Callisa berjalan bersama dengan Rihana menelusuri lorong rumah sakit Gatot Subroto, menuju ke ruang rawat inap Papanya sambil memeluk buket berisi aneka buah segar. Tidak terjadi pembicaraan di antara mereka berdua, karena tampaknya mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Saat tiba di depan pintu yang bertuliskan Ruang Mawar nomor 33, Callisa langsung membuka pintu sambil mengucapkan salam. Sebuah senyuman manis yang penuh keceriaan telah dipersiapkan oleh Callisa untuk menemui kedua orang tuanya saat ini.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikum salam! Pasti baru dari kampus langsung ke sini, ya, Cal?" jawab Mama sambil melontarkan pertanyaan.
"Iya, Mam, biar bisa gantian menjaga Papanya, jadi Mama bisa beristirahat di rumah malam ini," jawab Callisa sambil tersenyum kemudian mencium tangan kedua orang tuanya secara bergantian diikuti oleh Rihana.
"Rihana ikut juga toh, untuk menginap di rumah sakit? Memangnya sudah izin sama Bapak dan Ibu?" tanya Mama Callisa sambil mengelus kepala Rihana yang terbalut jilbab dengan lembut. Persahabatan yang terjalin di antara Rihana dan Callisa, membuat kedua orang tua mereka masing-masing sudah menganggap seperti anak sendiri saja.
"Sudah izin kok, Tante, tadi melalui pesan whatsapp, bahkan Ibu titip salam buat Tante dan Om, juga mereka mohon maaf belum sempat menjenguk, karena sedang merawat engkong di Kebayoran yang sekarang sedang sakit juga," jawab Rihana sambil tersenyum.
"Oh ya, tidak apa-apa Rihana, salam balik untuk kedua orang tuamu ya, semoga engkong juga lekas sembuh kembali," ucap Mama Callisa sambil tersenyum mengerti.
"Bagaimana keadaan Papa sekarang, apakah semakin membaik?" tanya Callisa sambil duduk di samping tempat tidur dan memegang tangan Papanya.
"Alhamdulillah, kalau hasil cek kondisi keadaan Papa sore ini keluar dan dalam keadaan baik-baik saja, besok juga Papa sudah diperbolehkan pulang, Nak," jawab Papa sambil tersenyum. Wajahnya saat ini tampak lebih segar dari beberapa hari yang lalu, dan hal itu membuat perasaan Callisa menjadi sedikit lega.
"Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu, oh ya, Pa, Callisa mempunyai berita baik juga untuk Papa dan Mama," ucap Callisa sambil tersenyum seceria mungkin.
"Berita baik apa itu, Nak?" tanya Papa seraya mengerutkan keningnya.
"Papa kenalkan sama rekan bisnis Papa yang bernama, Revano?" tanya Callisa sambil terus tersenyum.
"Ooh, Pak Revano, yang beberapa waktu lalu pernah menjalin hubungan kerja dengan Papa, pada saat itu pabrik miliknya yang baru kelengkapan furniture-nya diisi oleh perusahaan Papa. Memang ada apa dengan rekan bisnis Papa yang satu itu, Callisa?" selidik Papa sambil balik bertanya.
"Bagaimana sosok dia menurut penilaian, Papa?" tanya Callisa lagi tidak langsung menjawab pertanyaan Papanya.
"Menurut Papa, dia seorang pemuda yang tampan, sopan, baik hati, komitmen dalam berbisnis, juga memiliki insting bisnis yang kuat sekali dalam menentukan pilihan, Revano juga berasal dari keluarga konglomerat yang terhormat dan sangat kaya. Memangnya ada apa sih, Nak? Bikin Papa jadi penasaran saja?" jawab Papa sambil kembali bertanya.
"Iya, Callisa, memangnya ada apa dengan, Revano? Mama jadi ikutan penasaran, deh?" ujar Mama jadi ikutan bertanya, dia bersikap seakan belum mengetahui permasalahan ini.
"Jadi begini, Pa, ternyata selama ini Revano memperhatikan Callisa secara diam-diam, lalu tadi pagi dia melamar Callisa untuk menjadi istrinya. Dan, Callisa sudah menerima pinangannya tersebut, bahkan Revano berjanji membereskan semua masalah keuangan yang Papa hadapi saat ini, sebagai tanda keseriusannya terhadap, Callisa," tutur Callisa sambil terus berusaha tersenyum bahagia.
"Mashaallah! Yang benar, Nak?" seru Papa dengan raut wajah yang tampak bahagia sekali.
"Benar, Pa!" jawab Callisa sambil mempererat genggaman tangannya kepada Papanya.
"Apakah kau sudah yakin untuk menerima lamarannya Revano itu, Cal? Karena selama ini yang Mama ketahui, kau sangat menyukai Yu ...."
"Yakin, Ma! Aku sudah yakin kok, untuk menerima lamaran Revano, inshaallah, semuanya ini akan membawa kebaikan dan kebahagiaan untuk kita semua!" sela Callisa memotong perkataan Mamanya sambil terus tersenyum ceria.
Mendengar perkataan Callisa, Mama hanya tersenyum sambil terus menatap lembut ke arah dirinya. Walaupun sudah mengetahui sejak awal keputusan Callisa, tetapi sebagai seorang Ibu, dia ingin memastikan kembali keputusan yang dibuat oleh putrinya tercinta ini.
Apalagi setahu Mama Callisa, selama ini putri semata wayangnya itu, selalu saja membicarakan sosok Kakak kelasnya yang bernama Yusuf dengan penuh perhatian kepada dirinya.
Mengetahui sikap Callisa selama ini Mamanya jadi yakin, bahwa putrinya ini sangat mencintai dan mengidolakan sosok Yusuf. Oleh karena itu dia tidak ingin Callisa menyesali keputusannya kelak, apalagi menyangkut kebahagiaan masa depan hidupnya. Dengan dia memutuskan menikah dengan seorang Revano yang baru saja dikenalnya.
Walaupun sebenarnya Mama Callisa tidak menyetujui pernikahan ini, karena dia merasakan ada sesuatu yang aneh dengan lamaran Revano, tetapi mengingat situasi dan keputusan yang telah Callisa buat. Akhirnya di dalam hati dia hanya bisa mendoakan, semoga saja putrinya ini senantiasa dalam lindungan Allah subhanahu wa ta'ala, dan pernikahan ini membawa kebaikan bagi Callisa.
"Papa senang sekali mendengarnya Nak, kapan rencananya Revano akan datang ke rumah membicarakan lamarannya ini?" tanya Papa sambil tersenyum lebar penuh kebahagiaan.
"Katanya jika Papa sudah sehat saja, maka secepatnya dia dan keluarganya akan datang ke rumah untuk melakukan lamaran secara resmi," jawab Callisa.
"Wah, kalau mendengar berita yang membahagiakan seperti ini, besok juga Papa sudah bisa pulang, Callisa! Heheee," ujar Papa sambil tertawa kecil penuh kebahagiaan.
Tampak sekali dari raut wajahnya bahwa Papa merasa lega, karena dengan demikian semua permasalahan keuangannya bisa tuntas. Bahkan mendapatkan bonus yang membahagiakan yaitu, bisa memperoleh seorang menantu yang baik dan kaya raya.
"Alhamdulillaah, memang itu yang menjadi harapan kita semua, Papa bisa secepatnya pulang dan sehat kembali," sahut Callisa sambil memeluk Papanya dengan erat.
"Bagaimana dengan Rihana, apakah sudah memperoleh calon suami juga atau masih memilih?" tanya Papa sambil terus merekahkan senyum kebahagiaan di bibirnya.
"Sa-saya, belum ada calon Om, lagi pula saya belum mau buru-buru menikah, mau fokus melebarkan sayap bisnis terlebih dahulu bersama Callisa, setelah itu baru memikirkan pendamping," jawab Rihana sambil tersipu malu.
"Begitu juga baik, nanti jika sudah ada calonnya jangan lupa kabarkan Om dan Tante, ya," pinta Papa.
"Pasti Om, tenang saja," jawab Rihana sambil mengacungkan jari jempolnya seraya tersenyum tipis.
"Sekarang sebaiknya Mama makan siang dulu, karena Callisa tahu, pasti Mama belum makan sejak tadi pagi 'kan?" tanya Callisa.
"Nanti Mama makan di rumah saja Nak, sekalian pulang ke rumah untuk mandi dan beristirahat. Kemudian kamu dan Rihana akan bergantian dengan Mama berjaga di rumah sakit ini," jawab Mama sambil memeluk dan mencium Callisa dengan penuh rasa haru.
Sebagai seorang Ibu hatinya saat ini merasa sangat sedih sekali karena dia mengetahui, bahwa saat ini putri kesayangannya sedang mempertaruhkan kebahagiaan masa depannya, hanya untuk membantu kedua orang tuanya keluar dari masalah besar.
"Begitu juga tidak masalah, Mam," jawab Callisa sambil tersenyum tipis, dan berusaha menahan air mata yang menggantung di kelopak matanya.