Chereads / CINTA TIGA DIMENSI / Chapter 69 - Pertikaian Robin dan Ivory

Chapter 69 - Pertikaian Robin dan Ivory

Ivory seakan telah kehabisan kata – kata tatkala mata abu silver miliki pria itu menatapnya dan menangkup wajahnya. Kedua bola mata gadis itu kini hanya membelalak ketakutan dan mulai berkaca – kaca. Ingin sekali ia segera memalingkan wajahnya namun cengkeraman tangan pria itu terlalu kuat hingga ia merasa sedikit sesak dan pipinya pun mulai merasakan sakit akibat tekanan tangan pria tersebut. Meskipun gadis itu telah berusaha menggunakan tangannya untuk melepaskan tangkupan pria itu, tampaknya Robin enggan dan masih betah menatap lebih lama wajah gadis itu.

"Kenapa kamu diam aja? Ayo…jelaskan padaku apa maksudmu melakukan semua ini?!" Bentak Robin dihadapan Ivory, membuat gadis itu pun kini ikut terbakar hingga panas oleh rasa kecewa dan rasa sakit hatinya mengingat kelakuan pria itu dengan Chelsea sehari sebelumnya.

"Plak!" Terdengar suara tamparan keras yang dilayangkan gadis itu pada wajah brewokan tipis Robin.

"Kamu gak usah membentakku seakan aku yang paling bersalah dan terus menyudutkanku tanpa pernah menyadari kesalahanmu sendiri! Kamu pikir kamu gak punya salah terhadapku? Coba jelaskan apa sebenarnya hubunganmu dengan wanita itu? Kamu berselingkuh dengannya sekarang? Lalu apa lagi yang udah kamu lakukan seharian penuh dengan mantanmu setelah kalian bercumbu mesra pada saat di taman? Ke mana aja kalian? Lalu ini apa? Kemeja lusuh dengan bekas lipstik wanita disegala sisi, rambut acak – acakan, bau alkohol dan apa lagi yang sedang kamu pakai itu? Sandal hotel? Jadi kalian semalaman bermalam di sana lalu bersenang – senang tanpa kamu pernah memikirkan perasaanku sekalipun? Kamu pikir aku ini boneka tanpa perasaan yang bisa dengan sesukamu permainkan?!" Ivory yang emosinya telah memuncak pun seakan tidak mau kalah dan semakin meninggikan suara soprannya seraya mendorong tubuh pria itu agar menjauh darinya yang sudah hampir kehabisan napas. Tubuh Robin seketika membujur kaku setelah mendengar pernyataan gadis itu. Ia segera melirik sandal yang dipakainya dan ternyata apa yang dituduhkan oleh gadis itu bukanlah tanpa alasan karena ia sendiri pun tidak menyadari akan hal itu saat ia dalam keadaan panik dan terburu - buru untuk meninggalkan kamar hotel. Ia merasa sekujur tubuhnya kini terasa bergetar hebat hingga membuatnya mengepalkan tangannya agar ia bisa menahan seluruh gemuruh dalam dada yang terus berdentum sedari tadi.

"Jadi…kamu juga ke taman itu? Apa aja yang kamu lihat di sana?" ujar Robin kini telah menurunkan intonasinya dan menciut bagaikan seorang penjahat yang telah terciduk karena ketahuan belangnya.

"Ya! Kenapa? Kaget kalo aku mengikutimu pagi itu? Apa kamu tau betapa sakitnya hatiku ketika aku melihatmu bercumbu mesra dengan wanita itu? Aku benar – benar gak ngerti sama jalan pikiranmu Rob... Kalo memang kamu gak pernah mencintaiku dan memang gak pernah bisa melupakan mantanmu itu, untuk apa kamu membohongiku selama ini dengan mengatakan kalo kamu mencintaiku dan akan melindungiku seakan – akan kamu telah menjadi seorang pahlawan hebat bagiku hingga aku jatuh kedalam tipu muslihatmu? Atau jangan - jangan kamu mau jadikan aku sebagai pelampiasanmu karna mantanmu itu telah menikahi bajingan itu dan meninggalkanmu lalu kamu ingin membalas dendam terhadap pria itu melaluiku? Begitukah? Satu hal lagi. Nih, kukembalikan cincin ini padamu sekarang juga! Kamu berikan saja cincin ini padanya," ujar Ivory dalam keadaan emosi seraya melepaskan cincin dari jari manisnya dan hendak melemparkan cincin itu kepada Robin namun tiba – tiba ia melihat sebuah titik hitam kecil yang menyerupai mata fokus kamera dibagian dalam cincin tersebut.

"Apa lagi ini Rob? Jadi kamu selama ini bahkan memasang pelacak pada cincin ini juga? Pantas kamu bisa tau keberadaanku. Tapi untuk apa kamu melakukan ini semua padaku kalo kamu gak pernah benar – benar peduli padaku?" ujar Ivory lirih.

"Cukup Iv, cukup! Sungguh, sekalipun aku gak pernah berniat untuk membohongi ataupun mempermainkanmu! Apa yang kulakukan selama ini bukanlah seperti yang kamu tuduhkan barusan! Aku bahkan gak kenal sama psikopat itu sebelumnya! Harusnya kamu dengar penjelasanku dulu Iv, bukannya lari dariku seperti ini!"

"Apalagi yang harus aku dengar darimu Rob? Lama - lama aku capek dengar semua kebohonganmu. Sekarang mending kamu biarkan aku pergi dari sini dan jangan pernah ganggu aku lagi!" ujar Ivory seraya meninggalkan Robin namun tangan kekar pria itu segera menyambar tubuh gadis itu dan segera memeluknya erat tidak ingin membiarkannya pergi begitu saja.

"Kali ini kamu udah gak bisa pergi lagi dariku karna aku udah mengunci pintunya," ujar Robin lirih, membuat Ivory membelalakkan matanya lalu segera meronta meminta pria itu untuk melepaskannya.

"Kumohon, tenanglah Iv. Kamu tau sendiri kalo pikiranku saat ini hanya dipenuhi oleh dirimu. Bahkan saking merindukan dirimu, aku gak sadar malah memakai sandal ini. Aku mohon, untuk kali ini dengarkan dulu penjelasanku! Sebelum kamu mendengarkanku maka kamu akan terus kukunci di sini. Udah berapa kali kukatakan jangan pernah tinggalin aku Iv. Sungguh, aku gak pernah berniat untuk mengkhianatimu. Aku sungguh – sungguh mencintaimu. Apa yang kamu lihat semalam itu bukanlah seperti apa yang kamu pikirkan. Aku hanya dijebak oleh Chelsea. Dia yang datang – datang udah langsung menguasaiku. Berulang kali aku menolak dirinya namun keagresifannya membuatku tidak mampu melepaskan diriku, setelah itu aku hanya menurutinya untuk menemaninya berkencan tapi malamnya dia mengajakku ke bar dan aku gak tau kalo dia telah menaruh obat tidur pada minumku dan membuatku mabuk, lalu tanpa kusadari begitu aku bangun tadi pagi, aku udah berada di dalam kamar hotel itu bersamanya. Sungguh aku gak ingat apa – apa lagi setelah gak sadarkan diri Iv. Tolong percayalah padaku. Aku gak seburuk yang kamu pikirkan. Aku gak pernah mencintai wanita itu tapi dia yang selalu tergila – gila padaku dan merasa sakit hati sejak aku menolak cintanya dulu. Ide semalam itu adalah idenya, karena ada perjanjian diantara kami. Demi untuk mendapatkan kembali semua uang milik papamu yang telah dikuasai oleh psikopat itu, aku menyuruhnya untuk menjebak orang itu agar ia bisa mentransfer semua uang penggadaian aset papamu padanya. Dengan itu dia bisa mengirimkannya padaku. Aku ingin menyuruhnya untuk mengirimkannya padamu langsung tapi aku gak mau orang itu mengetahuinya dan kembali mencarimu. Makanya kupikir kalo dia udah memberikannya padaku, uang itu akan langsung kuserahkan padamu karna itu adalah hakmu Iv. Tapi dia malah memberikanku syarat untuk menemaninya berkencan dan aku gak nyangka kalo dia akan memanfaatkanku sejauh itu bahkan memperdayaiku. Aku berani bersumpah padamu, kalo aku gak pernah punya perasaan apapun padanya. Aku hanya mencintaimu seorang, tiada lagi yang lain. Kumohon maafkan kesalahanku karna udah begitu bodohnya mempercayai wanita itu dan gak memberitahumu mengenai ini sebelumnya. Aku bahkan gak tau kalo kamu sempat mengikutiku hingga ke taman dan menyaksikan hal itu. Aku sungguh menyesal Iv, aku beneran terpaksa, kumohon maafkan aku," ujar Robin lirih dan semakin melemah tidak berdaya seraya menekukkan lututnya dihadapan gadis itu dan memohon kepadanya, namun gadis itu pun menekukkan lututnya agar ia kini bisa berada sejajar dengan Robin.

"Rob, please…jangan begini, bangunlah. Aku gak suka melihatmu seperti ini. Kamu gak perlu melakukan ini Rob. Asal kamu tau, biarpun aku gak pernah memiliki kembali semua harta warisan papaku, bagiku itu bukanlah masalah. Tapi kamu, kekasihku yang kucintai, kenapa kamu harus merelakan dan menukarkan dirimu dengan semua uang itu? Apa kamu pikir harga dirimu hanya seharga uang – uang itu Rob? Aku tau kamu rela berkorban apa aja, tapi bukan berarti kamu harus mengorbankan dirimu sendiri untuk dijamah oleh wanita murahan seperti itu. Kenapa sebelum kamu memutuskan hal itu, kamu gak berpikir panjang atau berdiskusi dulu denganku? Kamu anggap aku ini apa? Berapa kali kukatakan kalo aku paling benci dengan yang namanya kebohongan Rob…kenapa sampai sekarang kamu masih belum mengerti juga?" Ivory yang meskipun masih merasakan sakit akan pengkhianatan yang telah dilakukan oleh pria itu, namun setelah mendengar semua penjelasan Robin, hatinya semakin merasa teriris. Bahkan kini ia begitu bingung karena harus dihadapkan pada dua pilihan. Robin yang sudah berkaca – kaca mendengar tangisan pilu gadis itu segera memeluknya dan hendak mengecup bibir gadis itu, namun Ivory kali ini segera menolak tubuh Robin seakan merasa jijik dengannya.

"Jangan pernah kamu sentuh aku dengan tangan yang udah kamu kotori setelah kamu menggerayangi wanita itu Rob. Andai kamu mau memberitahuku sebelumnya, aku pasti akan mengatakan padamu kalo aku gak membutuhkan semua uang itu ketimbang kamu harus merelakan dirimu pada wanita itu. Aku…benar – benar benci pria pembohong sepertimu. Bahkan bisa – bisanya kamu mengatakan padaku kalo kamu akan lembur kerjaan tapi lihatlah dirimu sekarang! Apa yang telah kamu lakukan bersama wanita itu benar – benar diluar batas dan udah kelewatan. Selama ini aku udah begitu mempercayaimu, aku kira kamu beda dari pria lain, gak seperti yang pernah dikatakan oleh wanita diluar sana, tapi gak nyangka kalo aku justru bertemu dengan salah satu dari jenis pria yang mereka sebutkan. Tadinya aku berpikir bahwa mungkin setelah aku belajar mencintaimu dan menyerahkan hidupku padamu, kita bisa hidup bahagia bersama hingga nantinya seperti kedua orang tuaku dulu. Apa kamu tau betapa bahagianya diriku ketika pertama kalinya aku merasakan benih – benih cinta yang mulai tumbuh dalam hatiku ketika kita bersama – sama di bianglala itu? Aku…hanya menginginkan kebahagiaan sederhana seperti itu Rob…tapi kenapa kamu malah mengkhianatiku seperti ini?" ujar Ivory yang kini telah menunduk karena sudah tidak mampu menahan tangisannya.

"Aku gak pernah bermaksud untuk mengkhianatimu seperti ini sayang, kumohon berikan aku satu lagi kesempatan. Aku akan memperbaikinya. Please…" ujar Robin lirih.

"Entahlah Rob, saat ini aku lagi gak bisa mikir. Kalo kamu memang sedari awal sayang padaku, pasti kamu bisa mikir dua kali untuk menerima tawaran wanita itu," ujar Ivory segera melepaskan dirinya dari pelukan pria itu dan segera mengambil kunci rumah dari genggaman tangan Robin yang sedang lengah lalu segera berjalan untuk membuka pintu dan meninggalkan pria yang sedang dalam keadaan pasrah itu.

"Apakah dengan aku segera membawa pamanmu kembali dari rumah psikopat itu bisa meredam amarahmu dan mengembalikanmu padaku?" ucapan Robin seketika membekukan tubuh gadis itu. Ivory tidak tahu harus berkata apa lagi mendengar pernyataan pria itu.

"Biarlah itu menjadi urusanku Rob. Aku dan Jade yang akan menolong paman, kamu lebih baik gak terlibat lebih jauh lagi dengan psikopat itu atau kamu yang akan terkena…"

"Aku gak peduli! Aku bersedia melakukan apapun agar kamu bisa kembali lagi kedalam pelukanku!" teriak Robin.

Ivory yang sedang tidak bisa berpikir jernih dan belum bisa memberikan jawaban pada pria itu memilih untuk menghilang terlebih dahulu dari pandangan pria itu.

Disisi lain, Jade yang baru saja kembali dari wawancaranya di kampus segera mencari sosok gadis itu, namun ia kebingungan karena tidak menemukan sosok gadis itu di setiap sudut ruangan yang tidak begitu luas itu dan hanya menemukan Moniq yang sedang dipenuhi oleh isak tangis.

"Loh, ma… Mama kenapa nangis begini? Ivory mana ma?"

"Entahlah Jade, tadi mama lagi beresin kamar, tapi tiba – tiba mama dengar teriakan minta tolongnya, pas mama samperin keluar, pria itu udah membawanya pergi entah ke mana…"

"Pria? Siapa ma?"

"Mama gak liat dengan jelas sosoknya karna dia udah sempat menjauh, yang mama tau dia mengendarai motor besar yang hampir mirip dengan punyamu."

"Robin… Kenapa dia bisa menemukan alamat ini? Aku pergi dulu untuk susul Ivory. Mama jangan khawatir dulu ya."

Entah mengapa Moniq yang meskipun belum mengingat apapun merasa begitu tidak tenang sejak Ivory dibawa pergi kembali oleh pria itu, membuatnya sedikit ingat dengan seorang gadis remaja yang pernah meninggalkan dirinya sebelumnya meskipun masih samar – samar. Jade segera menyusul Ivory dan menduga bahwa Robin pasti telah membawanya kembali lagi ke rumah tapaknya. Sesampainya di rumah Robin, ia melihat sebuah motor besar telah terparkir dengan begitu gagahnya di halaman depan tersebut dan pintu rumah di hadapannya sedang dalam keadaan terbuka. Ia segera menyusul ke dalam untuk mengecek keadaan namun ia tidak mampu menemukan keberadaan sosok gadis itu lagi di manapun, hanya melihat Robin yang masih duduk termenung meratapi nasibnya. Jade yang begitu dikuasai oleh amarah segera menarik kemeja pria yang masih dipenuhi oleh bekas lipstik wanita.