Aku terbangun di sebuah ruangan asing. Saat mengangkat tubuh, ku rasakan kepala ku yang agak pusing.
"Aww!"
"Jangan bergerak!"
Tangan besar tiba-tiba memegangi kedua pundak ku. Ku tolehkan pandangan ku pada pemilik tangan tersebut.
Kaget! Seorang om-om tampan, dengan badan kekar yang tersembunyi di balik kemeja polosnya. Menatapku dengan tatapan lembut. Jantungku berdetak kencang kala itu.
"E-eh. O-om!" Aku gugup.
Pria itu memandangiku sembari sunggingan dari bibir tipisnya dia tampakkan terhadapku.
"Maafkan aku, karena tidak sengaja menabrak mu tadi!" sesal pria itu.
Aku tak menanggapi ucapannya barusan. Pandangan ku sedikit menunduk. Tak berani menatap matanya.
"Kamu kenapa?" tanyanya.
"E-eh. A-aku...!" Kembali aku di buat gugup oleh om ini, sehingga perkataan ku tak bisa untuk ku lanjutkan.
Pria itu duduk di ranjang. Kakinya ia biarkan menggantung di pinggir ranjang sedang badannya berhadapan denganku.
"Kenapa kamu seperti begitu gugup. Apakah kamu masih merasakan sakit?"
Pria itu mendekat ke arahku. Semakin dekat bahkan badan kami hampir saja bersentuhan. Ku lihat wajah pria itu yang semakin mendekati wajahku. 'Oh tuhan. Apakah dia akan menciumiku?' Ada rasa bahagia saat aku memikirkan hal itu. Karena tak sanggup, aku memilih untuk memejamkan kedua mataku.
Lama ku menutup mata. Namun tak kunjung ku rasakan sentuhan bibir dari pria itu. Karena penasaran, aku lantas membuka kedua mata. Dapat ku lihat rahang yang di tumbuhi bulu-bulu kecil tepat berada di depan mataku. Jantungku semakin berdetak kencang.
"O-om!" Tanpa sadar, diriku mengeluarkan suara.
Saat itulah aku menyadari kalau pria ini hanya mengambil bantal dan menyandarkannya pada sandaran ranjang.
Kembali ia menjauhi badannya. Lalu kedua tangan kekarnya memegang lembut pundakku di dua sisi. Di tolaknya perlahan, hingga punggung ku bersandar pada bantal yang telah ia siapkan sebelumnya.
"Jangan panggil aku Om. Panggil saja Papa Rangga, atau kalau kamu mau, kamu bisa juga memanggilku sayang!" bisik nya sembari tawa kecil terdengar mengakhirinya kalimatnya.
Aku menyadari kalau panggilan 'sayang' itu hanyalah sebuah candaan.
Meski ragu, Aku tetap menuruti apa kata pria itu.
"B-baik, Pa!"