"Ayah, selamatkan saya! Saya sama sekali tidak bersalah!"
Bahkan ketika Erleane berteriak memanggilku, aku tetap memberikannya tatapan kejam.
"Diam!" seru algojo yang menyeret tubuh ringkih Erleane menuju guillotine. Gaun putihnya kotor dan tampak menjijikkan dengan kotoran yang menempel di sana.
"Tuan Arcelio, apa Anda yakin akan mengabaikan Nona Erleane?"
Salah satu penasihatku mencoba untuk membujukku.
Namun, aku hanya menyeringai keji. "Membuang satu sampah bukanlah masalah besar."
Penasihatku mundur dengan ragu, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Meski bibirnya terbuka dan menutup beberapa kali.
Aku menatap Erleane dengan jijik. Sementara dia memandangku dengan sepucuk harapan yang sia-sia.
Melihat hal itu membuatku ingin tertawa. Akhirnya, aku menyingkirkan sampah ini. Bukankah aku harus melakukan sebuah perayaan megah?
Sebelum guillotine dilepaskan, aku membaca kata-kata yang dikatakan Erleane lewat gerakan bibirnya.
Aku mendengus, lalu mengalihkan pandang.
"Omong kosong."
***
satu
kembali ke masa lalu I
***
Ketika membuka mataku, aku merasakan seprai lembut di atas kasur yang empuk.
Bahkan plafon itu terlihat familier karena aku selalu membuka mataku di sini setiap pagi.
"Tunggu."
Aku bangun dengan tergesa. Lalu melihat ke sekeliling.
Ini jelas kamarku.
Tapi, yang aneh adalah, aku sudah bunuh diri. Aku seharusnya sudah mati.
Aku bisa merasakan dengan jelas ketika pedangku sendiri menusuk jantungku. Rasanya sakit dan menjijikkan dengan darah yang mengucur deras.
Namun, aku ada di kamarku.
Bahkan ketika meraba dadaku sendiri, sama sekali tidak ada luka di sana, bahkan jejak bekas luka saja tidak ada.
Dengan kerutan di dahiku karena bingung, aku tiba-tiba mendengar suara pintu kamar dibuka.
"Yang Mulia, selamat pagi."
Aku menyipitkan mata. "Arthur."
Dia adalah kepala pelayanku.
Aneh melihat wajah tanpa kerutan tanda tua. Padahal ketika aku bunuh diri, di wajahnya yang panik terpapar keriput yang jelas.
"Sarapan sudah siap, Yang Mulia. Pelayan akan segera datang untuk membantu Anda mengganti pakaian."
"Arthur."
"Ya, Yang Mulia? Katakan apa yang Anda butuhkan pada pelayan seperti saya ini."
Arthur menunduk dengan sopan.
"Siapa aku?"
Mungkin karena pertanyaan bodohku, Arthur mengerjap, tetapi tetap menunduk dalam.
"Anda adalah Duke Barnett di wilayah Barat Kerajaan Halstead, Yang Mulia Arcelio Barnett. Anda juga merupakan Komandan Ksatria utama di Kerajaan Halstead."
Ho.
"Apa yang terjadi kemarin?"
Aku menyipitkan mataku yang berwarna biru laut.
Kemarin malam adalah hari aku menusuk jantungku sendiri dengan pedangku. Dan Arthur bahkan menghampiriku dengan kepanikan jelas di wajahnya meski pandanganku mulai memburam.
"Ya? Kemarin Anda memberikan perintah pada para ksatria untuk menangkap pengedar narkoba. Seluruh pihak pengedar narkoba sudah dipenjara dan siap menunggu hukuman lebih lanjut dari Anda."
Aku bingung. Ini sama sekali tidak bisa dijelaskan secara langsung oleh kata-kata kecuali aku dianggap gila.
Satu-satunya momen ketika aku menangkap pengedar narkoba adalah sepuluh tahun yang lalu.
"Tanggal berapa sekarang?"
Ini pertanyaan terakhirku. Jika aku benar, maka kontrak dengan dewa itu bukan halusinasi.
"Hari ini hari ke-20, bulan ke-5, tahun ke-618, Kalender Kerajaan Suci."
Tepat.
Aku benar-benar kembali ke masa lalu.
Hari di mana aku mengetahui seluruh isi hati putriku adalah pada tahun 628. Usia putriku yang ke-15 dan dia dihukum dengan guillotine atas dasar meracuni Keluarga Kerajaan.
Kontrak dengan dewa itu bukanlah halusinasi.
Itu nyata! Aku mendapat kesempatan untuk memulai hubungan baik dengan putriku kembali.
"Yang Mulia?" Arthur memanggilku ketika aku tidak menjawab.
Aku hanya menghela napas. "Siapkan pakaianku."
"Baik, Yang Mulia."
Arthur hendak berbalik meninggalkan kamarku sebelum aku mengatakan hal-hal yang mengejutkan Arthur.
"Di mana Erleane?" tanyaku.
Arthur membulatkan matanya yang hitam. "Nona Muda, maksud Anda?"
"Iya. Di mana dia?"
Arthur tampak gugup sebelum menundukkan tubuhnya santun.
Reaksi yang tidak mengejutkan.
Di masa lalu, aku akan membungkam mulut siapa pun yang mengatakan nama Erleane Barnett di hadapanku. Entah itu membunuhnya langsung dengan pedangku atau memukulnya hingga pingsan.
Kemudian, entah sejak kapan, mengatakan nama Erleane di hadapanku adalah tabu.
"Tidak apa-apa." Aku mengibaskan tangan, menyuruhnya untuk bicara. "Di mana Erleane?"
"Ya, Yang Mulia. Saya yakin Nona Muda ada di kamarnya."
Aku mengangguk.
Erleane jelas tidak menutup diri dariku di masa lalu. Dia selalu berusaha mendapatkan perhatianku selama ada kesempatan.
Dan aku selalu mendorongnya.
"Ah, ya. Jika Erleane belum sarapan. Panggil dia untuk sarapan bersama."
Arthur mengerjap. "Ya, Yang Mulia?"
Dia mengerjap bodoh.
Aku tersenyum miring. "Aku tidak suka mengucapkan kalimatku dua kali."
"Baik, Yang Mulia. Saya akan membawa Nona Muda untuk sarapan bersama Anda."
"Bagus. Sekarang pergi."
Setelah Arthur menutup pintu kamar, aku menghela napas lega. Senyum terukir di bibirku.
"Aku tidak sabar."
Untuk bertemu putriku yang lucu!
Bayangkan saja, dia masih lima tahun sekarang! Bukankah wajahnya akan sangat manis dan lucu?!
Aku sangat bodoh di masa lalu jika mendorongnya ketika dia meminta perhatian.
Sangat bodoh dan tolol.
Tapi tidak lagi. Aku tidak ingin kejadian menyedihkan di masa depan kembali terulang.
Aku akan mengubah masa kini sehingga aku bisa hidup bahagia bersama putriku.
***
"Salam kepada Ayah. Ini adalah pagi yang cerah. Saya merasa terhormat bisa bergabung dengan Ayah dalam sarapan pagi ini."
Aku berteriak internal.
Sabar, Arcelio. Jangan goyahkan kepribadianmu yang cool.
Putriku memang manis. Ya ampun, dia sangat bersinar.
Bahkan ketika dia memberi salam padaku sesuai etiket sempurna dengan tubuhnya yang mungil.
Rambutnya yang merah darah, matanya yang kuning keemasan, kulit bayinya di pipi tembam.
Aduh, dia juga tenggelam di dalam gaun emasnya! Kenapa dia sangat manis dan lucu?!
Aku berdeham.
"Selamat pagi, Erleane. Duduklah."
Erleane duduk di meja makan setelah dibantu oleh beberapa pelayan.
Kursi meja makan ini terlalu tinggi untuk putri manisku, aku harus memperbaikinya segera.
Kemudian, pelayan langsung menghidangkan sarapan di meja makan.
Erleane tampak bersinar.
Rasanya, selama sarapan berlangsung, aku hanya memandangi putri lucuku yang pipinya bergerak-gerak ketika mengunyah makanan.
Bukankah aku sangat bodoh dengan mengabaikan putriku yang manis?
"Erleane," panggilku.
"Ya, Ayah?"
Erleane memandangku dengan sorot hangat di matanya.
Itu reaksi yang pantas.
Ini adalah pertama kalinya aku memanggil namanya dengan lembut. Tidak dengan tekanan dan kekejaman. Namun, hanya kelembutan yang ada.
Aku tidak berhalusinasi ketika melihat kaca di mata Erleane.
Apakah saking senangnya hingga dia akan menangis dengan panggilanku yang lembut?
"Apakah kamu mau melakukan tea time dengan Ayah siang nanti?"
Mata Erleane membesar. "Apa itu sungguhan, Ayah?!"
Aku tersenyum lembut.
Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan ekspresi di wajah putriku selama dia hidup?
Tanganku naik, lalu mengelus rambut merah darahnya. Lembut. Ini pertama kalinya aku menyentuh helaian rambut putriku.
"Benar, putriku. Apa kamu mau menghabiskan waktu dengan Ayah?"
Erleane tersenyum polos. "Tentu saja, Ayah!"
Erleane kembali ke kamarnya untuk bersiap untuk tea time nanti.
"Arthur," kataku.
"Ya, Yang Mulia."
"Kosongkan jadwalku untuk hari ini."
Arthur tampak ragu.
Aku yakin dia ragu karena aku memiliki beberapa pertemuan penting dengan bangsawan.
Namun, itu tidak penting bagiku.
"Kosongkan."
Suara tajamku tentu membuat Arthur tersentak.
Dia mengangguk santun.
"Sesuai perintah Anda, Yang Mulia."
***
writer's corner:
just call me Luna ❤️ aku ikut Spirity Awards untuk karya ini, doakan yang terbaik dan terus dukung aku, ya! terima kasih ❤️❤️
4 Juli 2022