Bunyi lift saat tiba di lantai yang ku tuju memenuhi telinga ku. Aku merasa tidak pulang terlalu malam. Namun tidak biasanya terasa sunyi di sekitar hotel. Altezza juga sudah menghilang entah kemana.
Tangan ku menggeser pelan kartu kamar hotel sebelum bergegas merebahkan tubuh ke atas ranjang. Namun semua rencana itu berakhir menjadi wacana saat melihat gadis kecil sedang tertidur pulas begitu rapi. Ayahnya mendidik gadis ini dengan keras sampai tidur pun teratur. Sayangnya dia masih terlalu lembut mengenai perasaannya.
Padahal itu lah yang sebenarnya mampu mengubah total karakter dan kebiasaan dari orang tersebut. Mataku tidak butuh waktu lama untuk kembali terpejam pulas.
"Bunda, kapan pulang? Riana rindu Bunda,"ucap gadis itu memelukku hangat dengan mata terpejam.
Akh, aku sudah mau tidur malah menjadi penasaran maksudnya. Tidak, Gita sekarang saat yang tepat untuk tidur. Lagipula gadis itu akan kembali ke pangkuan Ayahnya besok pagi, batinku enggan berpikir keras.
Tapi mana mungkin otakku bergeser untuk diam sedangkan kedamaian sudah berpindah. Tangan ku meraih tablet mempelajari slide. Hal itu terasa lebih berguna. Lagipula sepertinya Ibunya juga hanya sedang keluar kota. Benar saja jika pola pikir ku mengatakan Dirga terlalu menyayangi gadis itu.
Tetap saja mata ini sudah terlanjur terbuka enggan tertutup. Entah apa yang harus ku lakukan? Padahal seluruh tubuh ku sudah terasa remuk. Aku harus menyatakan semua komplain ini pada pria itu esok. Tidur malam dan perjalanan kerja ku menjadi terhambat karenanya.
"Mbak, tadi ada laki-laki berpakaian tentara datang ke hotel. Tapi karena jaminan privasi Petrokimia, berhasil dilindungi. Altezza juga belum kunjung pulang, entah kemana,"
Pesan suara Celine terdengar tenang berarti pria itu tidak sedang mengadakan perlawanan. Aku juga tidak ingin menahan gadis ini lebih lama. Besok semuanya akan usai. Hanya tinggal satu malam saja aku harus bersabar dengan semua cobaan ini.
Baru saja menggeser laman pesan, tampilan grup yang cukup ramai begitu menyudutkan saat melihat berita hangat diriku dan Dhito hari ini. Mereka hanya tau dari gambar terlihat dekat. Namun kenyataannya aku sedang berusaha menyelamatkan karier yang tengah terombang-ambing karena gadis kecil di sebelah ku.
"Ayah,"ucapnya terbangun membuatku menoleh heran.
"Hah, kamu terlalu berisik. Bahkan orang dari lantai satu juga bisa mendengarnya,"ucapku sebal.
"Er, maaf Tante. Aku hanya senang bertemu Ayah,"ucapnya mengaku membuatku menatapnya lekat.
"Dengar, gadis kecil. Aku sangat tidak suka anak kecil. Jadi, untuk apa aku menahanmu? Besok Ayahmu sudah membuat janji padaku bertemu jam 7 di lobi hotel. Jam setengah 7 pagi kita akan kesana menunggu Ayahmu,"ucapku membuatnya tersenyum lebar.
"Tante, gantungan koper Tante bagus. Tante dapat darimana?"tanya Rania membuatku melirik beberapa gantungan yang dia maksud.
Bukannya hobi mengoleksi, hanya saja itu pemberian dari beberapa rekan saat perjalanan keluar kota dan negara. Menerimanya bukan masalah besar dan sepertinya terdengar baik.
"Temen,"ucapku melihat matanya sangat tertarik melihat gantungan bercahaya pupuk Anumerta.
"Ambil ini. Aku bisa mendapatkan lagi saat kembali,"ucapku memberikannya.
"Wah, makasih Tante,"ucap Rania malah semakin membuat kantuk ku menguap entah kemana.
Seragam hitam Anumerta tergantung rapi sepertinya baru saja disiapkan Celine. Karena seingat ku, belum menyiapkan pakaian apapun. Padahal sudah ku bilang tidak perlu repot untuk keperluan pribadi ku. Hijab abu muda akan terlihat cocok sesuai dengan salah satu warna logo Pupuk Anumerta.
"Tante, kenapa berhijab? Padahal lebih cantik nggak pakai hijab,"ucap Rania membuatku menghela nafas sebelum menyalakan pemanas air.
"Nakal boleh tapi kafir jangan,"ucapku membuka beberapa mie gelas yang selalu di koper.
Kadang kala kita tidak tahu situasi darurat apa yang sedang terjadi. Oleh karenanya, penting untuk bersiap dalam semua kondisi.
"Nama Tante panjang banget. Jadi, temen Tante panggilnya Dyah?"tanya Rania.
"Gita,"ucapku membuka celah korden melihat suasana diluar sejenak sebelum menyalakan laptop.
"Ambil sendiri kalau mau,"ucapku menunjuk beberapa mie gelas di koper.
"Nanti jangan bilang Ayah, ya. Rania habis makan mie instan,"ucap Rania ragu.
"Ya ambil lah. Aku saja tidak kenal Ayahmu. Apa yang mau ku bicarakan,"ucapku berdecak sebal memilih salah satu film dari Disney.
Entahlah.
Sebenarnya menonton tidak pernah menjadi bagian dari diri. Tapi makan sambil menonton akan mengurangi bahasan dengan anak itu.
"Wah, Tante belum pernah menonton Frozen 2".
Mungkin kalimat itu harus ku koreksi lagi. Sepertinya akan mengundang bahasan yang lebih panjang lagi. Lagian mana sempat menonton film kartun seperti itu. Ck jiwa ku harus segera dipulihkan setelah ini.
-&-
Drrt
Dering ponsel pertanda alarm yang berbunyi di atas meja membuat wajah Rania lesu. Pasalnya alarm itu bukan menunjukkan angka 7. Melainkan angka 8 pertanda kita sudah menunggu selama 2 jam lebih.
"Nona, Anda harus segera ke lokasi,"ucap Celine membuatku menatap Rania yang tampak berkaca-kaca.
Pria itu sungguh ingin mati. Ku raih tangan kecilnya berlalu meninggalkan lobi menuju lantai 15 tempat meeting akan berlangsung. Penerima tamu yang berada di sisi luar pintu tampak heran dengan ku. Terlebih saat ini membawa anak kecil.
"Dengar, Rania. Tante dan Tante Celine harus rapat sekarang. Kamu duduk saja di ruang tunggu. Aku akan menyelesaikan masalah Ayahmu setelah ini,"ucapku menepuk pundaknya.
"Iya, Tante,"ucapnya membuatku segera beranjak menyiapkan semua perlengkapan sebelum para pembesar tiba.
Tapi mengapa aku tidak melihat Altezza sejak kemarin? Kemana perginya pria itu? Apa dia mengalami masalah?
Belum usai rasa cemas yang sedang berkecamuk, Altezza tampak memasuki ruangan menatapku penuh dengan tanda tanya. Dia sedang memikirkan banyak hal saat ini. Entah apa yang sedang dia pikirkan aku pun juga tidak tahu. Namun belum sempat menyapa, seluruh komisaris besar perusahaan telah tiba bersama Dhito dan Pak Ramli.
"Selamat pagi. Saya Ramli Dhanananda, direktur utama Pupuk Anumerta. Melalui pertemuan ini akan menyatakan mengundurkan diri dari jabatan untuk kemudian menyerahkan jabatan pada putra sulung saya, Ardhito Pratama Dhanananda. Saya akan menjadi pengawas untuk semua perusahaan baik utama maupun cabang Dhanananda Corp.
Selain itu, melalui pertemuan ini saya harap bisa terjadi hubungan baik antara Pupuk Anumerta dengan Petrokimia,"ucap Ramli disambut tepukan tangan bergemuruh sebelum akhirnya Dhito berdiri memberikan pemaparan.
"Pupuk Anumerta sejak lama telah berkembang pesat bersama dengan Petrokimia. Namun, belum ada relasi yang khusus untuk menjadikan dua mega perusahaan pupuk ini saling berintegrasi. Melalui pertemuan ini, Anda sekalian bisa menunjuk salah satu perwakilan baik dari Pupuk Anumerta maupun Petrokimia sebagai penanda terjalinnya kerja sama.
Pemilihan ini akan di umumkan pada kesempatan mendatang. Dalam pertemuan ini kami akan memaparkan perolehan dan strategi Pupuk Anumerta. Setelahnya Petrokimia bisa melakukan hal yang sama,"ucap Dhito mengakhiri sambutannya.
Memang terdengar tidak biasa hari ini. Jika Pak Ramli akan mengurus serta merta pemilihan delegasi. Maka kali ini akan terbuka lebar untuk semua suara. Terdengar lebih meyakinkan sehingga semua orang bisa menilai.
-&-
"Saya Dyah Anggita Anindyaswari, manager dari divisi laboratorium Pupuk Anumerta mengucapkan terima kasih atas kesediaan, Bapak Ibu memperhatikan presentasi yang saya lakukan,"ucapku menutup presentasi setelah sedikit berkeringat menanggapi berbagai pertanyaan yang bermunculan mengenai beberapa kebijakan di divisi.
"Terakhir yang saya tanyakan pada Nona Dyah Anggita. Anda menetapkan kebijakan sesuai dengan angan atau SOP?"tanya Citra, direktur keuangan Petrokimia.
Gadis berambut blonde itu terlihat begitu anggun dan cerdas putri dari direktur utama Petrokimia, Pak Wicitra. Dia sedari tadi tidak habis membantai ku seolah ingin membunuh saja.
"Tentu saja dengan SOP. Berdasarkan SOP yang ditetapkan perusahaan bab 13 pasal 7 mengatur waktu kerja karyawan. Namun tidak menyatakan pekerjaan apa yang akan saya tugaskan pada karyawan. Sementara pada bab 10 mengenai tanggung jawab dan fungsi divisi membahas secara keseluruhan. Disusul pada bab 3 pasal 5 menyatakan semua karyawan karyawati dituntut untuk cakap dan bertanggung jawab.
Maka sangat disayangkan jika sebuah divisi hanya manager dan beberapa orang saja yang bisa menangani. Semakin bagus kinerja seluruh anggota, maka akan semakin meningkatkan kualitas divisi dan pengolahan yang ditangani. Semuanya tentu berdasarkan SOP, Nona Citra Aruni,"ucapku membuatnya mengangguk pertanda mencukupi pertanyaannya.
Seluruh rangkaian hari ini telah usai. Mataku melirik jam sudah pukul 12. Apa kabar gadis itu? Apa dia baik-baik saja? Meskipun tidak peduli, menunggu itu membosankan. Aku sangat bisa mengerti itu dengan baik.
"Seluruh presentasi dari kedua belah pihak telah dilakukan. Kami dari Pupuk Anumerta memilih Pak Shanum sebagai delegasi untuk Petrokimia jika berkenan,"ucap Dhito menyampaikan hasilnya.
"Sebenarnya kalau saya lebih setuju Pak Daniel menjadi delegasi. Semua ini sebenarnya tidak perlu, Nak. Tunjuk saja Pak Daniel. Dia kan kinerja juga bagus. Lihatlah Departemen Operasi,"ucap Ramli membuat Dhito segera mengambil suara.
Hah, aku tidak membayangkan sehancur apa jika pria brengsek itu yang menjadi delegasi. Bisa jadi gadis secantik Nona Citra juga menjadi korban atas tindakan cabulnya itu.
"Maaf, Pak. Tapi keputusan sudah ditetapkan dan akan dilihat kinerja terbaik yang berhak menduduki posisi tersebut. Kinerja Departemen bukan dilihat dari General manager nya tapi karyawannya. Sedangkan presentasi ini menunjukkan kemampuan setiap kepribadian,"ucap Dhito memancing perdebatan panas.
Bahkan ayah anak ini tidak bisakah kalian berdua berbicara empat mata saja? Aku sedang tidak ingin mendengarkannya. Aku hanya penasaran dengan Rania saat ini.
"Dek Gita, manager seperti kita lebih baik keluar saja dulu. Karena jika mereka semua yang berdebat kita hanya serpihan saja,"ucap Bu Nikita dari divisi pengembangan.
"Benar, Bu,"ucapku setuju dengan ucapannya.
"Mohon maaf sebelumnya, tapi jika menyangkut dengan saham dan internal adakalanya dibahas dengan inti perusahaan saja. Izinkan kami meninggalkan ruangan,"ucap Nikita memberikan usul segera diterima semua pihak.
Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk meninggalkan ruangan. Lagian mereka mau berdebat sebanyak apapun kenapa tidak di rumah saja? Drama orang kaya memang agak beda.
"Nona Dyah". Kaki ku berhenti sejenak mendengar panggilan itu sebelum berbalik menatap gadis cantik ditemani dengan asistennya.
"Eh, Nona Citra. Ada yang bisa saya bantu?"tanyaku heran.
"Ah, jangan formal gitu. Aku yakin Papa akan memilihmu. Untuk itu aku juga ingin menambah pengetahuan denganmu,"ucap Citra membuatku melongo.
"Anda bisa saja, Nona. Saya juga masih belajar,"ucapku.
"Nona, Anda harus segera kembali. Nyonya Wicitra meminta Anda segera pulang,"ucap asistennya.
"Heish. Pasti Dhito lagi, lagian aku juga bisa kerja kalau nggak sama Dhito,"keluhnya bisa terdengar di telinga ku.
"Kita harus bertemu dan sering bertemu lagi, Dyah Anggita. Aku akan menantikannya,"ucap Citra berlalu sembari melambaikan tangan.
Gadis itu rupanya juga korban ibu-ibu yang ingin menantunya crazy rich. Padahal Citra adalah gadis modern dan cerdas. Sungguh, hal yang unik.
"Sambil menanti, Nona Citra mari kita berbincang,"ucap Altezza membuatku menoleh menatapnya heran.
"Ada apa denganmu? Kemana saja kamu? Kenapa meninggalkan ku disana sendirian? Apa mantanmu mengganggu?"tanyaku.
"Ini bukan tentang mantan ku, Gita. Tapi anak kecil yang kamu bawa itu. Dia putri komandan angkatan udara. Beruntung tadi malam aku tidak dibunuh ajudannya. Sekarang mana anak itu?"tanya Altezza membuatku memutar bola mata malas.
"Dimana dia sekarang?"tanyaku enggan bertele-tele.
-&-
Suara pantofel beradu dengan lantai dingin hotel yang sepertinya sudah direservasi membuatnya semakin bergema. Mata ku menatap beberapa pria dan seorang wanita berdiri seolah sedang menunggu ku.
"Mana komandanmu,"ucapku tanpa tedeng aling-aling.
"Komandan memerintahkan kami mengambil Nona Rania dulu. Setelah itu Anda, bisa bertemu dengannya,"ucapnya membuatku tak tahan berdecih.
"Beritahu padanya, dia tidak akan bertemu dengan putrinya jika belum bertemu dengan ku,"ucapku tanpa ragu meninggalkan lobi.
Belum sejengkal kaki ku melangkah terdengar suara bariton menghentikan langkah. Memangnya siapa dia bisa menghentikan langkah ku? Tanpa gentar ku ambil langkah selanjutnya dengan rasa acuh.
"Seharusnya saya yang mengatakan itu, Nona Dyah Anggita. Anda sudah membawa putri saya selama 2 hari. Sekarang lebih baik Anda mengembalikan putri saya dan semuanya selesai,"ucapnya membuatku berbalik menatapnya tajam.
"Oh,"ucapku menekan panggilan video ke Celine yang masih bertahan di lantai 15.
Biarkan putrinya sendiri yang berbicara dan merenungkan kebodohan karena terlambat. Jika terlambat kurang dari 1 jam aku bisa memaklumi. Namun lebih dari 2 jam hanya membuatku terasa sia-sia.
"Ayah jahat. Rania sudah tungguin dari jam setengah 7. Sampai Tante saja bosan. Tapi Ayah nggak muncul-muncul,"ucap Rania membuatnya terlihat menghela nafas panjang.
"Kalau Anda tidak siap mengurusnya, kenapa punya anak? Saya datang ke sini karena ada urusan malah dibebankan dengan mengurus anak kecil. Sekretaris saya sudah menghubungi Anda semalam untuk tiba jam 7 di lobi. Bahkan berulang kali pagi harinya sudah dihubungi.
Tapi Anda sendiri malah meninggalkan pertemuan itu. Jika saya diminta menunggu selama satu jam tidak masalah. Tapi Anda terlambat 2 jam lebih. Saya tidak bisa menerimanya. Dengan itu Anda sudah membuang waktu saya yang berharga. Dan apa tujuan Anda membawa Altezza?"tanya ku melampiaskan amarah.
"Maaf jika saya mengganggu Anda, Nona. Pak Altezza ingin saya mintai keterangan mengenai putri saya. Tentang pagi ini, saya sedang membuka upacara pelantikan wakil komandan skuadron, Nona. Kami lupa memberikan kabar itu. Saya harap Anda bisa mengerti dan jika boleh saya ingin bertemu dengan putri saya, Rania,"ucap Dirga membuatku menghela nafas lelah.
"Karena terlambat, Anda yang harus mengikuti saya untuk mengambil Rania,"ucapku berlalu.
"Tunggu, Nona. Sebaiknya Pak Dirga di depan Anda,"ucap seorang perempuan mencegah langkah ku.
"Oh, tapi bukan saya yang terlambat. Konsekuensi ditanggung masing-masing. Jika saya berada di tempat Anda akan menghormati aturan yang ada. Begitu pun sebaliknya,"ucapku enggan berlama-lama.
Sepertinya para ajudannya memang tidak bisa ditinggalkan. Mereka semua turut menaiki lift. Jika saja ukuran lift normal mungkin aku sudah terhimpit di pintu.
"Nona, nama Anda indah".