bi."

 

"Tidak. Aku kebetulan ingin ke toilet dan tidak sengaja mendengarmu berteriak." Beatrice mengelus lembut bahu Geneva. Gadis malang itu mengingatkan Beatrice pada Ibunya. Pada masa-masa remaja pertemanan mereka. Wajah Geneva didominasi oleh Ibunya dan hanya ada satu yang diwariskan dari gen ayahnya, bentuk dan warna mata.

 

"Bagaimana, mau dipertimbangkan?" Beatrice duduk di tepi ranjang kemudian mengelus rambut Geneva yang basah oleh keringat. "Aku tidak tega melihatmu seperti ini terus, Geneva."

 

Geneva tidak memberikan jawaban, hanya ekor matanya yang menangkap jarum jam dari jam bulat yang tergantung di dinding kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dia menghela napas panjang. Yakin kalau Beatrice dan Marius sedang tidur nyenyak, tapi harus terbangun hanya karena teriakannya.

 

"Jangan minta maaf lagi." Beatrice menyelipkan rambut Geneva ke belakang telinga kemudian membelai lembut pipi Geneva yang basah karena air mata. Seolah tahu Geneva akan meminta maaf lagi dan lagi atas mimpi buruknya. "Sungguh aku tidak terganggu dengan mimpi burukmu. Jadi, bisa luangkan waktumu siang ini, Geneva? Aku mengenalnya. Dia laki-laki yang baik."

 

Beatrice berusaha meyakinkan Geneva untuk datang ke klinik kesehatan mental. Dia takut Geneva memiliki trauma tertentu pasca kebakaran sehingga menghantui hari-harinya. Seminggu belakangan, sudah Geneva lewati dengan penuh perjuangan. Dia jarang makan dan hanya minum jus buah sepanjang hari. Beatrice tahu itu tidak baik, perut Geneva akan bermasalah jika terus-menerus mengabaikan asupan makan.

 

"Aku sudah mengenalnya selama satu tahun. Dia pelanggan tetap di tokoku."

 

Geneva bingung, memilin ujung bajunya sementara Beatrice bercerita dengan penuh semangat. Jujur saja, dia ingin menolak, tapi tidak enak hati dengan Beatrice. Sudah beberapa kali Beatrice meminta hal yang sama. Atas kebaikan Beatrice yang mau menampungnya, dia tidak punya keberanian untuk menolak lebih banyak.

 

"Baiklah." Dengan berat hati Geneva menganggukkan kepalanya.

 

Beatrice Tersenyum.

 

***

 

Geneva berdiri di depan pintu ruangan bercat coklat setelah sebelumnya melakukan pendaftaran. Tangannya sudah terangkat. Hampir mengetuk pintu, tetapi dia ragu saat melihat papan nama yang tergantung.

 

Ada berapa banyak nama yang sama di kota ini?

 

Tidak, mungkin ini hanya kebetulan. Kabarnya, manusia saja memiliki tujuh kembaran yang tersebar di seluruh belahan dunia, apalagi hanya perkara nama. Mungkin hanya kebetulan. Namun, keraguan di hatinya lebih mendominasi dan dia memilih mundur.

 

"Apa yang aku lakukan? Aku tidak gila. Haruskah aku mendapat pengobatan?" Geneva menggerutu. Dia berbalik badan. Setelah berdiskusi dengan dirinya sendiri bahwa dia tidak butuh pengobatan. Dia sehat. Hanya belum bisa  melupakan kejadian kebakaran malam itu, tapi bukan berarti dia sakit.

 

"Ya, aku tidak sakit."

 

Saat kakinya hampir melangkah menjauh dari pintu, tiba-tiba pintu terbuka.

 

"Mrs. Geneva?"

 

Sial!

 

"Iya, aku." Geneva diam untuk sesaat, menghitung mundur sebelum memutar tubuhnya dan ... dia terkejut melihat sosok di depannya.

 

Luke!

 

Laki-laki yang berdiri di depannya, memanggil namanya dengan nada lembut adalah ... Luke. Mantan kekasihnya.

 

Tidak! Kali ini Geneva tidak akan menyerah pada takdir yang konyol. Dia masih percaya bahwa takdir bisa diubah dengan sedikit kerja keras. Dan dia tidak ingin hidupnya kembali dihancurkan oleh makhluk satu itu.

 

Geneva memutar tubuhnya dengan cepat, tetapi sial ... laki-laki itu berhasil menahan pergelangan tangannya.

 

"Mrs. Geneva. Ada apa denganmu? Sekarang giliran Anda."

 

Dalam hitungan detik, Geneva sudah mendapat tatapan sinis dari pengunjung lain dan itu membuatnya enggan bergerak lebih brutal. Dalam hal ini, tatapan sinis itu hanya ditunjukkan padanya, tentu saja. Siapa yang akan memandang rendah sosok Tuan Muda Luke yang terkenal karena ketampanan juga kekayaannya.

 

Satu-satunya yang terlihat seperti makhluk aneh saat berdiri bersama dengan Luke, hanya dia ... Geneva.

 

"Luke, lepaskan aku!" Geneva menggeram tertahan. Seorang Ibu dan putranya yang berusia sekitar dua belas tahun menatapnya dengan tatapan penuh tanya. "Apa maumu?" Dia berusaha mengontrol nada suaranya.

 

Demi Tuhan, jika Geneva tahu laki-laki yang akan dia temui adalah Luke. Dia tidak akan pernah setuju. Tidak akan pernah! Meskipun itu permintaan Beatrice.

 

Luke tersenyum. "Aku senang kau masih ingat namaku, Genie."

 

Genie!

 

Genie!

 

Geneva benci mendengar Luke memanggil namanya dengan suara menggoda. Dia bukan gadis belia lagi, Luke tidak akan bisa mengontrol hidupnya.

 

"Ayo kita bicara di dalam." Luke menggerakkan kepalanya. Ujung dagunya menunjuk pintu ruangan yang terbuka.

 

"Tidak akan!"

 

"Kemudian aku akan terus menahanmu di sini. Lihat." Luke melakukan gerakan kecil dengan kepalanya, menunjuk orang-orang yang menatap heran pada mereka berdua. Bukan hanya pengunjung, seorang perawat bahkan melihat ke arah mereka. "Kau senang saat kita menjadi pusat perhatian, bukan?"

 

"Tidak! Aku tidak segila dirimu!"

 

"Aku bisa lebih gila dari ini."

 

"Luke!"

 

"Maka ayo masuk."

 

"Lalu kau akan mengancamku lagi, sama seperti dulu?"

 

"Tidak lagi, Genie."

 

"My name is Geneva. Ge-ne-va! Berhenti memanggilku Genie seolah-olah kita akrab, Luke. Kita tidak lebih dari dua orang yang kebetulan bertemu. Mungkin Tuhan sedang bosan makanya Dia mempermainkanku dan mempertemukan aku kembali dengan orang sepertimu!"

 

"Fine, Geneva. Ayo kita bicara di dalam,  aku tidak akan menyakitimu. Aku janji."

 

"Kau tidak pernah menepati janjimu, Luke."

 

"Ayolah, itu hanya masa lalu." Luke tersenyum. Di mata semua orang senyum Luke seperti keindahan surga, tetapi tidak di mata Geneva. Dia bisa melihat neraka hanya dari senyum laki-laki itu. "Hanya sebentar," katanya kemudian.

 

Geneva menarik napas tergesa. Bahkan, sekadar untuk bernapas di sekitar Luke terasa begitu berat. Lalu bagaimana dia bisa bicara dengannya?

 

 "Ya. Hanya sebentar."

 

Sebelum menutup pintu. Luke membalik tulisan open pada papan namanya menjadi close lalu mengunci pintu dengan sangat hati-hati. Supaya gadis yang berjalan di depannya tidak mendengar apa pun.

 

Luke menyeringai sambil membatin, 'Selamat datang kembali, Genie'.