Keesokan harinya, sepulang kerja Enrique dibawa oleh James untuk berkeliling kota. Ia telah memutuskan untuk bekerja hingga siang saja dan mengganti shift malamnya menjadi shift siang di restoran Italia itu karena hanya di tempat itulah ia terikat kontrak, sedangkan yang lainnya ia sudah memutuskan untuk mundur agar ia bisa lebih fokus pada apa yang ia ingin kerjakan sekarang. Ia berencana untuk melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda dulu. Namun masih diurungkannya sembari menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikannya kepada James akan tetapi, tanpa sepengetahuannya James sudah menyusun rencana terlebih dahulu untuknya dari jauh hari. Ia telah mendapatkan informasi beasiswa diberbagai sekolah yang cukup potensial untuk anak jenius seperti itu. Sebelumnya, James menunjukkan kepada Enrique terlebih dahulu tempat - tempat di mana ia sering menghabiskan waktunya bersama dengan ayah dan ibunya dulu. Hingga akhirnya James membawa Enrique untuk melihat keadaan rumah petak kecil yang berada agak jauh dari kota. Ternyata inilah rumah petak kecil yang dimaksud oleh James, peninggalan ayahnya. Minimalis. Itulah kesan pertama yang muncul dalam benaknya ketika pertama kali melihat wujud asli sepetak rumah yang berdiri kokoh di atas tanah dihadapannya ini. Sekilas ia melihat wajah ayah dan ibunya yang tersenyum melihatnya dari balik jendela rumah tersebut. Enrique yang sedang mencoba membalas senyuman mereka tiba - tiba dikagetkan oleh sebuah tangan yang melambai dihadapannya. "Hei, melihat kamu tersenyum sendiri seperti itu aku jadi merinding loh. Kamu lagi tersenyum sama ayah dan ibumu ya?" Enrique hanya membalas pertanyaan James dengan tatapan dan senyuman yang penuh arti. Seakan mengerti apa yang dirasakan anak itu, akhirnya tanpa menunggu lebih lama lagi ia pun membawanya berjalan keliling ke dalam rumah dan sekitarnya.
Keadaan rumah di dalam masih kosong dan sepertinya semua cat bangunannya terlihat masih baru karena aroma catnya masih terasa menyengat. Belum ada properti apa - apa sehingga ketika mereka sedang berbicara di dalamnya suara mereka akan terdengar seakan menggema di seluruh ruangan. Enrique mulai membayangkan andai nanti ia tinggal di sini ia akan meletakkan berbagai properti yang disenanginya di sudut tertentu. Dan mungkin ia akan mengajak James untuk tinggal bersamanya, namun tidak sekarang. Karena rumah ini cukup jauh dari perkotaan ia takut akan menghabiskan waktu yang lama di perjalanan jika ia tinggal di sini. Jadi untuk sementara ini ia akan ikut tinggal bersama James terlebih dahulu. Di samping rumah petak kecil ini juga dibangun sebuah garasi mobil yang tidak cukup besar namun masih muat untuk satu unit mobil. Enrique pun membukanya dan ia begitu kaget dengan apa yang dilihatnya di dalam. Sebuah Celerio biru terpampang dihadapannya, kilap dan bersinar hingga menyihir mata setiap orang yang melihatnya, namun tidak ada yang menyangka bahwa itu bukanlah barang baru. "Second dan murah", ujar James singkat dan tersenyum tipis seolah tahu apa isi hati Enrique ketika memandangnya. "Tapi ini terlihat sangat bagus dan masih baru, Kak. Apa ini tidak salah?" "Ayahmu tidak salah jika hanya menghadiahkanmu ini Riq, meskipun second tapi semuanya masih mulus. Aku yang membantunya memilih waktu itu. Aku mewakili ayahmu minta maaf sama kamu karna belum sempat beliau hadiahkan yang baru untukmu. Yah, kamu tau sendiri kan, kondisi yang memburuk." "Ini sudah lebih dari cukup, Kak. Tapi aku kan tidak bisa mengendarainya." "Gampang, asal kamu punya niat untuk belajar saja. Ada lagi kejutan lain untukmu. Bukalah mobil itu. Nih kuncinya. Sekarang semua kunci rumah dan mobil ini sudah aku serahkan padamu." Bahkan untuk membuka pintu mobil saja Enrique terlihat seperti anak kecil yang baru belajar cara memainkan mainan barunya, lalu James yang sedari tadi melihatnya lucu hanya bisa menertawakannya lalu menawarkan bantuan. "Karna kubantu, bukan kejutan lagi dong namanya." Enrique hanya bisa tertawa kecil karena merasa malu dengan tingkahnya itu. Ketika ia melihat ke dalam, ia menemukan beberapa brosur dan mengambilnya dengan segera. Rasanya ia tidak asing dengan isi brosur tersebut. Terlebih lagi saat ia membaca isinya. Serasa bagaikan mimpi, Enrique tidak percaya pada apa yang dilihatnya didepan matanya. "Ini..." Dengan mata yang berkaca - kaca dan berbinar menatap wajah James yang sedari tadi menyunggingkan sebuah senyum sumringah, Enrique seolah bertanya apakah itu benar nyata atau tidak. "Mulai bulan depan kamu sudah bisa sekolah lagi. Aku sudah bantu kamu untuk mendapatkan beasiswa itu. Kemarin Tuan sempat memberikan semua sertifikat dan dokumen - dokumen yang berhubungan dengan sekolahmu. Aku sudah mempelajarinya. Dan sebelum kondisinya parah, Beliau sempat memintaku untuk membantumu mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolahmu yang mungkin akan tertunda ketika bisnis ayahmu pailit suatu hari nanti. Aku sudah berjanji padanya dan sekarang aku sudah mewujudkannya. Yang rajin ya sekolahnya. Biar nanti kamu bisa ajari aku lebih banyak hal lagi yang tidak kumengerti. Setelah kamu lulus SMA, kamu juga bisa mendapatkan beasiswa lagi di universitas yang kamu inginkan. Tinggal sebutkan dan aku akan membantumu mengurus semuanya." Dengan perasaan yang terharu dan mata yang berkaca - kaca, Enrique pun memeluk James sebagai ungkapan terima kasih karena berkat dirinya, akhirnya ia bisa kembali melanjutkan cita - citanya yang sempat tertunda. "Terima kasih banyak atas semuanya ini, Kak James. Kali ini aku yang berhutang budi padamu." "Jangan berkata begitu. Ini memang sudah kewajibanku." "Kalo boleh kutanya, bagaimana aku harus membayar gajimu kak? Aku kan juga belum bisa menghasilkan uang sebanyak yang ayah hasilkan dulu dan aku juga belum mengerti berapa dulu ayah membiayai gajimu kak? Maaf jika aku lancang." "Dasar anak muda. Sok ngerti soal gaji aja kamu sementang kamu sudah kerja sama orang lain sekarang. Kamu tidak perlu pikirkan soal itu. Sebelum meninggal ayahmu sudah membayar gajiku beserta bonus bulanan yang cukup banyak. Jadi aku tidak perlu lagi gaji darimu. Tunggu nanti kamu sukses dulu baru aku akan minta kamu untuk bayar gajiku." Enrique hanya bisa tertawa terbahak - bahak mendengar gurauan James.
Seiring berjalannya waktu sejak mereka bertemu, James kembali seperti dulu, menjadi supir bagi tuannya, bukan, kali ini supir anak tuannya, yang siap mengantarnya ke sana kemari dan membantu anak tuannya dari hal kecil hingga hal besar. Bahkan kini ia pun telah menganggap Enrique bagaikan adiknya sendiri. Namun, Enrique yang masih muda sudah memiliki pemikiran yang cukup jauh, ia merasa bahwa tidak bagus juga jika ia hanya menumpang hidup bersama James namun tidak mampu memberikannya penghasilan apa - apa karena selama ini ayahnya yang telah membiayai seluruh kehidupan James. Disela - sela waktu senggangnya, diam – diam ia menyempatkan diri untuk mendalami hobinya di bidang IT. Ia merancang dan mengembangkan sejumlah teknologi canggih yang berbasis program website untuk dijual ke berbagai perusahaan - perusahaan yang mungkin saja akan membutuhkannya. Ia cukup lihai dalam pemasangan promosi dan iklan di berbagai situs web, alhasil dalam kurun waktu beberapa bulan saja ia sudah mampu menjual sebanyak puluhan program dan mulai bisa menghasilkan pemasukan sendiri disela - sela kegiatannya yang sudah cukup padat. Hingga suatu hari ia mampu memberikan gaji yang sepadan dengan apa yang pernah diberikan oleh ayahnya kepada James dulu, membuat James tercengang seketika. "Dapat dari mana kamu uang sebanyak ini? Kamu tidak diam - diam menjual pemberian ayahmu kan?" "Tenang saja Kak, ini hasil kerja kerasku sendiri." Enrique pun menunjukkan kepadanya apa yang selama ini ia kerjakan hingga bisa mendapatkan penghasilan sebanyak itu. Kali ini, James yang merasa terharu dan terpukau. Baru kali ini ia mengenal seorang anak muda yang begitu berkompeten dan cekatan, bahkan dirinya dulu tidak secerdas ini, pikirnya. "Kamu benar - benar memiliki kemampuan, karakter dan bakat bisnis seperti ayahmu Riq, bangga aku sama kamu. Andai ayah dan ibumu masih ada, pasti mereka akan sangat bangga padamu sekarang ini. Terima kasih banyak." "Sama - sama kak, aku yang harusnya berterima kasih banyak sama kamu, karena berkat bantuan dan dukunganmu akhirnya aku bisa bangkit lagi seperti sekarang ini. Akan aku traktir kamu malam ini di restoran tempat kerjaku ya." "Wow, ada calon bos besar nih nampaknya." Canda tawa terlihat memenuhi atmosfer diantara kedua pria muda tersebut, mereka terlihat begitu bersemangat untuk merayakan hari kemenangan mereka di Restoran Del'Mondo, restoran khas Italia tempat Enrique bekerja sekarang. Enrique dan James terlihat layaknya dua bersaudara yang sudah tidak lama berkumpul dan merayakan hari spesial mereka. Tanpa mereka sadari, dibalik kebahagiaan mereka itu, ada seseorang yang mengikuti mereka selama di perjalanan ke restoran tersebut. Seorang penjaga pintu di luar sempat curiga dan melaporkan mengenai hal ini kepada putri tunggal dari pemilik restoran tersebut, Monique Keithleen yang kebetulan malam itu mendapat giliran untuk mengobservasi semua karyawan dan keadaan di restoran. Moniq mulai mencium gelagat tidak beres dari orang tersebut, dan benar saja terlihat orang tersebut mengeluarkan sebilah pisau kecil yang diarahkan ke Enrique, lalu dengan sigap dan cepat, Moniq sudah berlari dan mencapai tempat di mana Enrique sedang duduk. Kini tatapan mereka bertemu satu sama lainnya. Ada sinar cahaya yang terpancar pada kedua bola mata masing – masing. Sinar yang tidak akan mampu dijelaskan oleh kata – kata.