Chereads / EDEN: Deus Ex Machina / Chapter 4 - III: Kepalsuan Yang Memenuhi Dunia

Chapter 4 - III: Kepalsuan Yang Memenuhi Dunia

"Syukurlah kamu belum tahu, bagaimana sesuatu yang sederhana seperti harapan dan keinginan, bisa dengan mudahnya menghancurkan hati seseorang sampai berkeping-keping."

Rama ingat betul hari di mana Liel tiba-tiba berkata seperti itu. Waktu itu, mereka berada di bukit di tengah Hutan Belakang untuk menikmati senja di bawah pohon mangga tua. 

Mungkin itu tiga atau empat bulan lalu. Entahlah, Rama tidak ingat kapan tepatnya, tapi suasana saat ini, dan bahkan hembusan anginnya yang lembut, membuat Rama teringat lagi dengan momen di hari itu.

Momen yang berkesan ajaib dan hangat, tapi juga sedikit terasa menyeramkan sampai-sampai membuatnya merinding.

Kalau mau jujur, Rama sebenarnya sudah banyak melalui kejadian-kejadian semacam itu semenjak mengenal Liel, tapi tak tahu kenapa, bocah yang kini bermata sayu berwarna merah cerah itu malah teringat dengan yang satu itu.

Padahal disini tak ada satupun pohon mangga, masih siang bolong pula, dan daerahnya pun jelas bukan perbukitan mengingat tempat mereka sekarang ini adalah lapangan bola. 

"Hmm... Itu aneh." Gumam Rama dan Aria bersamaan. "Eh?"

Rama langsung menengok pemuda tampan berambut pirang cerah yang sedang duduk disampingnya, dan begitu pula dengan Aria yang balas memandang bocah kurus itu dengan heran.

Namun, keduanya sama-sama tidak tahu harus berkata apa, jadi baik Rama dan Aria akhirnya hanya bisa menghela nafas dalam lagi seakan-akan mereka baru saja mengalami hari yang berat. 

"Hey Liel, ngomong-ngomong, kemana orang yang kamu bilang harus kita temui? Kok, lama banget, sih." Keluh Rama. "Kain juga kemana, sih?" 

"Iya, nih. Aku juga sebenarnya masih jam kerja, lho." Timpal Aria sambil melihat jam tangannya. "Dan lagian... Kenapa kamu pakai ajak aku segala, coba? Entah berapa puluh peraturan yang sudah aku langgar sejak ketemu kamu..." Pemuda itu memasang wajah datar karena saking bingungnya. 

"Tunggu saja. Pasti nggak lama lagi, kok." Ujar Liel penuh semangat. Bocah bermata emas itu baru saja berhenti berlarian kesana kemari bak orang gila. "Orang itu mirip banget, lho, dengan Mas Lion." Liel tersenyum lebar, membuat mata emasnya tampak berkilauan.

"Eh? mas Lion? Maksudnya apaan? Singa?" Tanya Aria heran pada Rama. 

"Eh... Itu nama kakaknya Liel, Mas." Jawab Rama. "Mbak Siska juga harusnya kenal, kok. Dia pernah menyebut nama Mas Lion beberapa kali. Kalau nggak salah, dia bilang kalau Mas Lion juga teman seperjuangannya gitu."

"Ah... Lion yang itu rupanya. Teman seperjuangan, ya..." Aria merespon dengan cara yang cukup rumit. Dia tersenyum, tapi anehnya, mata hijau muda pemuda itu malah memancarkan kesedihan yang teramat sangat. "Jadi... Dia sudah meninggal, ya?"

"Lho, kok, mas bisa tahu, sih?" Rama agak terkejut mendengarnya, padahal dia sama sekali belum menyinggung soal itu. 

"Ya, soalnya, hampir semua teman-teman seperjuangan mereka, kan, udah pada nggak ada." Aria menjawab dengan berbisik. 

Rama sebenarnya sudah tahu itu dari dulu, namun dia sendiri terkadang lupa kalau kenyataannya benar-benar seperti itu. Dan ketika ada seseorang yang mengingatkannya tentang masa lalu Liel, rasanya, Rama seperti baru saja ditampar ribuan kali. 

Rasanya sakit, tapi tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Rama mengalihkan pandangannya pada Liel yang berdiri tak jauh di depannya.

Bocah itu baru saja menepukkan tangannya kuat-kuat, dan tak lama kemudian, angin kencang seketika mulai bertiup hingga membuat semua sampah-sampah yang ada di lapangan berterbangan dan berkumpul di satu titik di atas sana.

"Ardor!" Sahut Liel penuh semangat, dan di detik itu pula, tiba-tiba ada banyak aliran cahaya ungu yang muncul di udara dari segala arah dan bergerak menuju ke tempat dimana sampah-sampah itu mengambang.

Pemandangan yang ajaib itu sebenarnya amat indah, tapi Rama tidak menyangka kalau yang akan terjadi selanjutnya ternyata terlalu mengerikan untuk dilihat.

Timbul ledakan yang amat dahsyat ketika cahaya-cahaya itu saling berbenturan. Benar-benar dahsyat. Suaranya sangat keras dan melengking tajam, sampai-sampai membuat dunia disekitar mereka seolah ikut berguncang.

"Buset... Orang gila mana yang menggunakan kekuatan pelenyap hanya untuk menghilangkan sampah? Aku mungkin bakal pingsan duluan sebelum menyelesaikan doanya..." Aria tampaknya kesulitan untuk mempercayai apa yang dilihatnya barusan. Matanya terbuka lebar, dan ada banyak rumput yang melekat di sekujur tubuhnya karena tertiup oleh ledakan tadi. "Bukannya kekuatan Liel dibatasi?"

"Oh, katanya, sih, untuk hal-hal yang penting aja. Tapi kalau nggak penting, yah, begitulah." Rama yang telah terbiasa dengan hal itu memutuskan untuk melirik jam tangannya. "Dia bahkan pernah meratakan gunung..." 

Sudah hampir dua jam mereka duduk disini, tapi sampai sekarang masih belum ada tanda-tanda kalau orang yang mirip dengan kakaknya Liel itu akan muncul. 

Meski begitu, sebenarnya Rama juga tidak tahu persis seperti apa rupa kakaknya Liel, bocah gemuk itu pernah bilang kalau mereka tak pernah punya kesempatan untuk berfoto karena selalu berperang.

Tanpa diduga, tiba-tiba saja ada petir hijau yang turun dari langit, dan menyambar tanah tepat di depan Rama.

Jujur, Rama hampir terkena serangan jantung, tapi itu dengan cepat berlalu setelah ia melihat sosok yang muncul dari dalam petir itu.

Seorang gadis cantik berwajah tionghoa yang mengenakan seragam putih-putih persis seperti yang biasa digunakan oleh para koki. 

Gadis itu menoleh ke atas sambil menepuk-nepuk seluruh tubuhnya untuk menghilangkan debu-debu yang menempel pada seragamnya.

Rama ikut melirik ke langit, dan mendapati ada awan yang berlubang di atas sana. Lubang itu sepertinya tercipta karena pilar petir tadi.

"Eh... Kau ini seorang Havengard, kan?" Gadis itu bergumam pelan ketika melihat Aria. Namun, matanya tiba-tiba menyipit ketika pandangannya tertuju pada Rama. "Hmm... Kenapa ada manusia di sini?"

"Lah? Jelas saja ada." Protes Rama. "Harusnya yang bertanya itu aku. Mbak ini siapa, coba?"

"Ah, kau ini koki bintang empat itu, kan? Yang di Paris." Ungkap Aria.

"Hah? Jadi dia beneran koki?"

"Yap. Itu aku, Lilac Ashram Zhaoren. Salam kenal, ya." Gadis itu memperkenalkan dirinya. "Hebat juga kau bisa mengenalku. Padahal namaku harusnya nggak terlalu terkenal di Indonesia." 

"Eh... Aku membaca berkasmu di Kristal Agung. Aku ini, kan, Havengard, mbak..." Kata Aria sambil tersenyum masam.

"Eh, masuk akal juga, sih..." Gadis itu pun juga memasang wajah datar, membuat dirinya jadi sedikit terkesan konyol. "Jadi, mana Liel?" 

"Ngomong-ngomong, aku Rama Wiranaga, dan Mas Havengard ini Aria Zohara, dan Liel ada di belakang Mbak." Rama mengingatkan. 

"Owh." Lilac segera menoleh ke belakang, dan mendapati bocah gemuk itu tengah berdiri diam di sana. 

"Kayaknya dia udah melamun dari tadi, deh..." ucap Aria. 

Rama memakukan pandangannya pada punggung Liel. Sungguh, Rama merasa sangat ganjil setiap kali melihat Liel dari belakang. Dia merasa iba tanpa alasan yang pasti. 

"Ah... Itu memang sering terjadi, kok." Jelas Rama. "Dulu aja dia pernah melamun satu jam lebih gara-gara melihat bunga putih di atas atap masjid. Tapi, aku juga nggak tahu kenapa dia suka begitu, sih."

"Waw... Melamun sejam? Hebat juga," kata Aria kagum. "Tapi... Kalian ngapain di atas atap masjid?"

Namun, setelah mengalihkan pandangannya pada Lilac, Rama pun sadar, kalau gadis itu tampaknya merasakan perasaan yang sama seperti Rama. 

Tidak. Ada sesuatu yang salah. Sepertinya bukan seperti itu. 

Wajah Lilac benar-benar terlihat suram, bibirnya pun gemetaran. Seakan-akan dia baru saja dibuang ke dalam jurang yang tak memiliki dasar tanpa bisa melawan. 

Pandangan macam apa itu? Kenapa mata Lilac terkesan begitu mirip dengan Liel ketika sedang melamun? 

Lilac mengambil nafas dalam sembari meyakinkan dirinya, kemudian setelah mendapatkan keberanian yang cukup, ia pun melangkah mendekati Liel. 

Tak seperti biasanya, Liel sepertinya menyadari kehadiran Lilac, dan dia langsung tersadar begitu saja. Padahal biasanya, kalau sudah melamun, Liel sangat susah untuk disadarkan. Rama pun pernah berteriak dekat telinganya, tapi Liel seolah tak bisa mendengarnya.

Dari kejauhan, Rama dan Aria hanya bisa melihat Liel dan Lilac yang tengah membicarakan sesuatu dengan serius.

"Kemarin aku membaca berkas tentang Perang Agung... Dan disitu aku mendapati kalau jumlah anggota kelompok Liel itu totalnya 1139 orang." Ungkap Aria tiba-tiba. 

"Wah... Sebanyak itu?" Rama sangat terkejut mendengarnya. Maksudnya, bagaimana cara bocah gemuk itu memimpin orang yang segitu banyaknya? Namun, Rama menyadari sesuatu yang lain. "Tunggu...'' Mata Rama melebar seketika. 

"Kau masih ingat, kan, apa yang kukatakan tadi." Aria berbisik pelan. "Hampir semuanya. Semuanya." Aria menekankan pada kata itu. "Teman-teman seperjuangan Liel dan Guru sudah tiada."

"Jadi... Sekarang tinggal berapa?" Rama berusaha untuk tetap tenang ketika mengajukan pertanyaan itu.

"Sembilan." Jawab Aria singkat. "Dari ribuan orang, hanya sembilan saja yang selamat, termasuk Liel, Guru, dan seingatku Lilac juga ada dalam daftar itu..."

Angin dingin yang menusuk berhembus membawa pergi tiap kata-kata yang keluar dari mulut Aria. 

Rama sempat terdiam setelah mendengar kenyataan itu dengan telinganya sendiri. Itu terlalu berat untuk diketahuinya sekarang. Mata bocah itu terbuka sangat lebar, dan nafasnya terhenti sesaat.

Jadi itu alasan mengapa Lilac memiliki pandangan mata yang mirip dengan Liel? 

Hari ini Rama akhirnya tahu, kalau Liel ternyata telah ditinggalkan terlalu banyak orang yang dikenalnya. Terlalu banyak.

Keluarganya, dan juga ribuan orang-orang yang disayanginya. 

"Liel pernah bilang, kalau disana, teman itu adalah keluarga yang sebenarnya." Ungkap Rama ragu-ragu.

"Ah... Kau tahu tentang itu juga rupanya." Ucap Aria sambil tersenyum kecil. 

"Yah, soalnya Liel suka menyendiri kalau lagi ada acara keluarga. Katanya, sih, dia merasa nggak cocok aja." Ungkap Rama sambil melemparkan kerikil kecil. "Dunia kalian sepertinya menyenangkan, ya?"

"Yah, nggak bisa dianggap begitu juga, lah." Aria mulai menjelaskan. " Tapi begitulah kenyataan di tempat asal kami. Disana, kebanyakan dari kami telah kehilangan keluarga karena peperangan, jadi kami terkadang membuat keluarga sendiri. Itu terjadi begitu saja tanpa disadari. Hanya bermodalkan keakraban dan kepercayaan, kami membuat hubungan keluarga dan membuang ego demi kebaikan bersama. Hubungan yang lebih dekat dibanding ikatan darah sekalipun..."

"Ya... Itu benar-benar terdengar hebat. Kecuali bagian perangnya, tentu saja." Rama menyipitkan matanya sedikit, dan mencoba untuk membayangkan dunia lain itu. 

Dunia menakjubkan yang penuh dengan keajaiban, sekaligus mengerikan karena dihiasi api peperangan yang tak pernah padam.

"Seperti apa sebenarnya rasanya peperangan itu..." Rama bertanya pada dirinya sendiri. Sulit bagi dirinya untuk membayangkan pertempuran besar semacam itu. Dan lebih sulit lagi untuk membayangkan bocah gemuk seperti Liel yang terlibat di dalamnya.

Bahkan bukan hanya Liel, tapi Aria dan Lilac pun sudah mencicipi rasa dari peperangan. Mereka sudah pernah berjuang, mempertaruhkan nyawa, dan membunuh orang lain.

Mereka sudah merasakannya.

Namun, tiba-tiba terdengar suara dengungan aneh yang berasal dari arah Liel dan Lilac.

Kedua orang itu berdiri berhadapan, dan Lilac sedang melakukan sesuatu pada Liel yang matanya terpejam rapat. Gadis itu menyentuh dahi Liel dengan telunjuk kanannya, dan cahaya biru terang muncul dari bawah kaki mereka.

Angin kencang yang teramat sangat dingin mulai bertiup dari segala arah, dan seakan berkumpul di tempat kedua orang itu berada.

"Eh? Apa yang terjadi?" Rama yang agak panik langsung bangkit berdiri, tapi anehnya, Aria malah terlihat biasa saja dan tetap duduk santai di rumput. "Dingin banget."

"Itu adalah doa untuk menghapus ingatan seseorang..." Ungkap Aria pelan. 

"Hah? Menghapus ingatan?" Rama keheranan. "Tapi, ngapain dia menghapus ingatan Liel?"

"Yah, kita akan tahu sebentar lagi." Jawab Aria sembari bangkit berdiri, dan seketika itu pula, cahaya biru dari bawah Liel dan Lilac berangsur-angsur padam dan lenyap.

Liel membuka matanya lalu bertukar pandang dengan Rama. Mata emas Liel bertemu dengan mata hijau Rama.

Itu aneh. Tatapan Liel sangat kosong, persis seperti orang yang baru saja bangun dari tidur lelap.

"Kamu lapar, nggak, Rama?" Tanya Liel tiba-tiba. Bocah itu berjalan meninggalkan Lilac untuk menghampiri Rama. 

"Hah!? Eh... Lumayan, sih." Jawab Rama ragu-ragu. Dia keheranan setengah mati.

"Kalau Mas Aria?" Liel mengalihkan pandangannya pada pemuda jangkung disamping Rama, dan Aria membalas dengan senyuman kecil sambil menghela nafas dalam.

"Baiklah kalau begitu, kita makan bareng-bareng, yuk. Lilac bawa nasi kuning buatannya sendiri, lho. Enak banget, deh, pokoknya." Ujar Liel sambil menjentikkan jarinya, dan membuat sebuah karpet kain muncul di bawah mereka entah dari mana.

Rama dan Aria menoleh memandang Lilac, tapi betapa terkejutnya mereka ketika melihat air mata yang membanjiri wajah kosong gadis itu.

"Ah, iya, aku bawa nasi kuning kesukaan Liel, nih." Kata Lilac tersenyum lebar sambil menarik keluar kantong plastik besar dari dalam tas mungilnya.

Namun, air mata gadis itu terus saja mengalir dan tak kunjung berhenti. Selagi menghapus air matanya dengan lengan bajunya, dia mengeluarkan empat kotak makanan dari dalam plastik dan membagikannya.

"Oke-oke, ayo kita makan." Ucap Liel yang langsung duduk di karpet dan mulai makan dengan lahap, begitu pula dengan Aria, dan Lilac yang tentu saja masih menangis.

"Hey, Rama, ayo makan cepat, habis itu kita pulang." Ajak Liel penuh semangat yang baru saja selesai mengunyah. "Nggak lama lagi maghrib, lho."

Meski begitu, Rama tetap kesulitan untuk mencerna semua ini. Lilac yang sedang menangis tak karuan, Liel yang tampaknya sudah tak ingat lagi dengan tujuan mereka datang ke sini, dan Aria yang tiba-tiba saja jadi tampak amat lemas.

Walau mereka bertiga duduk dan makan dengan lahap, tapi kenyataannya, suasana di sekitar saat ini benar-benar terasa suram dan mencengkam.

Apa-apaan dengan semua kepalsuan ini? Apa-apaan dunia ini? 

"Tapi, Liel... Bagaimana dengan orang yang mirip dengan Mas Lion?" Tanya Rama takut-takut.

"Hah? Maksudmu?" Liel yang masih sibuk menyantap nasi kuningnya tampak bingung dan tak mengerti dengan maksud Rama. 

Mata Rama membelalak makin lebar. Dia bertukar pandang dengan Mas Aria yang wajahnya memelas lemas.

"Kau tahu? Dunia ini memang selalu memperlakukan orang yang baik dengan terlalu kejam." Jelas Aria. Rahangnya mengeras.

"Kami bahkan kesusahan hanya untuk bertahan hidup di sini, jadi akan lebih baik jika kita menyelesaikan masalah kecil seperti itu secepat mungkin." Jelas Lilac yang sedang makan dengan tangan kanan, sementara tangan lainnya sibuk menghapus air matanya.

Tapi, Rama sungguh tak mengerti.

Tanggung jawab Liel dan orang-orang seperti dia adalah melindungi manusia dengan cara apapun tanpa syarat. 

Tak peduli apapun yang terjadi, keselamatan manusia harus diutamakan.

Namun, bukan berarti mereka harus hidup dalam kepalsuan seperti ini. Bagaimana mungkin seseorang bisa hidup tentram, jika mereka bahkan tak diizinkan untuk merasa bahagia.

Ini tidak masuk akal. 

Padahal, selama ini Rama merasa kalau dunia ini memang sudah sebagaimana adanya. Itulah kenyataan hidupnya.

Tapi kenapa? Kenapa kenyataan hidup Liel, Aria dan Lilac seakan tidak memiliki kemiripan apapun dengan kenyataan hidup Rama? 

Bukankah saat ini mereka hidup di dunia yang sama?