Seorang perempuan muda bertubuh kurus dengan tinggi rata-rata wanita Eropa, berjalan memasuki ruang makan. Polesan make-up tipis tersaput di wajah kecilnya yang cantik alami. Dress berwarna biru muda membalut tubuhnya hingga ke lutut.
Mata abunya beredar ke sekeliling ruangan. Sebuah ruangan luas dengan warna putih yang dominan. Kaca jendela besar menyajikan pemandangan pagi hari yang menyejukan di halaman samping yang banyak ditumbuhi pepohonan besar dan hamparan rerumputan hijau yang dipangkas rapi. Meja makan berada tepat di tengah ruangan. Sebuah chandelier kristal menggantung tepat di atasnya.
Barisan menu sarapan telah tersaji di atas meja berbentuk persegi panjang yang muat untuk dua belas orang. Namun, anggota keluarga yang lain masih belum menampakkan batang hidungnya, kecuali dirinya. Perempuan berambut coklat chestnut itu selalu konsisten dalam pengaturan waktu setiap kegiatan yang dilakukannya.
"Di mana dia?" tanya perempuan berambut panjang bergelombang itu.
"Masih berada di kamar tidur," jawab Arda. Seorang wanita paruh baya yang merupakan Kepala Pelayan Keluarga Hart.
"Kau sudah memanggilnya?"
"Sudah, Nyonya."
Perempuan itu mengambil langkah lebar menuju kamar tidur pria yang dibencinya di lantai atas. Satu-satunya kamar yang paling besar di dalam mansion house milik kedua orang tua si pria. Satu-satunya kamar yang menjadi tempatnya bermain dengan para wanita penghibur yang selalu dibawanya ke sini setiap akhir pekan. Satu-satunya kamar yang paling tidak ingin dipijaknya. Satu-satunya tempat yang paling dibencinya beserta pemiliknya.
Suara tawa manja seorang perempuan cukup jelas terdengar dari tempat dia berdiri di depan pintu kamar, disusul tawa seorang pria yang dikenalnya. Dia membungkus telapak tangan kirinya menggunakan serbet makan yang sengaja dibawanya dari atas meja makan. Tangannya terangkat mengetuk pintu kamar dengan enggan bercampur kesal.
Pintu terbuka setelah dia menunggu beberapa saat. Pria itu menampakkan diri dengan hanya mengenakan celana dalam pendek. Bagian atasnya yang terbuka memperlihatkan dada yang berbidang dengan massa otot sedang dibalut kulit seputih porselen.
"Selamat pagi, Seren!" sapa si pria, tersenyum menggoda.
Setiap kali berhadapan dengan pria itu, Serenade selalu memalingkan wajahnya ke arah lain atau jika harus bertatap muka, Serenade memilih menatap hidung runcing pria itu.
"Siapa itu, Ethan sayang?" tanya seorang perempuan dari dalam kamar tidur.
"Istriku," jawab Ethan.
Istriku? Serenade mual mendengar kata itu terlontar dari mulut kotor priaꟷpria yang sebenarnya cukup tampan itu. Pun benci mendengar dia mengucapkan namanya. Dia juga benci pada dirinya sendiri karena kini namanya harus bersanding dengan nama keluarga suaminya. Serenade Hart.
Serenade melihat seorang perempuan muda melompat turun dari atas tempat tidur yang berantakan. Perempuan tidak tahu malu itu menghambur keluar, menampakkan dirinya di hadapan Serenade.
"Sayang," ucapnya, manja. Dia memberikan tatapan tidak suka pada Serenade.
Mata abu Serenade menelisiknya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambut pendek hitam perempuan itu berantakan. Pakaian tidurnya terlihat sangat tidak layak untuk dipertontonkan di luar ruang tidur. Entah dari mana Ethan mengais perempuan kotor semacam itu.
"Sepertinya kalian berpesta sepanjang malam," ucap Serenade, tersenyum tipis.
"Seperti yang kau lihat," jawab Ethan, ringan. Rambut pirang Ethan berantakan bagai diterpa tornado.
"Ethan, apa dia benar-benar istrimu yang cacat itu? Kenapa dia masih bersikap sombong," ucap si perempuan.
Kedua alis Ethan bertaut. Rahangnya mengeras.
Netra Serenade membulat. Perempuan tidak tahu malu itu telah menyinggung perasaannya. Serenade paling benci jika ada yang menyebutnya 'cacat'.
"Kemasi bajumu," kata Serenade, suaranya tenang dan terkontrol.
Ethan berpaling ke arah lain, berpura-pura tidak mendengarnya.
"Kenapa? Apa hakmu di sini? Kau hanya seorang istri yang tidak terpakai. Benar, kan, Ethan?" ucap perempuan itu.
Serenade melirik Ethan yang bergeming. "Kemasi bajumu. Itu perintahku. Suka atau tidak, aku tetap Nyonya Rumah. Kauꟷhanya penghibur Mr. Hart di banyak waktu luangnya." Serenade mengarahkan pundaknya pada Ethan. "Bersihkan tubuhmu. Sarapan sudah siap. Dan pastikan kau memakai pakaianmu."
Serenade melangkah pergi dengan penuh percaya diri. Ethan menatap punggung istrinya dan sebuah senyum terbalik terukir di bibir tipisnya yang sewarna peach.
Serenade menghentikan langkahnya di undakan anak tangga terakhir. Dia menatap tajam ke lantai atas. Sebulir air mata mengalir tanpa bisa ditahannya.
Rasa sakit di hatinya pada pria itu akan tetap sama dan tetap berada di sana.
Serenade tidak menginginkan kehidupannya menjadi seperti sekarang ini. Semua yang telah terjadi merupakan salahnya Ethan. Dia tidak boleh menyerah pada pria itu. Bagaimanapun caranya, Serenade harus mendapatkan Surat Perceraian yang telah ditandatangani Ethan.
Mats hazel Ethan menatap Serenade yang tengah menyantap seporsi salad sayuran. Suara sepatu si perempuan muda terdengar sangat jelas meski dia masih berjalan menuruni anak tangga. Langkahnya panjang dan tergesa-gesa menuju pintu keluar.
"Sepertinya sekarang kau berkencan dengan seekor gorila betina," sindir Serenade, datar.
Ethan tersenyum sempurna. "Kenapa kau selalu menjelekkan teman kencanku, Mrs. Hart? Jangan katakan kalau kau cemburu."
"Itu karena seleramu buruk," jawab Serenade.
"Benarkah? Kalau begitu bagaimana jika kau yang menjadi teman kencanku? Aku ingin tahu apa kau mampu menghina dirimu sendiri," ucap Ethan.
Serenade menatap sinis. "Itu tidak akan pernah terjadi."
"Jangan lupakan statusmu sebagai Mrs. Hart. Selama itu, aku berhak atas dirimu. Kapanpun aku menginginkannya bersamamu ... saat itu aku pasti mendapatkannya."
Tatapan mata Ethan yang lembut dan dalam saat melihat Serenade adalah hal yang paling perempuan itu takutkan. Dia tidak pernah berani menatap Ethan kala itu. Dia takut terperangkap dalam manik hazel Ethan. Dia khawatir bahwa dia akan benar-benar menyerah pada Ethan.
"Hal itu tidak akan pernah terjadi. Kau hanya tinggal menandatangani surat cerai dan kau bebas berkencan dengan perempuan macam apapun yang kau inginkan. Berkencanlah sebanyak yang kau mau. Aku tidak peduli," kata Serenade, ketus.
Ethan menghela napas panjang. Dia berdiri dari tempat duduknya seraya berkata, "Aku sudah kenyang."
Ethan selalu begitu. Dia selalu menghindar di saat Serenade menyinggung soal perceraian. Sebenarnya bisa saja Serenade yang mengajukan permohonan perceraiannya. Namun, dia tidak bisa melakukannya. Ada beberapa alasan yang menahannya bertindak lebih dulu, jadi Serenade hanya bisa menunggu Ethan yang mengajukan permohonan perceraian ke pengadilan. Meskipun taruhannya adalah nama baiknya.
Si perempuan muda bersandar pada kap depan mobil Ethan yang selalu diparkirkan pria itu dengan sembarangan. Wajahnya masam. Sesekali netra hitamnya berpaling pada pintu depan.
Kesabaran perempuan muda itu telah hilang. Dia kembali masuk dengan tidak sopan. Serenade yang kala itu berjalan melintasi foyer dibuat kembali kesal dengan sikap tak tahu etika yang diidap teman kencan suaminya.
"Kau mau ke mana?" tanya Serenade.
"Tentu saja ke kamar kekasihku," jawab perempuan itu, lantang.
Arda yang mendengar kebisingan segera menuju ke foyer.
"Siapa namamu?" tanya Serenade.
"Jessy."
"Usiamu?"
"21."
"Universitas?"
Jessy mendengus kesal. "Apa-apan kau ini?"
"Universitas?" Serenade mengulang pertanyaannya dengan sikap yang sama tenangnya.
"Sclipitor University," jawab Jessy.
"Arda, kau sudah merekam semuanya?" tanya Serenade.
"Sudah, Nyonya."
"Apa yang kau rekam?" tanya Jessy, bingung dan cemas.
"Terimakasih atas informasinya. Sebelumnya aku telah mengirimkan beberapa video 'aksimu'. Ini hanya pelengkap yang diminta pihak universitas. Sekarang kau tinggal menunggu Surat Keputusan Pemberhentian Mahasiswa dari rektor Sclipitor University," kata Serenade.
Jessy tercengang. Dia menarik tangan Serenade dan memohon agar Serenade tidak melaporkannya. "Tolong jangan lakukan itu! Jangan laporkan aku. Aku telah belajar dengan keras untuk bisa kuliah di Sclipitor. Kedua orang tuaku yang pegawai swasta juga telah menghabiskan banyak uang untuk biaya kuliahku. Tolong jangan hancurkan masa depanku."
"Itu konsekuensi atas perbuatanmu. Kau telah mensia-siakan hasil belajarmu dan juga hasil jerih payah kedua orang tuamu hanya untuk menjual diri pada pria hidung belang yang hanya memanfaatkan tubuhmu. Apa yang kau dapat dari mereka? Uang? Untuk apa? Bersenang-senang? Berapa lama? Kau hanya memikirkan dirimu sendiri."
"Aku terpaksa melakukannya," kilah Jessy.
"Itu bukan keterpaksaan. Itu sebuah pilihan," ucap Serenade.
Serenade melepaskan tangannya dari Jessy. Perempuan berbadan tinggi itu hendak berlari menuju lantai atas, tetapi langkahnya terhenti di tengah undakan anak tangga.
"Ethan ...." Jessy menggelengkan kepalanya. "Sayang, kau harus membelaku. Bicaralah padanya. Hentikan dia sekarang."
Ethan telah memakai setelan jas slimfit dengan warna coklat kopi. Rambut pirangnya telah disisir rapi tanpa terkesan klimis.
"Ini urusan wanita, aku tidak ingin ikut campur," ucap Ethan, ringan.
Ethan melangkah melewati Jessy seolah wanita itu tidak memiliki peran apapun dalam kehidupannya. Padahal tadi malam dia telah memuaskannya.
"Ethan," panggil Jessy.
"Sudah cukup," ucap Arda.
Arda memimpin langkah Jessy yang tampak terpukul melihat sikap dingin Ethan. Serenade menatap Jessy yang kepalanya terkulai.
"Kau terlalu berlebihan," ucap Ethan, terdengar tidak serius saat mengatakannya.
"Dia sudah melanggar Kode Etik Mahasiswa." Serenade menanggapi ucapan Ethan dengan serius.
"Kenapa kau selalu mengusik teman kencanku? Katakan saja kalau kau cemburu, Seren. Aku bisa menerimanya," kata Ethan.
"Aku tidak cemburu Mr. Hart. Jika kau ingin melakukannya, lakukan di luar rumah. Jika kau ingin mencari teman kencan, pastikan lebih dulu latar belakangnya. Setelah itu kita tanda tangani surat cerai," kata Serenade.
Ethan mendorong tubuh Serenade ke dinding dengan agresif. Tangan kanannya ditempatkan di belakang kepala Serenade, mencegahnya membentur tembok.
Serenade masih mempertahankan tatapannya yang penuh percaya diri. Tetapi tatapannya tidak pernah tertuju pada mata Ethan. "Kau ingin memukulku? Silakan."
Netra Ethan melembut menatap wajah Serenade. Setiap garis dan sudut wajah Serenade telah terlukis jelas dalam hatinya. Sebuah perpaduan kecantikan Lithuania dan Prancis.
Tangan kiri Ethan meraba leher Serenade yang terbuka. Ibu jarinya membelai pelan bagian tengahnya. Serenade memalingkan wajahnya ke sisi lain kala Ethan semakin mendekat dan mengunci pergerakannya.
"Pergilah. Kau akan terlambat ke kantor," ucap Serenade.
Kelopak mata Ethan terpejam dan kepalanya terkulai di persimpangan leher Serenade. Embusan napas pria itu terasa hangat menyentuh kulit Serenade.
"Aku benci tempat itu," gumam Ethan.
"Pergilah," ulang Serenade, tegas.
Ethan beringsut membuat jarak di antara keduanya. "Baiklah, Sersan. Aku akan mengikuti perintahmu."
Serenade mematung di tempatnya. Apa yang telah dikatakannya? Sersan.
Serenade mengangkat tangan kanannya. Dia menatap nanar pergelangan tangan kanannya yang hilang.
"Tidak ada lagi Sersan. Tidak ada lagiꟷSersan."