Yofandi Joseph adalah seorang remaja laki laki berusia 13 Tahun, ia tinggal bersama adik perempuan nya bernama Yofanda Josephine yang masih berusia 8 Tahun.
Keduanya hidup rukun antar satu dan lain nya. Mereka berdua juga anak anak yang berprestasi di Sekolah mereka, Namun ada satu hal yang membuat keduanya harus banjir air mata di setiap harinya.
Kelakuan kedua orang tua mereka yang terlalu mendoktrin anaknya agar mengikuti semua kemauan mereka, namun Fandi tidak terlalu peduli, tapi Fanda dia begitu melankolis karena sikap kedua Orang tuanya.
"Fanda! Ingat Jam 6 pagi, kamu harus sudah siap ke sekolah, Besok! Kalau kamu sampai telat bangun pagi lebih baik kamu nggak usah Sekolah! Kamu ngerti kan?!" Bentak Luna seorang Ibu berusia 40 Tahun.
"I–iya Ma, Tapi Fanda lapar Ma..Fanda Nggak bisa tidur.." Rengek gadis berusia 8 tahun itu.
"Lapar?! Kenapa kamu nggak makan sisa tempe tadi?! Manja banget sih jadi anak!" Ucap Luna dengan kasar.
"Tapi Ma, Fanda nggak suka tempe Ma, Fanda pengen beli Bakso, Boleh ya Ma?!" Rengek Fanda dengan air mata yang membasahi pipinya.
Melihat adiknya yang menangis, Fandi sungguh tidak tega, ia pun berjalan menghampiri adiknya.
"Ayok Beli sama kakak! Kakak ada uang nih!" Hibur Fandi yang tidak tega.
"Nggak usah Fandi! Nggak usah dimanja! Kebiasaan kamu ya suka manjain adiknya!" Bentak Luna
"Tapi Ma, adik kan lagi nggak enak badan, lagian kenapa sih Ma, wong uang uang Fandi, kok Mama gitu amat sih sama anak sendiri!" Ucap Fandi yang kesal akan ulah ibunya.
"Fandi!!! Berani kamu ya lawan Mama sekarang?! Pa..Papa..!!" Teriak Lunara memanggil suaminya bernama Yuan.
"Ada apa sih Ma teriak teriak begitu?!" Yuan menghampiri Fandi dan Fanda dengan tatapan sengit.
"Ini nih pa! Fandi kebiasaan manjakan adiknya! Padahal makan yang sederhana kan bisa!" Ucap Lunara dengan ketusnya.
"Fandi!!! Sini kamu! Kamu berani lawan Mama ya sekarang!!" Bentak Yuan dengan wajah garang.
BUUGH BUUGH
Dua pukulan melesat di kepala Fandi, laki laki itu hanya menahan rasa sakit di kepalanya karena pukulan ayahnya, sementara adiknya menangis tersedu tersedu memeluk kakaknya. Kasihan dua anak itu hidup di lingkungan Orang tua yang kurang dewasa dan matang untuk memahami Psikologi Anak.Â
Padahal Orang tua mereka bukan dari kalangan orang yang tidak berpendidikan. Yuan adalah seorang Guru Sejarah, dan Lunara adalah seorang Guru Agama. Apa kelakuan mereka bisa dikatakan sebagai Seorang Pendidik jika seperti itu?!
"Papa!! Stop, hiks…hiks jangan pukul kakak Pa…jangan!" Rengek Fanda yang menangis
"Biar tau rasa! Dibilangin Ngeyel! Makanya jadi anak jangan manja! Kamu tau Mama sama Papa cari uang itu sulit, terus kalian mau hambur hamburkan uang kalian seenaknya?! Mikir dong! Jadi anak kok nggak tau diuntung! Mama nyesel lahirin kalian berdua! Nggak guna!" Teriak Lunara yang menghantam telinga Fandi dengan kuat, Remaja berusia 13 Tahun itu sungguh ingat kelakuan ibunya yang begitu diktator, menang sendiri dan tidak suka melihat kebahagiaan anak anaknya.
Ia berjanji suatu saat akan membalas perlakuan orangtuanya dengan caranya sendiri, ini sudah diluar batas! Anak-Anak diciptakan untuk di kasihi dan dirawat dengan lingkungan yang hangat, bukan justru disiksa secara mental dan fisik seperti ini.
Fandi memeluk adiknya yang kelaparan karena kedua orang tuanya sendiri, ia begitu perih akan nasib adiknya. Setelahnya ia hanya mendengar celetohan ibunya di telepon bersama teman nya.
"Kenapa Bu? Aisyah sakit? Suruh istirahat Bu, belikan makanan yang cukup gizi untuknya, saya kalau anak sakit ya begitu Bu selalu perhatian dan memanjakan anak saya" Ucap Lunara yang sudah tidak waras, baru saja ia memperlakukan Fanda seperti anjing gila yang kesetanan, sekarang ia mencari muka dengan akting sok baik di depan teman teman dan wali muridnya.
'Kejam sekali kamu Ma! Ini anakmu sendiri! Kenapa kamu begitu tega memperlakukan anak mu sendiri seperti ini?! Apa guna menjadi seorang guru jika merawat anakmu sendiri saja kamu tidak tahu?!' ucap Fandi dalam hatinya, namun tanpa sepengetahuan ibunya Fandi keluar rumah lewat pintu belakang ia membeli semangkuk bakso untuk adiknya, tidak peduli bagaimana nasibnya nanti, ia tetap akan memperlakukan adiknya selayaknya.Â
Ia sudah lelah dengan hidupnya yang begitu miris untuk di ceritakan, setidaknya ia tidak ingin nasib adiknya sama seperti dirinya.
Selang lima menit Fandi pulang dan untungnya Ayah nya sedang sibuk berdua dengan Ibunya, jadi ia bisa mengambil nasi dan mangkuk untuk menyuapi adiknya yang menderita panas tinggi karena depresi dan lapar yang menyerangnya.
"Adik, ayo makan ini bakso kesukaan adik" Fandi berbicara lirih dan membuka kantong plastik yang berisikan bakso untuk adiknya.
"Ka–kak?! Nanti Mama marah kalau Mama tahu.." ucap Fanda dengan isakan yang masih tersisa.
"Ssst, udah makan aja. Mama sama Papa nggak kira tau, terus kamu juga harus minum obat ya?!" Ucap Fandi yang tersenyum melihat adiknya makan begitu lahap.
"Kak..ini enak sekali, kakak mau?!" Tanya Fanda dengan isakan yang mulai reda.
"Udah maem Fanda aja, Kakak nggak lapar kok.." ucap Fandi dengan senyuman cirikhas di wajahnya.
"Kak, kenapa sih Mama sama Papa marah marah nggak jelas terus kaya gitu?! Padahal usianya udah Mateng, bergaulnya juga sama orang orang berpendidikan" ucap Fanda yang heran.
"Nggak tau, memang karakternya Nda, Mereka merasa kita ini hanyalah anak anak, dan mereka merasa Orang tua jadi apapun posisi mereka, mereka selalu merasa benar dan ingin dihormati"
"Ck! Kok gitu sih Kak?! besok kalau Fanda menikah, Fanda pengen banget membahagiakan anak Fanda, nggak kaya Fanda gini" ucap Fanda yang mengunyah nasi di mangkuknya.
"Bagus, anak pinter! Iya Nda, kakak juga heran padahal mereka itu orang tua kandung kita, tapi kenapa keegoisan mereka sok menjadi orang tua itu begitu dalam, padahal jelas sekali posisi kita berdua ini seorang anak, dan mereka nggak pantes menghitung apapun yang sudah mereka lakukan untuk kita.." ucap Fandi yang menarik nafasnya dalam dalam.
"Kakak, yang sabar ya. Fanda sayang kakak, nanti kalau kita udah gede, kita harus bisa bahagia jangan mau di atur sama aturan yang nggak jelas kaya gini" Ucap Fanda yang menatap Fandi dengan lekat.
"Iya sabar ya Nda, ada pepatah bilang ikut aturan harus! Tapi mengatur jangan! Kamu paham kan maksud kakak?" Ucap Fandi yang memeluk fanda adiknya dengan erat, tidak terasa air matanya menetes begitu saja.
"Iya kak, Fanda paham kok! Terima Kasih ya Kak karena sudah menjadi kakak yang baik untuk Fanda, Fanda sayang sama kakak" Ucap bocah berusia delapan tahun itu dengan tatapan tulus.
Mirisnya hidup ini? Dalil penghormatan anak kepada Orang Tua terus ditekan! Namun bagaimana dengan Orang Tua?! Bisakah mereka menghargai Anak-anak mereka? Dengan Tidak menyiksanya secara fisik dan mental, tidak mengintimidasinya atas kekurangan mereka? Lupakah mereka atas buih kehidupan yang mereka buat dan inginkan sendiri?
BERSAMBUNG