Bertahun – tahun ia merindukan sosok itu. Sosok seorang ayah yang begitu menyayangi putrinya, sosok yang begitu berwibawa dan penyayang, sosok yang tidak pernah sekalipun menunjukkan taringnya dan tidak pernah sekalipun ringan tangan dengan mengangkat tangannya ke atas untuk menghancurkan apapun yang ada dihadapannya ketika sedang dilanda api amarah yang seakan bisa membakar seisi alam semesta. Betapa gadis itu merindukan sosok ayahnya yang sedang berjalan membawanya ke taman untuk menikmati pemandangan alam yang begitu indahnya. Pemandangan dengan rerumputan berwarna hijau asri dan bunga yang berwarna warni serta langit biru yang seakan membentang luas untuk memayungi seluruh alam semesta dan isinya serta lembutnya angin pun seakan menyelimuti tubuh mereka. Bagaikan sepasang kekasih yang sedang memadu kasih, gadis kecil itu terlihat begitu bahagia dan menyandarkan kepalanya pada bahu sosok lelaki paruh baya yang terlihat begitu tampan dengan pakaian serba putih bersihnya, sebagaimana ia melihat sosok itu untuk yang terakhir kalinya. Namun tidak lama kemudian sosok itu sudah bangkit seraya meninggalkan gadis kecil itu dan berpesan padanya untuk menjaga diri serta menyuruhnya untuk segera menghapuskan dendam dalam hatinya, karena ia pun sudah berbahagia. Perlahan, sosok tersebut telah menjauh dan menghilang, digantikan oleh sosok seorang pria muda yang terlihat pucat dengan rambutnya yang acak – acakan dan mata keabu – abuannya yang seakan menatap sayu ke arah gadis itu dari kejauhan bersama dengan seorang wanita paruh baya yang masih terlihat begitu awet muda dan cantik bagaikan seorang artis papan atas yang secara bersamaan mengulurkan kedua tangan mereka dan membukanya lebar – lebar seolah meminta gadis itu untuk kembali kedalam pelukan mereka.
"Pa…jangan pernah tinggalin aku lagi. Aku benar – benar kesepian di sini. Papa kenapa menghilang? Aku gak mau ketemu dia ataupun mama. Kembalilah pa, aku gak mau kehilangan papa lagi. Gak ada lagi yang menyayangiku seperti papa, mama bahkan sekarang lebih menyayangi mereka ketimbang aku, kembalilah pa…aku sangat sangat merindukan papa…"
"Hei…hei…Ivory…kamu kenapa? Bangun beb… Are you okay?"
"Pa…jangan pergi lagi...please…papa….!!!"
Ivory tiba – tiba berteriak dan berseru memanggil sosok sang ayah terus menerus dan baru terbangun dari tidurnya dengan nafas yang masih tersengal – sengal. Ia begitu kaget dan terus melihat ke sekelilingnya dan masih mencari sosok tersebut.
"Mana papa? Aku mau cari papa. Pa…kembali ke sini… Jangan pergi lagi pa, jangan tinggalin aku sendirian lagi di sini, aku gak bisa hidup bersama mereka pa… Kumohon kembalilah…"
"Hei…hei…kamu mimpi buruk lagi?"
"Robin? Di mana papa? Kamu tadi juga liat papa di sini kan? Ke mana beliau sekarang? Tolong bantu aku cari papa Rob, aku mau ketemu beliau…Kumohon, bantu aku."
"Iv…please, dengerin aku, kamu itu sehabis mimpi buruk, kamu baru bangun dan gak ada papamu di sini. Di sini hanya ada kamu dan aku. Hanya kita. Gak ada lagi orang lain. Aku tau ini berat buat kamu tapi kamu harus benar – benar mengikhlaskan kepergian papamu. Mau sampai kapan kamu terus begini? Aku gak tega liat kamu terus tersiksa seperti ini. Bisakah kamu membagi bebanmu sedikit saja padaku? Ingat, kamu udah mempercayaiku untuk membantumu menegakkan keadilan atas kematian ayahmu. Jadi jangan kamu simpan lagi beban itu sendiri. Kamu masih punya aku di sini dan kita akan bersama – sama membalaskan kematian ayahmu. Okay?" Ujar Robin seraya menatap ke mata Ivory yang kemudian direspon oleh gadis itu dengan anggukan kepala pertanda bahwa ia menyetujui apa yang dikatakan oleh Robin. Pria itu kemudian membenamkan gadis itu ke dalam dekapannya.
Minggu itu juga mereka memanfaatkan waktu senggang tersebut untuk mulai menjalankan misi pertama. Menurut Robin, langkah pertama yang harus mereka lakukan ialah mereka harus mencari tahu asal usul Nathan terlebih dahulu karena berdasarkan penuturan yang didengarnya dari Ivory, ia sempat mendengar mengenai Nathan yang mengungkit masa lalunya bahwa ia ingin membalaskan rasa sakit hatinya terhadap keluarganya karena James telah menuntut ibu Nathan atas tindakan kriminal yang dilakukan oleh ibunya dan terancam hukuman mati. Ketika mereka melakukan browsing atas daftar nama para pelaku kriminal diberbagai website, mereka tanpa sengaja menemukan sebuah situs online yang memberitakan tentang kematian seorang wanita gila yang bernama Tiffany Grace, ibunda seorang pianis terkenal yang bernama Monique Keithleen. Diduga kematiannya disebabkan oleh overdosis obat – obatan selama berada di rumah sakit, namun pihak rumah sakit terkait mengaku bahwa obat – obatan yang diberikan hanya merupakan suplemen penambah kekebalan tubuh dan berdasarkan CCTV yang terekam oleh pihak rumah sakit terlihat bahwa pada hari kematian Nyonya Tiffany terdapat seorang perawat pria yang pada saat itu bertugas menangani sang pasien dan ketika shift perawat berikutnya hendak memberikan makan siang kepada sang pasien ternyata ia telah ditemukan tidak bernyawa akibat overdosis obat suntikan yang diberikan oleh perawat pria sebelumnya. Betapa mengejutkannya berita yang dibaca oleh Robin dan Ivory tersebut karena ia bahkan tidak pernah mengetahui bahwa ia masih memiliki seorang nenek yang ternyata selama ini mengalami gangguan psikis dan dirawat di rumah sakit jiwa yang diberitakan tersebut. Hanya saja Robin merasa ada yang ganjil dengan berita tersebut.
"Ini gak mungkin. Kenapa mama gak pernah memberitahuku soal ini?"
"Apa maksudmu?"
"Yang kutau aku hanya punya seorang kakek, bahkan kematian kakek pun gak wajar. Kematian kakek dikabarkan karena adanya ledakan dari kompor gas yang terjadi. Kenapa semuanya seakan – akan diset sedemikian rupa dan gak ada petunjuk sama sekali untuk kita lacak Rob?"
"Ingat, sepintar – pintarnya seekor tupai melompat pasti akan jatuh juga. Aku yakin dibalik semua ketidakmungkinan ini pasti ada celah yang bisa kita gali untuk mencari petunjuk tersebut. Sekarang juga aku akan ke sana. Aku akan meminta rekaman CCTV tersebut."
"Aku ikut Rob."
"Tapi…"
"Please, aku harus mengetahui sendiri segala sesuatu yang berhubungan dengan keluargaku. Aku udah menunggu bertahun – tahun untuk ini. Aku harus membalaskan dendamku dengan tanganku sendiri."
"Oke, tapi aku mau kamu tetap ikuti caraku dan kumohon, jangan gegabah ataupun mengambil keputusan sendiri. Kamu harus tetap bersamaku. Janji?" ujar Robin yang direspon dengan anggukan kepala gadis itu. Ia sudah merasa begitu yakin dengan keputusan tersebut.
Tanpa disadari oleh gadis itu, petunjuk baru yang mereka temukan dan mengarahkannya untuk kembali mencari tahu mengenai kematian neneknya justru akan membuatnya hari itu kembali bertemu dengan seseorang dari masa lalunya. Bersama Robin dengan motor mogenya, mereka pun segera meluncur ke rumah sakit jiwa yang diberitakan tersebut. Dalam hati gadis itu ia merasa begitu geram dan marah karena ibunya sendiri pun telah menyimpan begitu banyak rahasia yang tidak pernah diberitahukan kepadanya. Bagaimana ibunya bisa merahasiakan hal tersebut sedemikian rupa pikirnya. Robin bisa merasakan tangan Ivory yang sedang melingkar dibagian pinggangnya telah mengeras dan sedang dikepalkan olehnya. Hal itu membuatnya bisa merasakan bahwa gadis itu pasti sedang diliputi oleh amarah dan emosi atas semua kejadian yang telah menimpa keluarganya. Ia pun segera menggenggam tangan gadis itu untuk menenangkannya.
"Yang sabar, tahan emosimu. Kita akan melewati ini bersama. Kamu gak sendirian kali ini," ujar Robin mantap, membuat gadis itu akhirnya sedikit lebih mengendurkan kepalan tangannya.
Sesampainya di rumah sakit jiwa tempat Tiffany pernah dirawat, mereka pun memulai menginvestigasi perawat yang ada dibagian pusat informasi. Ivory pun menyebutkan dirinya sebagai putri dari Moniq sang pianis terkenal dan memiliki seorang nenek bernama Tiffany yang pernah dirawat di tempat tersebut. Setelah kebenaran mengenai pasien terkonfirmasi, Ivory pun segera meminta data keterangan selama pasien dirawat dan penyebab kematiannya. Akan tetapi, pihak rumah sakit tidak mengizinkannya untuk melihat keterangan tersebut sehingga mau tidak mau Ivory mulai menggunakan kekerasan. Seraya melangkah maju dan menarik kerah baju perawat tersebut, ia mengancam untuk menuntut pihak rumah sakit jika sang perawat tidak menuruti permintaannya, sehingga mau tidak mau mereka akhirnya memberikan data informasi mengenai keadaan Tiffany selama dirawat di sana lalu ia meminta data rekaman CCTV yang merekam kejadian pada saat pelaku beraksi dihari kematian neneknya. Setelah mendapatkan rekaman CCTV tersebut dengan sedikit paksaan dan kekerasan, akhirnya Ivory bisa melihat sendiri bahwa sekilas pria yang memakai seragam perawat tersebut terlihat seperti Nathan. Ia kembali mencoba memperlambat dan menghentikan video tersebut hingga ia benar – benar yakin bahwa tidak ada yang salah dengan penglihatannya. Kini ia akhirnya mengetahui satu lagi fakta bahwa ternyata memang Nathan berniat untuk membunuh seluruh anggota keluarganya termasuk dirinya.
"Brengsek! Apa – apaan orang itu? Dasar psikopat! Akan aku hajar dia!"
"Kamu mau ke mana?"
"Mau ke rumah! Aku pinjam motormu. Akan aku hajar orang itu habis – habisan. Kesabaranku benar – benar udah habis!" ujar Ivory seperti orang yang sedang kerasukan, namun Robin segera menarik lengan Ivory dan menggelengkan kepalanya.
"Aku gak akan pernah mengizinkan kamu melakukan itu."
"Aku gak peduli kamu mengizinkanku atau nggak! Ini bukan urusanmu! Lepaskan aku!" Ivory ingin segera menghajar Robin namun pria yang sudah ahli dalam dunia perkelahian tersebut tentu saja sudah bergerak lebih cepat dan bisa menangkap tangan gadis itu terlebih dahulu dengan tangkas dan mampu menaklukkan gadis itu seketika hingga kini gadis itu sudah jatuh ke dalam pelukannya agar ia bisa menatapnya alih – alih memukulnya.
"Ivory! Aku tau kamu begitu dikuasai oleh amarah dan dendammu terhadap psikopat itu, tapi udah berkali – kali kuperingatkan untuk jangan pernah main hakim sendiri. Apa gunanya aku menemanimu selama ini kalo kamu pada akhirnya hanya bekerja sendiri? Apa aku masih pantas disebut sebagai manusia kalo aku gak mampu melindungi gadis yang kucintai? Aku gak mau kembali kehilangan seseorang yang amat berarti dalam hidupku, jadi apapun yang terjadi aku gak akan pernah biarin kamu bertindak sendirian. Menghadapi orang berbahaya gak bisa dengan cara seperti ini Iv. Butuh taktik dan logika. Ikuti caraku kalo kamu memang mau balas dendam dengan orang licik seperti itu. Please, tahan emosimu, kumohon…"
Perlahan – lahan Ivory mulai melembut dan menurunkan egonya lalu ia kembali mengangguk pada Robin. Pria itu benar – benar telah mampu mengendalikan emosinya yang begitu meledak – ledak. Ia bisa merasakan ketulusan dan kesungguhan pria itu hingga ia akhirnya menunduk dan merasa bersalah karena tidak pernah memikirkan perasaan orang – orang disekitarnya serta cenderung bersikap ceroboh hingga kerapkali menimbulkan masalah baru bagi orang – orang di sekitarnya.
"Aku minta maaf Rob, lagi – lagi aku ceroboh. Terima kasih karna kamu masih bersedia menemaniku dan senantiasa mengingatkanku," ujar Ivory dengan senyum tipisnya.
"Jangan khawatir dan berpikir terlalu banyak. Aku gak mau liat kamu bersungut – sungut seperti ini terus. Senyumlah untukku biar aku makin semangat beb," ujar Robin seraya memegang wajah Ivory yang kemudian dipukul oleh gadis itu.
"Sialan. Ini bukan waktunya untuk bercanda Rob,"
"Biar kamu jangan terlalu tegang sayang,"
"Apaan sih, berlebihan banget deh."
Pada saat bersamaan, mereka yang sedang terlihat begitu sibuk dengan kegiatan bercanda tersebut ketika sedang melangkah keluar, dari jarak yang tidak begitu jauh telah berdiri seorang pria muda dengan perawakan yang begitu kurus, berwajah pucat bahkan rambut gondrongnya terlihat acak – acakan seakan sudah tidak terurus dalam waktu yang lama lalu tiba – tiba menjatuhkan sebungkus obat – obatan ketika melihat pasangan yang baru saja keluar dari rumah sakit jiwa tersebut. Seketika sepasang mata pria itu telah berpadu dengan mata Ivory, membuatnya menghentikan tawa dan candanya. Ekspresi bahagia pada wajah gadis tersebut tiba – tiba berubah menjadi ekspresi wajah yang tegang dan ketakutan, bagaikan langit cerah yang tiba – tiba telah berubah menjadi gelap seketika, lalu ia segera menyuruh Robin untuk menghidupkan motor mogenya yang sedang diparkir.
"Sekarang juga nyalakan motor dan segera kita pergi dari sini Rob!"
"Kamu kenapa? Kamu sakit?"
"Udah cepat nyalakan sekarang! Jangan banyak tanya lagi!"
Ketika Robin sedang menyalakan motornya sosok dari jarak yang tidak begitu jauh itu pun segera berlari ke arah gadis itu dan berhasil menarik lengan gadis itu. Ia adalah seseorang yang hadir kembali dari masa lalunya. Tidak salah lagi pikirnya. Itu adalah Jade.
"Ivory! Ini benar kamu kan? Ke mana aja kamu selama ini? Ayo ikut aku pulang!"
"Hei, ternyata kamu lagi? Lepaskan tangan dia gak?"
"Oh…kamu lagi, kamu lagi. Selama ini ke mana aja kamu bawa dia pergi? Kamu masih punya hutang samaku. Sekarang juga rasakan pembalasanku!" ujar Jade yang telah melayangkan sebuah tinju ke wajah Robin namun Ivory segera mampu menangkis tangan Jade dan segera menghajarnya kembali, membuat Jade langsung ambruk dan begitu terperanjat. Bagaimana mungkin gadis kecil yang selama ini dikenalnya begitu anggun dan lembut tiba – tiba bisa berubah menjadi sebegitu beringas dan kasar terhadapnya.