Chereads / CINTA TIGA DIMENSI / Chapter 55 - 55. Dilema Keluarga Smith (1)

Chapter 55 - 55. Dilema Keluarga Smith (1)

Hari yang indah itu membuat Ivory melupakan segala dilema yang terjadi dalam hidupnya dan tidak sadar sudah seharian ia meluapkan seluruh perasaannya membuatnya akhirnya merasa begitu letih hingga tertidur di sepanjang perjalanan seraya bersandar dibalik punggung Robin. Sesampainya di halaman depan sebuah rumah petak yang tidak terlalu besar itu, ia merasa iba melihat gadis yang sudah tertidur pulas dibalik punggungnya, membuatnya perlahan – lahan memarkirkan motornya dan melepaskan pelukan tangan gadis itu dari pinggangnya kemudian ia membalikkan tubuhnya agar ia bisa menggendong tubuh gadis itu dan membawanya ke dalam. Setelah membaringkan Ivory, Robin sekilas menatap lekat wajah Ivory lalu mencium keningnya dan memberikan ucapan selamat tidur seraya menyunggingkan sebuah senyum menatap wajah kekasihnya yang terlihat semakin menggemaskan ketika sedang tertidur itu. Hari itu bukan hanya hari bahagia bagi Ivory, tapi juga bagi Robin. Ia merasa seakan hidup kembali untuk kedua kalinya setelah hatinya yang dulu mati ketika ia kehilangan mantan kekasihnya. Gadis itu seakan telah menghidupkannya kembali dari tidur panjangnya.

Malam itu, Robin berencana untuk melacak nomor ponsel pria pemilik rumah sebelumnya yang diduga oleh Ivory merupakan pamannya. Jika benar apa yang diduga oleh gadis itu, maka setidaknya mereka bisa menyelamatkan salah satu anggota keluarga Ivory yang juga merupakan korban penganiayaan yang dilakukan oleh Nathan. Ia pun mulai melakukan pelacakan terhadap nomor ponsel pria dalam foto profil aplikasi properti yang pernah digunakan Robin untuk berkomunikasi dengannya dulu ketika bertransaksi jual beli rumah tapak yang ditempatinya sekarang menggunakan aplikasi pelacak yang digunakan oleh perusahaannya guna mempermudah dirinya melacak keberadaan para debitur licik yang terkadang tidak segan – segan melakukan kecurangan. Sistem aplikasi di laptopnya menunjukkan bahwa ponsel yang terdaftar dengan nomor tersebut terakhir kali berada di sebuah suburban kecil yang berada cukup jauh dari perkotaan dan sudah tidak aktif untuk beberapa waktu lamanya. Ia kemudian menyimpan alamat tersebut dan berencana akan membawa Ivory keesokan harinya setelah gadis itu kembali dari kampus. Baru saja ia menutup laptopnya, tiba – tiba nada sambung ponselnya telah berdering. Robin seketika berubah menjadi pucat dengan ekspresi wajah datar setelah menatap ke layar ponselnya dan melihat nama yang menghubunginya malam itu, lalu ia segera menyentuh tombol hijau di ponselnya.

"Halo Tuan, selamat malam."

"Ya, malam. Ke mana saja kamu seharian hingga baru bisa dihubungi sekarang? Aku punya sebuah tugas penting untukmu dan asistenmu, jadi aku mau kalian segera temui aku besok pagi."

"Baik Tuan, aku akan tiba di sana lebih awal."

Pagi itu, seperti biasanya Ivory dan Robin telah tiba di depan sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi dan mencakar langit kemudian segera melangkah masuk bersamaan. Dengan setelan hitam dan kacamata hitam yang mereka kenakan membuat mereka terlihat begitu profesional dan dihormati oleh seluruh jajaran staff, bagaikan mata – mata yang sedang bertugas menyelidiki rahasia besar negara. Sebelumnya, Robin telah memberitahukan kepada Ivory bahwa Mr. Franklyn selaku Chief Director memanggil mereka untuk menemuinya karena ingin menyampaikan suatu misi penting. Setelah pintu lift lantai 33 terbuka, keluarlah sepasang kekasih itu yang semakin mempercepat langkah mereka untuk segera menuju ke ruangan besar yang berada di ujung koridor.

"Pagi Mr. Frank."

"Oh hi, pagi Robin, Ivory, silahkan duduk. Jadi begini, tanpa basa basi lagi, aku hari ini sengaja menugaskan kalian ke sini untuk ini," ujar Mr. Franklyn menyerahkan sebuah dokumen pengajuan permohonan kredit kepada Robin. Robin segera mengambil dokumen tersebut dan melihatnya sekilas, namun tiba – tiba saja ia telah membelalakkan matanya ketika ia melihat isi dokumen tersebut.

"Rob, ada apa? Kok kamu tegang begitu?" bisik Ivory.

"Apa ini gak salah Tuan?" Tanya Robin mengabaikan pertanyaan gadis itu terlebih dahulu karena ia tetap harus bersikap profesional.

"Itulah sebabnya aku menugaskanmu ke sini untuk melakukan penyelidikan terhadap calon debitur tersebut. Bagaimana mungkin putra tiri seorang konglomerat mengajukan kredit pinjaman dalam yang jumlah yang tidak sedikit pula? Kamu lebih profesional dan ahli dalam hal ini, jadi aku percayakan kasus ini padamu dan bimbinglah asistenmu ini. Aku akan menunggu jawaban hingga kalian menyelesaikan misi ini. Bergeraklah sekarang. Kalian tentu tidak lupa bahwa aku tidak suka menunggu terlalu lama," ujar Mr. Franklyn memutar kursinya lalu menekan sebuah tombol di balik dinding itu dan kemudian sebuah pintu rahasia pun terbuka lebar lalu beliau memasukinya dan meninggalkan Robin dan Ivory yang masih dalam keadaan bingung.

Robin menggenggam jemari gadis itu seraya membawanya keluar dari ruangan Mr. Franklyn dengan ekspresi wajah serius. Tidak biasanya Ivory melihat Robin setegang itu. Pria itu terus berjalan tanpa ekspresi bersama dengan Ivory menuju lift dan terus diam tanpa sepatah kata pun. Ivory yang melihat ekspresi serius kekasihnya hanya bisa menunggu hingga pintu lift berhenti dan terbuka di lantai 2. Mereka segera berjalan menyusuri sebuah ruangan yang terdiri dari beberapa sekat pembatas yang membentuk sepetak – sepetak meja untuk masing – masing staf yang sudah terlihat berdiri lalu menunduk untuk memberikan hormat kepada pria tersebut, menandakan posisi pria itu cukup penting di perusahaan itu atau mereka memang takut melihat sosok Robin yang begitu sangar. Jika bukan karena Ivory kini telah menjadi kekasihnya dan tidak pernah dekat dengan pria itu, mungkin ia pun akan merasakan dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh mereka saat ini juga pikirnya. Robin membalas pemberian hormat itu dengan sebuah anggukan kecil dan masih dengan ekspresi serius. Ivory hanya mengikuti apa yang dilakukannya dan terus berjalan menuju ke ruangan Robin selaku Chief Executive Debt Collector & Surveyor di ruang 21. Setelah memasuki ruangan yang terlihat cukup besar itu, Robin kemudian mengambil posisi duduknya seperti biasa pada kursi kepemimpinannya dan diikuti oleh Ivory yang kini duduk dihadapannya seakan ia kini sedang berhadapan dengan seorang bos. Robin terlihat sedang memangku sebelah tangan kirinya pada dagu dengan tatapan tajam dan ekspresi yang masih sama tanpa senyum sedikitpun lalu ia akhirnya meletakkan dokumen yang diberikan oleh Mr. Franklyn kepadanya barusan dihadapan gadis itu agar ia bisa melihat isinya sendiri. Dengan rasa penasaran yang sudah memuncak sedari tadi, Ivory segera mengambil dokumen tersebut dan membacanya. Bagaikan petir yang tiba – tiba menggelegar dan mengejutkan serta membekukan dirinya, ekspresi khawatir Ivory kini tergantikan menjadi ekspresi kaget dan shock. Ia membelalakkan matanya dan memegang kedua mulutnya yang sedang terbuka lebar dengan tatapan tidak percaya.

"Apa – apaan ini? Ini gak mungkin! Jade? Bagaimana mungkin dia meminjam uang sebesar ini. Bahkan dengan menggunakan alasan untuk keperluan biaya pengobatan orang tua? Apa maksudnya ini? Aku harus menelepon dia melalui nomor ini."

Melihat gadis itu hampir mengambil ponselnya untuk menelepon nomor Jade yang tertera di dalam dokumen pengajuan kredit pinjaman membuat Robin langsung berdiri dan menahan tangan gadis itu lalu menatapnya lekat dengan ekspresi yang lebih serius lagi.

"Kamu pikir apa yang sedang kamu lakukan? Aku gak mengizinkanmu untuk menelepon dia ataupun keluarganya. Biar aku yang menghubunginya nanti, lagipula masih ada proses survey. Ikuti arahan dariku. Aku gak mau kamu mengambil keputusan sepihak tanpa persetujuan dariku. Sekarang juga kita ke rumah kamu untuk memulai proses penyelidikan. Satu hal lagi, aku ingin membawamu ke suatu tempat, tapi sepertinya hari ini bukanlah waktu yang tepat. Akan kukatakan nanti sesampainya di rumah. Ayo, kita bergerak sekarang juga."

Ivory dengan tatapan serius segera mengangguk mengerti akan komando dari kekasih yang merangkap sebagai atasannya itu. Dalam hati ia merasa bangga akan kesigapan kekasihnya itu dalam menangani suatu kasus dan terlihat begitu professional. Segera Robin membawa Ivory bersamanya mengunjungi rumah kediaman Smith. Sesampainya di sana, betapa kagetnya mereka melihat keadaan rumah tersebut. Rumah yang dulunya bagaikan istana itu kini telah berubah bagaikan rumah tua berhantu yang sudah lama tidak berpenghuni dan kini dipenuhi dengan pohon – pohon dan lebatnya rerumputan beserta ilalang yang tumbuh memenuhi seluruh sisi dinding rumah bahkan menjalar hingga ke dalam. Terlihat dari luar bahwa seluruh isi di dalamnya pun sudah dikosongkan. Melihat keadaan tersebut membuat sekujur tubuh Ivory merinding dan bergetar. Kedua kaki gadis itu tiba – tiba terasa lemah seakan tidak mampu menopang tubuhnya lagi hingga ia terkulai lemas dan menjatuhkan kedua lututnya di depan halaman rumah tersebut. Robin segera memeluk kekasihnya untuk menguatkan dan menenangkannya. Rasanya memang begitu sulit dipercaya, melihat perbedaan keadaan rumah yang dulunya bagaikan istana itu kini telah berubah bagaikan puing – puing bangunan yang tidak berguna lagi bahkan di depan rumah tersebut dilekatkan selebaran kain spanduk berwarna merah berukuran sebesar sebuah papan catur yang bertuliskan "FOR SALE", menandakan bahwa rumah tersebut telah diambil alih oleh bank, karena nomor kontak yang bisa dihubungi pun hanya merupakan nomor CS Bank NAB (National Australia Bank).

"Apa yang telah terjadi selama dua tahun ini? Mama ke mana? Mereka ke mana semua?"

"Tenangkan dirimu dulu, sekarang kita harus segera pergi dari sini untuk mencari petunjuk lainnya. Untuk saat ini kita gak bisa hanya berpasrah diri di sini atau menangisi keadaan, kita hanya akan mengetahui jawabannya jika kita mendatangi bank tersebut. Ayo."

Mengangguk setuju, Ivory segera mengikuti Robin untuk segera mengunjungi bank yang menyita dan menyegel rumah tersebut. Di sepanjang perjalanan, Ivory tidak mampu berpikir jernih lagi dan menangisi keadaan yang terjadi pada rumahnya tersebut. Perasaan yang begitu berkecamuk membuat pikirannya bercabang tidak menentu arah serta merasa bersalah kepada ibunya yang seakan menghilang dari peredaran, membuatnya mulai berpikiran negatif apakah keluarga tersebut telah melakukan sesuatu yang berdampak buruk terhadap ibunya, dan ia seketika teringat kembali pertemuan terakhirnya dengan Jade yang sempat mengatakan kepadanya bahwa ia ingin menyampaikan sesuatu namun karena keegoisannya ia bahkan tidak ingin melihat pria itu dan segera meninggalkannya. Padahal jika ia kemarin mau mendengarkan apa yang hendak dikatakan oleh pria itu, mungkin saja saat ini ia sudah mengetahui apa yang sedang terjadi terhadap mereka, ataukah ini merupakan jebakan lagi yang direkayasa oleh mereka sendiri untuk mengelabuinya. Mungkin karena alasan ini pula Robin tidak mengizinkannya untuk bergerak dan mengambil keputusan sendiri karena mengkhawatirkan keselamatannya. Ia segera membuang seluruh pikiran negatif dalam pikirannya dan memilih untuk fokus terhadap pertemuan mereka terlebih dahulu dengan pihak bank tersebut.