"Bel, hari ini ada CEO baru!" teriak Anisa, dan aku hanya menanggapinya dengan acuh.
Aku harus berbuat seperti apa kalau ada CEO baru? Dari kemarin aku jelas sudah mengetahui hal tersebut dari CEO sebelumnya--Pak Rahmat. Katanya, mulai hari ini, anaknya yang bernama Dion yang akan menggantikan posisinya karena dia sudah memasuki usia pensiun. Kalau dipikir, Pak Rahmat belum terlalu tua, dan sepertinya masih bisa memimpin perusahaan ini hingga beberapa tahun yang akan datang. Namun, semua sudah menjadi keputusannya dan siapalah diri ini yang hanya seorang bawahan.
"Bel, denger enggak sih?" teriak Anisa lagi karena tidak ada respons sama sekali dari.
"Ya, aku denger, lagian Pak Rahmat kemarin sudah memberitahuku kalau mulai hari ini anaknya yang anak menggantikan posisinya," ucapku acuh karena memang tidak tertarik sama sekali mengenai hal itu. Bagiku, siapa pun yang menjadi CEO sama saja, di sini aku hanya bekerja dan tidak lebih dari itu.
Anisa mengerucutkan bibir karen tanggapanku yang memang tidak peduli dengan hal tersebut. Betul bukan siapa pun yang menjadi CEO, aku tetap menjadi bawahan tidak berubah menjadi atasan? Kalau berganti CEO membuat gajiku naik sih tak apa, aku jelas sangat rela soal hal itu.
Aku melangkah meninggalkan Anisa yang bisa jadi masih sangat kesal kepadaku. Untuk apa memikirkan perasaan orang hanya untuk masalah yang sangat sepele, buang-buang waktu saja. Akan lebih berguna jika hari ini aku gunakan waktu untuk menyusun jadwal untuk CEO baru yang entah siapa itu.
Aku mulai mengecek jadwal yang akan dilakukan oleh CEO yang baru hari ini. Dia memang baru, tetapi bukan berarti tidak ada jadwa penting di hari pertamanya bekerja. Bagaimana pun, dia harus mulai mengerjakan semuanya sebagai konsekuensi karena sudah menggantikan Pak Rahmat.
Saat sedang membereskan semuanya, aku mendengar langkah seseorang dari belakang. Tidak ada sedikit pun niatku untuk memalingkan wajah atau apa pun namanya, lebih baik saat ini fokus pada pekerjaanku karena pasti orang yang menggantik Pak Rahmat akan segera datang, dan aku tidak boleh sampai tidak siap dengan semuanya.
"Siapa kamu?" tanya sebuah suara dari belakangku dan aku langsung membalikkan badan
Aku menegang melihat siapa yang ada di hadapanku saat ini. Apakah ini sebuah mimpi atau kenyataan? Dia yang berdiri dengan penampilan sempurn nan tampan bukan orang asing bagiku. Namun, aku sungguh tidak menyangka jika kami akan bertemu di sini setelah sekian purnama tidak bertatap muka, bahkan berkomunikasi pun tidak pernah.
"Ehm ...." Sebuah deheman mampir di telinga membuatku segera menampilkan sebuah senyuman semanis mungkin. Dia memang orang yang tidak aku ingin temui, tetapi setidaknya aku harus bisa bersikap ramah kepadanya selama di kantor. "Kamu siapa?"
"Saya Isabella, Pak, sekretaris Anda, Pak!" jawabku tanpa menghilangkan senyum dari bibir.
"Aku Dion, CEO yang baru!" ucapnya dengan penuh kesombangan.
Laki-laki yang ada di hadapanku sungguh tidak berubah sedikit pun dari masa Sekolah Menengah Atas dulu. Dia tetap sombong, dan bisa dipastikan arogan seperti dulu. Sepertinya, usia tidak membuatnya berunah, tetapi justru terlihat semakin menjadi setelah menjabat sebagai seorang CEO di perusahaan yang cukup besar ini.
"Baik, Pak Rahmat sudah mengatakannya kemarin!" ucapku sambil sedikit mengangguk. "Selamat datang, dan semoga saya bisa bekerja sama dengan baik dengan Anda!"
Dia tersenyum, sungguh manis seolah ada gulanya di sana. Satu hal yang menurutku indah dari dirinya, senyumnya yang terlihat tulus, tetapi kalau sudah bicara sungguh tidak ada kata manis di dalammya. Setiap kata yang dia ucapkan hanya berisi sebuah kesombongan yang tiada tara.
"Panggil aku Mr, aku belum terlalu tua, jadi jangan panggil Pak atau gajimu akan aku potong!" ucapnya dengan begitu menyebalkan.
'Kenapa tidak langsung pecat saja? Aku dengan senang hati menerim hal itu daripada potong gaji hanya karena sebuah kesalahan keci!' ucapku dalam hati. 'Namun, kalau aku dipecat, bagaimana dengan pengobatan Mama? Agh, kenapa ini jadi sulit gara-gara si Dion sialan itu!"
"Kamu paham!" katanya dengan penuh penekanan.
"Baik, Pak ... Mr. saya paham dengan apa yang Anda perintahkan dan saya akan berusaha untuk menjalankannya dengan baik!" uacpku yang lagi-lagi harus sambil sedikit menunduk sebagai tanda hormat.
"Bagus!" katanya sambil berjalan ke arah pintu ruangannya dan kemudian berbalik menghadapku. "Aku menunggu jadwal kegiatanku hari!"
"Baik, Pak ... Mr. lima menit lagi saya akan menyerahkannya setelah mengeceknya kembali!" ucapku yang bersiap untuk dduduk di kursi.
"Kenapa pula ayah memintaku untuk bekerja di sini, tidak bisakah membiarkanku bekerja dengan tenang di caffe?" kata Dion yang masih dapat kudenger dengan sangat jelas di telinga.
Sepeninggal Dion, aku langsung terduduk lemas di kursi. Sungguh, ini adalah hal yang tidak pernah ada di dalam anganku sekali pun. Bertemu kembali dengan Dion memang bagai sebuah hal yang paling tidak mungkin terjadi, tetapi ternyata justru hal itu terjadi saat ini.
"Tuhan, kenapa Engkau pertemukan aku dengannya lagi?" ucapku sambil mengusap wajah kasar.
Beberapa kali aku menarik napas dalam dan membuangnya secara perlahan. Namun, entah kenapa perasaan ini tidak mau juga tenang hanya karena sebuah pertemuan dan kenyataan bahwa kami akan bekerja bersama-sama mulai hari ini. Andai aku tidak ingat dengan kondisi Ibu, maka sudah kupastikan kalau aku akan keluar dari tempat ini dan mencari pekerjaan lain, biarlah aku dianggap pecundang asal tidak bertemu dengan laki-laki yang satu itu.
Setelah berulang kali menarik napas dalam, akhirnya aki bisa sedikit lebih santai menghadapi semuanya. Setidaknya, Dion tidak mengenaliku sehingga hal itu akan membuatku lebih tenang menjalani semuanya. Jika dia tahu bagaimana? Ah sudahlah, toh semua itu belum terjadi untuk saat ini, jika sampai terjadi pun aku bisa memikirkannya kemudian.
Aku berdiri dan mengambil sebuah buku kecil berisi agenda Dion hari ini. Dengan perlahan mulai melangkah ke arah pintu yang ada di hadapanku. Lagi, aku harus menarik napas dalam saat berada di hadapannya.
Tok tok tok
"Masuk!" terdengar suara tegas dan keras Dion dari dalam sana.
Aku membuka pintu dan melangkah mendekat ke arah pria yang saat ini terlihat sedang sibuk dengan beberapa pekerjaannya. Jika biasanya aku melihat Pak Rahmat yang dudun di kursi kebesarannya, maka kini harus melihat laki-laki lain yang ada di sana, lebih muda, lebih arogan, dan lebih menjengkelkan pasti.
"Permisi, Mr., saya ingin menyampaikan aganda Anda hari ini," ucapku saat sudah berdiri di hadapannya yang kini mulai mengangkat wajah dari laptop hingga tatapan kami saling bertemu.
"Apa kita pernah saling mengenal sebelumnya?" tanya Dion yang membuatku menegang seketika.
'Apakah dia mengenaliku?' tanyaku dalam hati dan berharap kalau itu bukan sebuah kenyataan.