"Sampai kapan ya Bang kita kaya gini?" tanya Eira
"Kita harus terus berusaha dan berdoa dek. Nanti pasti ada jalan keluarnya." jawab Bang Ghazam.
Kehidupan Eira dan Abangnya jauh dari kata sempurna. Orang tua mereka memutuskan untuk bunuh diri karena terlilit hutang. Dulunya ayah Eira adalah salah satu pengusaha tersukses. Tapi entah mengapa suatu hari perusahaan ayahnya mengalami kerugian besar dan berakhir terlilit hutang. Banyak investor mulai menagih uang pada ayah Eira, bahkan sampai ada yang meneror di rumah mereka.
Keadaan Eira juga tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Hidupnya dihantui rasa was-was karena banyak orang yang mulai menagih hutang ayahnya melalui dirinya. Eira bahkan sempat tidak masuk sekolah karena banyak orang yang selalu menunggu dirinya di depan sekolah dan menagih hutang ayahnya. Eira hanya bisa menangis. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Hanya Bang Ghazam yang mampu menenangkan Eira. Bahkan Bang Ghazam merelakan sekolahnya agar dirinya dan adik kesayangannya tidak kelaparan dan kedinginan.
Hidup keluarga Eira yang awalnya bergelimang harta berubah menjadi keluarga yang serba kekurangan. Sampai puncaknya, orang tua Eira memutuskan untuk bunuh diri dengan meminum pewangi toilet karena tidak kuat menghadapi penagih hutang. Eira dan Bang Ghazam benar-benar terpukul atas apa yang terjadi. Sejak saat itu, Eira berjanji pada dirinya sendiri untuk menemukan siapa orang yang sudah menghancurkan keluarganya.
***
"Dek, ayo sarapan dulu. Udah siang, nanti kamu terlambat!" teriak Bang Ghazam dari dapur.
Eira bergegas keluar dari kamarnya dan pergi ke dapur yang sangat sederhana. Sudah dua tahun Eira dan Bang Ghazam tinggal di rumah sederhana ini. Hanya ada dua kamar tidur, satu dapur, satu kamar mandi, dan ruang tamu sekaligus ruang makan.
"Wih nasi goreng nih. Udah lama aku nggak makan nasi goreng." ujar Eira bersemangat.
"Karena kamu lama nggak makan nasi goreng, Abang buatin deh. Abang ambilin ya."
Mereka pergi ke ruang tamu dan makan nasi goreng bersama. Rutinitas ini pasti mereka lakukan setiap hari. Sejak orang tua mereka tiada, Eira dan Bang Ghazam mengerti arti penting kebersamaan. Hanya mereka yang bisa saling menguatkan dan mendukung satu sama lain. Orang lain tidak akan bisa menggantikan hal tersebut.
"Ayo bang berangkat, keburu siang." kata Eira.
Eira dan Bang Ghazam segera beranjak dari sofa dan bersiap-siap berangkat. Di jalan, mereka berbincang ringan mengenai kegiatan apa yang akan mereka lakukan. Tak banyak yang akan dilakukan Eira hari ini, ia hanya pergi ke sekolah dan pulang.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, Eira segera berpamitan pada Bang Ghazam.
"Bang, aku sekolah dulu ya. Abang hati-hati naik motornya." ucap Eira.
Bang Ghazam hanya tersenyum dan mengangguk. Eira pun masuk ke dalam sekolah.
Setibanya di kelas, entah kesialan apa yang menimpa Eira hari ini. Ia dikerjai oleh Hasan, orang yang paling Eira benci. Hasan sering merundung Eira karena rumahnya yang kecil dan riwayat kehidupan keluarganya. Eira sebenarnya tidak terlalu mengambil pusing masalah itu, hanya saja Hasan membuat Eira merasa tidak nyaman, seperti hari ini. Hasan mengoleskan lem kayu ke bangku Eira. Teman-temannya sontak tertawa saat Eira duduk. Eira sangat marah sekaligus malu. Jika dirinya memaksakan untuk berdiri, roknya akan sobek. Tapi jika Eira tidak berdiri, roknya akan menempel lebih kuat.
Akhirnya Eira memutuskan untuk berdiri. Benar saja, roknya sobek sangat besar. Teman-teman Eira tertawa lebih keras dibanding sebelumnya. Eira berlari keluar dan menangis. Ia berpikir bagaimana harus mengatakan hal ini pada Abangnya. Mereka sudah sangat kekurangan. Jika Bang Ghazam membeli rok untuknya, yang ada mereka tidak bisa membayar kontrakan. Saat tengah berlari, tak sengaja Eira menabrak seseorang.
Eira hanya diam. Ia menangis terduduk meratapi nasibnya hari ini. Bukannya memarahi dan merutuki Eira, orang yang ia tabrak malah jongkok dan memberikan jaket yang ia kenakan pada Eira.
Eira bingung dengan sikap orang tersebut. Kenapa orang ini diam saja?
"Lo pasti butuh jaket ini. Ambil aja, tapi jangan lupa dikembaliin." ujar orang tersebut dan berlalu pergi.
Eira hanya diam sambil memandangi punggung orang tersebut yang semakin menjauh. Ia berusaha memahami apa yang orang tersebut katakan. Tak lama, Eira bangkit dan mengenakan jaket orang yang baru ia temui. Eira berlari menuju kelas karena bel sudah berbunyi. Di kelas keadaan tak berubah. Mereka masih menertawakan Eira seolah ia sedang melakukan hal yang lucu. Eira hanya bisa diam dan duduk di bangkunya.
"Selamat pagi anak-anak, hari ini ada murid baru di kelas. Ayo masuk dan perkenalkan diri kamu." ujar Bu Ratna, wali kelas Eira.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi pun masuk ke dalam kelas. Eira kaget bukan main. Laki-laki itu adalah orang yang ia tabrak tadi pagi di lorong sekolah. Ini adalah kebetulan yang sangat luar biasa sekaligus memalukan. Eira sangat malu saat laki-laki itu melihatnya dan tersenyum tipis.
"Perkenalkan nama saja Madava. Kalian bisa panggil saya Mada." kata laki-laki tersebut memperkenalkan diri.
"Baik Mada, silahkan kamu duduk di sebelah Eira." ucap Bu Ratna.
Eira makin tak karuan lagi. Orang yang ingin ia hindari hari ini malah harus duduk bersamanya. Mada berjalan santai ke meja Eira. Teman-teman perempuan Eira melihat Mada dengan tatapan kagum.
"Ganteng banget sih kamu. Boleh tukeran nomer nggak?" ujar salah satu siswi.
Eira tak mengelak jika paras Mada sangat tampan. Dengan postur badan yang tinggi dan hidung yang mancung serta kulit bersihnya membuat siapapun yang melihat Mada pasti akan terpikat.
Mada tidak menghiraukan orang-orang di kelas. Pandanganya hanya lurus ke depan dan sesekali melirik Eira. Saat Mada duduk, kelas mendadak sepi dan banyak yang berbisik.
"Eira mah nggak ada apa-apanya di banding kita. Mada pasti nggak akan betah sebangku sama Eira." bisik salah seorang siswi.
Sebenarnya itu lebih ke teriakan, karena ucapan siswi tersebut sangat kencang, jadi siapapun pasti akan mendengar ucapannya. Lagi-lagi Mada hanya diam dan tidak merespon apapun. Bagi Mada, semua sama saja. Ia justru merasa Eira adalah orang yang cocok berteman denganya. Mada merasa Eira adalah orang yang baik dan tidak sombong. Ia justru bingung, kenapa tidak ada yang mau berteman dengan Eira.
"Gua Mada, yang minjemin lo jaket. Inget kan?" tanyanya.
"Iya aku inget kok. Kenalin aku Eira." jawab Eira kaku.
"Kaku banget. Gua nggak gigit tenang aja." ujar Mada santai.
Eira hanya tersenyum kikuk. Sejujurnya Eira ingin menghilang saat itu juga. Tapi karena pelajaran akan dimulai, niat untuk kabur dari kelas pun urung. Sebenarnya bisa saja Eira kabur. Tidak akan ada yang memperhatikannya. Eira bukan siswi yang menonjol di kelas. Tidak semua guru kenal dengannya. Tapi karena ia sayang dengan Bang Ghazam, Eira memutuskan untuk belajar dengan giat agar perjuangan Abangnya tidak sia-sia.
***
Istirahat pun tiba.
"Gua boleh minta tolong anterin ke kantin ga? Gua belum terlalu tau tempat-tempat di sekolah." ajak Mada.
Eira sebenarnya ingin sekali menolak. Ia ingin pergi jauh dari Mada karena kejadian tadi pagi. Tapi kalo dipikir-pikir, Eira juga harus berterima kasih pada Mada karena sudah meminjamkan jaketnya. Kalau saja Mada tidak meminjamkan jaketnya, entah apa yang akan terjadi padanya hari ini. Akhirnya Eira menyetujui ajakan Mada ke kantin.
"Ayo aku antar."
Mereka berjalan beriringan ke kantin. Banyak pasang mata yang melihat ke arah mereka berdua. Mada tidak terlalu memperdulikan hal tersebut. Ia sudah biasa menjadi sorotan. Lain halnya dengan Eira. Ia merasa risih menjadi tontonan seperti itu.
"Kok banyak yang ngeliatin ya? Kayanya ada yang salah deh sama seragamku. Apa sobekan rokku kelihatan? Ah nggak mungkin. Kan udah ditutup jaket." ujar Eira pada dirinya sendiri.
"Lo suka ngomong sendiri ya? Biarin aja mereka liat kita. Nanti juga capek-capek sendiri." sahut Mada.
Lagi-lagi Eira hanya tersenyum kikuk sambil menahan malu. Baru kali ini ada siswa di kelas yang bicara begitu padanya. Sangat halus dan nyaman di dengar. Baru kali ini juga Eira pergi ke kantin dengan teman. Biasanya ia pergi ke kantin sendiri, atau bahkan tak pergi sama sekali. Tidak akan ada yang mau mengantar Eira ke kantin. Eira serasa orang buangan yang tidak dianggap di kelasnya.