Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The Crown Prince's Bride

Apples_Cha
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.5k
Views
Synopsis
Bagaimana jika kau, seorang perampok yang gila harta menemukan seorang pria tampan terdampar di kandang kudamu? Gawat! Aneisha memutuskan untuk menjual Putra Mahkota! Ah, dia sungguh Putra Mahkota atau hanya seorang pangeran gadungan?
VIEW MORE

Chapter 1 - Harta Karun di Kandang Kuda

"Aneisha, apa kau sudah tau kalau terjadi sesuatu dengan Pangeran Zane? Katanya rombongan Pangeran diserang perampok saat hendak pergi ke Kerajaan Timur. Sekarang Pangeran Zane menghilang dan belum ditemukan." Seorang lelaki berwajah bulat datang dan langsung menyampaikan berita hangat yang sedang ramai diperbincangkan orang-orang di pasar.

Gadis bernama Aneisha yang tengah mengisi air ke kendi itu menengok sebentar. Wajahnya yang oval berkilauan terkena pantulan air sungai.

"Apakah aku terlihat peduli?" Ia memasang wajah datar.

Syam berdecak pelan. "Dia adalah Putra Mahkota. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya maka politik di istana pasti akan bergejolak–"

"Berhentilah memikirkan hal yang tidak perlu," potong Aneisha. "Itu adalah masalah Istana. Jarak dari sini ke ibkota sangat jauh, apa pun yang terjadi tidak akan mempengaruhi kita 'kan? Sudahlah. Aku akan aka memberi pakan Globe. Nanti kau mandikan dia, yah?" kata Aneisha sembari berlalu. "Sayang sekali rombongan Putra Mahkota tidak lewat sini. Kalau dia mengambil jalur ini kita pasti sudah kaya raya," gumamnya.

Gubuk kecil dan sederhana terletak di pinggir sungai Luo yang jernih. Sepertinya merupakan satu-satunya rumah yang berdiri di sana, jauh dari pemukiman dan hiruk pikuk kota-kota besar Kerajaan Mortimer.

Aneisha menuju belakang rumahnya di mana kandang kecil kudanya berada. Batang-batang kayu kumuh menyokong atap jerami dan memberikan rumah yang cukup nyaman untuk seekor kuda hitam besar bernama Globe.

Jerami dan rumput kering berserakan di mana-mana. Padahal, Aneisha baru membersihkannya kemarin sore. Tidak biasanya kuda hitam ini bertingkah.

"Ckck. Kau benar-benar mengerjaiku, Globe." Aneisha menuangkan air dari kendi pada wadah yang tersedia. Dia kemudian mulai mengangkut jerami yang berserakan dengan berat hati.

"Eh?" Saat menyingkapkan rumput-rumput kering tersebut, Aneisha menyipitkan matanya mendapati bercak-bercak merah di lantai. Ini darah. Sudah kering.

Aneisha celingukan. Bercak darahnya tidak sedikit. Ia menyingkirkan jerami-jerami di tanah dan mengikuti tetes darah tersebut yang mengarah ke pojok kandang di mana jerami menumpuk hingga dua meter.

Aneisha dengan curiga menyingkap-nyingkapkan jerami-jerami tersebut hingga tampaklah suatu benda yang asing.

Sebuah sandal? Ah, itu kaki orang.

"Apa-apaan ini?" Aneisha menyingkirkan semuanya hingga tampaklah penampakan tubuh seorang pria yang tergeletak dengan posisi tengkurap. Aneisha refleks mundur selangkah dan membelalakan matanya.

"Si-siapa kau?" tanyanya waspada. Pria yang tampaknya tidak sadarkan diri itu bergeming. Aneisha mengulurkan kakinya dengan hati-hati dan menendang-nendang tubuh pria itu pelan.

"Apa kau orang jahat?" Sebuah pertanyaan yang sangat tidak masuk akal.

"Bangun. Apa kau sudah mati?" Aneisha menendang lebih keras.

"Hen … tik … an." Suara merintih terdengar dari arah pria itu.

"Masih hidup rupanya." Aneisha sedikit cengir, ia mendekat dan membalikan tubuh pria tersebut. Tampaklah wajahnya yang berlumur darah.

.

.

"Hmm … dari penampilannya dia sepertinya berasal dari bangsawan kota. Lihat, orang biasa tidak akan membawa senjata seperti ini. Belati ini tampaknya mahal." Syam menelisik sebuah belati bersarung merah di tangannya. Ia manggut-manggut kemudian memasukkannya ke balik pakaiannya.

"Mau kau apakan itu?" tanya Aneisha yang tengah menyeka darah di wajah pria yang saat ini terbaring di atas tempat tidur.

"Tentu saja aku jual. Dari lukanya sepertinya dia tidak akan pulih dalam waktu sebentar. Kita perlu biaya untuk merawatnya."

Aneisha berdecak kecil.

"Dasar bodoh. Untuk apa kita merawatnya? Aku lihat dia cukup tampan. Di kota wajah seperti ini pasti terjual mahal." Aneisha memegang dagunya dan menatap wajah pria itu lekat. Fitur wajahnya bagus. Bibirnya pucat tetapi pasti terlihat bagus saat ia sehat. Hidung mancung dan alis hitam yang melengkung. Kulitnya bersih. Tubuhnya tinggi dan memiliki otot-otot sedang. Aneisha menaksir mereka setidaknya akan mendapatkan tiga kantung koin emas jika menjualnya ke rumah bordir. Belum lagi jika dijual pada wanita bangsawan.

Aneisha tersenyum picik saat membayangkan koin-koin emas yang berkilauan. Dengan uang sebanyak itu mereka bisa tinggal di kota dan membeli kuda-kuda baru.

Syam menggeleng pelan.

"Apakah tidak cukup merampok orang di jalan? Orang dapat musibah mau kau rampok juga?"

"Kau tidak mau beli senjata baru dan masuk Akademi Sihir ha? Aku akan menyiapkan kereta. Terserah kalau kau tidak mau ikut. Aku akan bersenang-senang sendiri," kata Aneisha sembari berlalu keluar.

"Bukan begitu …." Syam menggaruk daun telinganya. "Baiklah baiklah. Aku ikut. Tapi hasilnya bagi dua." Ia bangkit dan mengikuti Aneisha keluar.

Pria yang tengah berbaring tidak berdaya itu berusaha menggerakkan bibirnya. Namun, sulit. Dia hanya bisa memaki-maki dalam hati.

"Ini tidak akan bisa diperbaiki dalam waktu singkat. Mungkin butuh seharian," ujar Syam sembari memukul-mukul roda kereta yang rusak.

Aneisha menghela napas.

"Sudahlah. Kita pergi besok saja. Perbaiki dengan benar, yah?" Ia masuk kembali ke dalam rumah.

Pria yang terbaring di tempat tidur itu telah membuka mata. Tetapi sepertinya dia masih belum bisa bergerak sedikit pun. Aneisha berusaha untuk tidak terlihat olehnya. Dia pasti sudah tau kalau dirinya akan dijual.

"Kau tinggal di mana?" tanya Aneisha.

Pria itu tidak bisa menjawab tentu saja. Jika dia bisa bicara, dia pasti sudah menasehati Aneisha sedari tadi, bahwa merampok orang yang sedang kesulitan itu tidak baik dan bisa mendatangkan karma mengerikan.

"Kenapa kau diam saja?" Aneisha mendekat. Dia melihat cahaya samar-samar keluar dari mata pria itu. Ekspresinya agak berubah. Aneisha mundur kemudian keluar menemui Syam.

"Sepertinya pria itu bisa sihir," ujarnya.

Syam menoleh.

"Tidak aneh. Rata-rata bangsawan memang bersekolah di Akademi Sihir. Karena itu kita harus segera menyingkirkannya sebelum keadaannya pulih."

"Benar. Aku hanya khawatir dia memiliki sihir yang cukup kuat dan akan datang membalas dendam suatu saat nanti."

"Humph. Kau tenang saja. Saat itu terjadi, aku pasti sudah menjadi penyihir hebat."

Malam hari. Bulan yang bulat sempurna menggantung di cakrawala. Cahayanya yang benderang membantu Syam dan Aneisha yang masih berkutat dengan kereta rusak.

Dari kejauhan, samar-samar terdengar derap kaki kuda. Sepertinya jumlahnya bukan hanya satu.

Benar saja. Beberapa saat kemudian sebuah rombongan berkuda beranggotakan kira-kira lima orang mendekat.

Syam dan Aneisha saling lirik. Sayang sekali sepertinya itu bukan rombongan pedagang. Mereka dan kuda-kudanya mengenakan zirah tipis khas pakaian prajurit kerajaan. Sangat jarang bahkan hampir tidak pernah ada prajurit kerajaan yang lewat sini.

Kuda-kuda itu berhenti di depan mereka.

"Kami adalah prajurit kerajaan, apakah kalian melihat rombongan perampok lewat ke sini?" tanya salah seorang prajurit. Suaranya berat, mendukung penampilannya yang sangar.

"Tidak. Sepertinya Tuan-Tuan adalah satu-satunya orang yang datang ke daerah ini," jawab Syam.

"Aneh. Ada penduduk yang mengatakan mereka melihat para perampok itu ke arah sini. Kami sedang mencari Putra Mahkota. Kemungkinan Putra Mahkota ditawan perampok-perampok itu, atau juga melarikan diri sendirian. Jika kalian melihat rombongan aneh atau seorang pria yang terluka, datanglah ke barak prajurit di kota sebelah."

"Kami mengerti." Aneisha mengangguk. Para prajurit berkuda itu kemudian kembali menarik pelana dan meneruskan perjalanan.

"Seorang pria yang terluka …." Aneisha melirik Syam ang juga meliriknya dengan ekspresi yang sama.

"Hm …."