Jade menemukan perbedaan drastis gadis dihadapannya itu, membuatnya kemudian memutar bola matanya ke atas dan ke bawah bagaikan juri yang sedang memprotes untuk menilai penampilan gadis itu dari atas hingga ke bawah. Gadis berambut blonde bermata biru yang selama ini hidup dalam ingatannya merupakan seorang gadis cantik yang anggun nan lembut, sementara gadis yang blonde bermata biru yang ditemuinya sekarang lebih terlihat seperti preman atau mafia dengan gaya berpakaian yang sangat tomboi. Gadis itu terlihat memakai setelan tanktop putih berlapis jaket kulit hitam dengan celana panjang kulit hitam dan boots hitam dengan kacamata hitam. Bahkan kini ia telah berani mengaplikasikan riasan yang tebal pada wajahnya dengan garis mata dan lipstik hitam tebal pula. Pria itu benar – benar telah mengubah penampilan gadis itu 360 derajat pikirnya.
"Kamu…"
"Kenapa? Kaget? Belum pernah ketemu cewek jagoan sepertiku? Ngomong – ngomong, berani lagi kamu sentuh kekasihku, akan kupatahkan tulang tanganmu itu," ujar Ivory angkuh seraya membuka kacamata hitamnya dan menyandarkan tangannya pada bahu Robin yang sedang menyedekapkan tangannya, membuat Jade begitu tercengang.
"Apa kamu bilang? Kekasih? Jadi selama dua tahun ini kamu udah menjalin hubungan spesial dengan pria brengsek yang udah membawamu kabur ini tanpa kamu pernah peduli apa yang telah terjadi di rumah selama dua tahun ini? Ke mana akal sehatmu Iv? Benar – benar keterlaluan kamu. Apa kamu gak mau tau apa yang telah terjadi selama kamu pergi?" ujar Jade dengan wajah yang begitu kesal dan marah pada gadis yang hampir tidak dikenalinya itu lagi seraya bangkit kembali karena ia tidak ingin terlihat lemah dihadapan dua orang tersebut.
"Ayo sayang, kita pulang sekarang sebelum dia menarikku kembali ke neraka itu lagi. Aku udah muak liat dia. Rasanya sial banget hari ini karna harus ketemu pecundang ini lagi di sini," ujar Ivory memutar tubuh Robin agar segera menyalakan motor dan segera meninggalkan Jade.
"Ivy, tunggu! Aku belum selesai ngomong! Jangan pergi dulu, ada hal penting yang harus kukatakan padamu. Iv, kumohon hentikan semua ini dan kembalilah. Ivory…!"
Teriakan Jade yang seakan begitu melonglong tidak lagi didengar oleh gadis itu. Mereka langsung meninggalkan sosok Jade yang sedang berusaha untuk berdiri tegak dan menyeimbangkan tubuhnya seraya memegang bagian ulu hatinya yang masih terasa sakit karena pukulan kuat gadis itu. Sungguh ia tidak menyangka akan perubahan totalitas Ivory, adik tirinya yang selama ini ia kenal begitu lembut dan baik hati selama bertahun – tahun lamanya, kini telah berubah bagaikan seorang monster yang tidak punya hati. Ia tidak mengerti ada hal besar apa yang telah terjadi selama dua tahun belakangan ini dan apakah telah terjadi gangguan psikis yang telah menyebabkan gadis itu harus mengunjungi rumah sakit ini pikirnya. Tanpa berniat untuk berpikir lebih jauh lagi ia segera memungut bungkusan berisi obat – obatan yang baru saja dibelinya dari apotek sebelah ketika ia tanpa sengaja menjatuhkannya pada saat bertemu gadis itu lalu segera berlari mengendarai motornya dan mengejar kedua sejoli tersebut namun sepertinya kali ini ia harus mengalah lagi karena Robin dan Ivory ternyata telah melaju jauh. Ivory merasa begitu lega ketika ia telah menjatuhkan dan menyandarkan dirinya di sofa setelah mereka kembali ke rumah. Robin yang ikut merebahkan dirinya di samping gadis itu seketika menegakkan tubuhnya kembali dan menatap lekat gadis di sampingnya itu dari dekat.
"Apa?" tanya Ivory tercengang.
"Coba kamu katakan kembali. Apa aku tadi gak salah dengar?"
"Katakan apa?"
"Yang kamu katakan pada pria itu bahwa aku adalah…"
Ivory segera menangkap ke mana pria itu akan mengarahkan pembicaraannya ketika ia menyodorkan kembali kotak cincin yang diberikan oleh pria dihadapannya itu semalam.
"Nih, aku udah memikirkan jawabannya," ujar Ivory mantap.
"Itu berarti…"
"Ya, aku bersedia," ujar Ivory mantap namun masih dengan wajahnya yang menatap ke depan rumah dan memalingkan wajahnya karena merasa cukup malu untuk menatap wajah pria itu karena takut akan diledek lagi olehnya jika ia melihat wajahnya yang mulai memerah.
"Aku benar – benar gak tau harus berkata apa lagi beb, terima kasih karna kamu udah mau memberikanku kesempatan ini," ujar Robin terharu dan ingin segera memeluk gadis itu namun Ivory sudah menangkisnya terlebih dahulu.
"Eits…dengan satu syarat."
"Apa?"
"Aku gak mau kamu macam – macam lagi di luar sana dengan gadis lain. Mulailah kurangi kegiatan minum – minummu di bar dan kebiasaan buruk merokokmu. Aku gak terlalu nyaman dengan itu semua dan kembalilah menjadi dirimu yang dulu."
"Aku pasti akan mengusahakannya sayang, demi kamu dan demi kebaikan kita bersama. Perihal gadis lain kamu bisa mempercayaiku, sungguh gak pernah terbersit sekalipun dalam benakku untuk mencari gadis lain lagi karna yang terbaik sekarang udah dihadapanku," ujar Robin seraya memakaikan cincin yang diberikannya kepada gadis itu. Sejenak ia menatap gadis itu lekat, lalu ia sedikit mencondongkan tubuhnya dan tanpa aba – aba lagi ia pun menyatukan bibirnya dengan bibir Ivory yang membuat tubuh gadis itu terbujur kaku dan hanya bisa membelalakkan matanya karena terlalu kaget. Tanpa disadarinya, ia telah meremas celana panjangnya sendiri karena merasa begitu malu dengan sikap Robin. Ia merasakan debaran yang begitu hebat dalam hatinya. Sial, perasaan apa ini batinnya. Ingin sekali ia menghentikan dentuman yang bertubi – tubi dan terus berbunyi di dalam batinnya yang bergejolak itu namun ia tidak mampu menghentikannya meskipun ia telah berusaha untuk sekedar menenangkan diri. Menyadari gadis itu masih merasa kurang nyaman dengan apa yang sedang dilakukannya membuat dirinya segera bergerak menjauh dari gadis itu.
"Maaf, aku terlalu bahagia sayang. Terima kasih untuk hari ini," ujar Robin memeluk bahagia gadis yang masih terbujur kaku itu hingga membuatnya kembali merasakan debaran itu. Setelah melepaskan pelukan tersebut, Robin kembali menatap gadis itu lekat namun Ivory segera menyadari bahwa ia terlalu malu dan wajahnya pasti telah memerah bagaikan kepiting rebus lantas ia segera mengalihkan pandangannya dari pria itu.
"Rob, aku capek. Maaf, aku mau balik ke kamar dulu," ujar Ivory segera meninggalkan Robin yang tersenyum kecil melihat tingkah kekasihnya itu. Gadis yang sungguh menarik pikirnya. Akan tetapi ia cukup memaklumi bahwa ini adalah pertama kalinya bagi gadis itu.
"Entah kenapa aku merasa kamu begitu mirip dengan Claire dulu Iv, meski kalian memiliki perbedaan masing – masing. Andai kamu tau, kebersamaaan kita selama dua tahun ini telah membuatku semakin jatuh cinta padamu bahkan melebihi aku mencintai diriku sekarang. Aku akan berjuang lebih keras lagi demi kebahagiaanmu," gumam Robin terhadap dirinya sendiri.
Ivory yang sudah memasuki kamar dan menutup pintu merasa begitu lega karena tidak perlu menatap pria itu lagi. Ia segera menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya kembali. Debaran tersebut masih ia rasakan namun intensitasnya sudah semakin berkurang setelah ia membaringkan dirinya di ranjang dan menatap ke atas langit. Ia masih tidak mampu mengedipkan matanya dan memegang bibirnya sendiri tidak percaya bahwa ini adalah pertama kalinya ia berciuman dengan seorang pria dan degup jantungnya yang seakan berpacu dengan aliran darahnya membuatnya tidak mampu berpikir jernih antara ia merasa senang, atau kaget bercampur malu hingga ia berpikir apakah yang dirasakannya itu adalah cinta atau itu hanya sekedar pengaruh hormon pubertas yang sedang dialaminya. Sekilas ia teringat kembali akan debaran yang pernah ia rasakan dulu saat Jade pernah menatapnya lekat dan mencium keningnya dulu. Ia merasakan ada sedikit kesamaan dengan apa yang pernah dirasakannya saat bersama Jade dulu, membuatnya berpikir bahwa itu mungkin hanyalah pengaruh hormon dalam diri manusia yang merespon setiap sentuhan atau rangsangan yang terjadi antara dua insan lawan jenis, namun yang dirasakannya ketika bersama Robin berbeda dari yang dirasakannya ketika ia sedang bersama dengan Jade. Ia terlihat berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak mungkin baginya untuk mencintai Jade, karena ia hanya menganggapnya sebagai seorang kakak tiri, tidak lebih. Sementara dengan Robin, pria yang usianya terpaut delapan tahun darinya yang kini telah menjadi kekasihnya, merupakan pria yang kini akan dicintainya sampai akhir hayatnya. Namun ia seketika merasa ragu dan berpikir apakah memang yang dirasakannya kini adalah sesuatu yang dinamakan cinta, apalagi Jade pun pernah menyatakan hal yang sama kepadanya namun kala itu ia menolak kata – kata itu darinya, karena ia merasa bahwa ia tidak mungkin mencintai kakak tirinya sendiri. Mengingat tentang pria itu, membuat emosinya kembali menguap. Bagaimana mungkin pria itu bisa menyatakan bahwa ia mencintai adik tirinya sendiri setelah apa yang dilakukannya. Seketika ia teringat kembali akan penuturan Robin sebelumnya pada saat ia mengatakan pada Ivory bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa suatu hari ia pun akan mencintai Jade, karena ia bukanlah saudara kandungnya dan pernikahan kedua orang tua mereka hanya terjadi sebagai tragedi yang tidak pernah diinginkan oleh siapapun dan hanya merupakan paksaan semata. Lagi – lagi, ia kembali merasakan dilema dan bingung akan perasaannya sendiri yang kini seakan bercabang ke mana – mana tidak menentu arah.
"Arghhhh… aku lagi mikirin apa sih? Kenapa lagi – lagi aku mikirin dia? Aku kan benci banget sama dia. Aku sekarang adalah kekasih Robin, bahkan aku yang memintanya untuk gak mendekati gadis – gadis lain lagi, jadi aku juga gak boleh mikirin orang itu lagi. Sekali kakak tiri maka dia akan tetap menjadi kakak tiriku. Gak mungkin aku bisa mencintai orang yang udah kuanggap sebagai kakak sendiri, apalagi kebencianku terhadapnya telah membuatku begitu dendam kepada dia dan keluarganya meskipun selama bersamanya, dia begitu baik terhadapku. Ah…trus kalo dia baik memangnya kenapa? Itu kan cuma sandiwaranya saja untuk mengelabuiku. Tapi…dia terlihat lebih kurus sekarang. Apa benar ada sesuatu yang telah terjadi di rumah setelah aku pergi ya? Aku benar – benar gak nyangka akan bertemu lagi dengannya tadi. Setelah dua tahun ini, apa kabarnya mama di sana? Ngomong – ngomong tadi dia bilang mau menyampaikan sesuatu, tapi apa? Oh no… Ngapain juga aku peduli dan mikirin dia lagi sih. Aku gak boleh mengecewakan Robin kalo sampai dia tau aku ternyata masih mikirin orang itu. Nggak…aku harus buang jauh – jauh bayangan dirinya dari hidupku. Aku harus fokus sama rencanaku bersama Robin sekarang," gumam Ivory terhadap dirinya sendiri tanpa ia sadari bahwa ternyata Robin telah mengetuk pintu kamarnya sedari tadi dan memanggilnya berkali – kali. Merasa tersentak akhirnya ia segera membukakan pintu kamarnya dalam keadaan terburu – buru hingga akhirnya tanpa sengaja membuat kaki kirinya menyandung kaki kanan sendiri yang membuatnya menjatuhkan dirinya kembali ke dalam pelukan pria yang telah berdiri di hadapannya itu seperti terakhir kalinya ia melakukan kecerobohan yang sama ketika ia terburu – buru membukakan pintu balkon untuk menemui pria itu. Hal itu membuat Robin melayangkan senyum lebar dan tertawa kecil terhadap perilaku kekasihnya itu.
"Kamu ini ternyata masih gak berubah cerobohnya ya, kuharap kamu gak akan seceroboh ini dihadapan pria lain atau aku akan cemburu sayang," ujar Robin seraya berbisik dan mencium rambut gadis itu lalu menegakkan tubuhnya agar ia bisa menatap wajah kekasihnya yang sedari tadi masih merasa malu untuk menatapnya. Ia lalu meletakkan kedua tangannya pada kedua pipi gadis itu dan mengarahkannya untuk bertatapan dengannya.
"Aku akan membuatmu terbiasa dengan ini agar kamu gak merasa malu lagi denganku. Aku paham karna ini baru pertama kalinya bagimu menjalin hubungan dengan seorang pria bukan?" tanya Robin yang hanya direspon dengan anggukan kepala oleh gadis itu.
"Kalo begitu kita mulai semuanya dari awal perlahan – lahan ya, aku juga gak akan memaksamu untuk terlalu intens denganku. Kamu cukup menjadi dirimu apa adanya, kamu pun gak harus memikirkan apa yang harus kamu lakukan untuk membahagiakanku karna kamu bebas melakukan apa saja yang kamu mau. Aku juga gak akan pernah memintamu untuk melakukan hal – hal yang gak kamu sukai. Kalo kamu gak suka atau gak nyaman jika ada sikapku yang kurang berkenan di hatimu, katakan saja. Dalam menjalin sebuah hubungan, komunikasi adalah yang terpenting. Jadi kamu bebas mengutarakan kenyamanan atau ketidaknyamanan yang kamu rasakan, karna bagiku kebahagiaan dan kenyamananmu adalah yang utama bagiku. Kamu mengerti maksudku bukan?" ujar Robin menjelaskan.
"Iya sayang, aku paham. Tenang aja, sejauh ini aku cukup merasa nyaman berada di dekatmu. Maaf jika aku masih canggung dan belum terbiasa dengan semua ini. Sekali lagi terima kasih karna kamu udah mau ngertiin aku. Aku…" belum selesai meneruskan perkataannya tiba – tiba saja sudah terdengar suara rintihan dari dalam perut Ivory, membuatnya kembali merasa malu dihadapan pria itu, ia baru ingat kalau dirinya belum sempat mengisi kekosongan perutnya.
"It's okay, step by step. Karna kebetulan kamu udah lapar, aku tadi ke sini sebenarnya mau sekalian ngajakin kamu keluar makan. Aku ingin merayakan hari jadi kita ini. Sekalian aku mau ngajakin kamu ke suatu tempat. Kamu mau?" tanya Robin yang kemudian direspon dengan anggukan dari gadis itu.
"Tapi mau ke mana? Ke bar lagi?"
"Tentu saja bukan. Bukankah kita udah sepakat untuk gak sering ke sana lagi? Kamu ikut aja, nanti juga bakal tau."
"Eh tapi, gimana kalo kita malah ketemu orang itu lagi? Jangan – jangan dia tadi sempat mengikuti kita?"
"Gak mungkin, tadi dia udah ketinggalan jauh. Kamu tenang aja ya, selama bersamaku, aku akan memastikan keselamatanmu. Ngomong – ngomong aku begitu salut akan keberanianmu sekarang. Kamu memang kekasihku yang tangguh. Aku merasa menjadi pria yang paling beruntung di dunia ini karena memiliki seseorang yang luar biasa dalam hidupku sekarang, yang bahkan bersedia melindungi kekasihnya sendiri. Sungguh, terima kasih banyak untuk hari ini sayang," ujar Robin mengelus pipi kanan gadis itu dan menggenggam jemarinya seraya tersenyum lebar dan kembali memeluk gadis itu. Ivory pun kembali memeluk pria itu. Setelah melalui berbagai dilema kini ia baru kembali merasakan kehangatan kasih seseorang yang begitu disayanginya. Berulang kali ia meyakinkan dirinya bahwa ia memang telah mulai menyayangi pria itu.