Langit biru seluas mata memandang, tanpa secuil pun awan berarak di atas sana. Matahari bersinar begitu terik di Senin pagi ini, membakar semangat orang-orang pengais rezeki.
Waktu matahari sepenggalan naik berkisar 45° di sudut timur, jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan wanita berambut panjang itu menunjukkan pukul delapan kurang dua puluh lima menit.
Ia tengah berdiri di depan bangunan dua lantai bercat putih yang masih tertutup rapat. Di hadapannya, ada material galvalum yang memiliki kerangka besi silangan di belakang, serta ditutup dengan slat daun di bagian depan. Juga terdapat roda-roda kecil di bagian paling bawah berbatasan langsung dengan lantai untuk mempermudah buka tutup pintu besar itu.
Gadis yang mengikat satu rambutnya, merogoh tas kecil yang ada di bahunya. Menggeledah isinya untuk mencari kunci gerbang di depannya ini. Setelah pintu itu terbuka hanya sebatas ukuran tubuhnya bisa melintas, ia lantas menutup kembali pintu berbahan galvalum itu.
Di dua sisi dinding kiri dan belakang ruangan ini, berdiri rak-rak panjang bersusun tiga terbuat dari besi. Jarak antar tingkatan rak berkisar 50 centimeter, dengan panjang keseluruhan rak mencapai satu hingga satu setengah meter.
Ruangan dengan luas 3 x 3 meter itu merupakan ruangan paling depan yang menjadi sorot utama toko roti ini. Di bagian sebelah kanan ruangan ini, terdapat meja panjang dengan mesin komputer dan alat pencetak struk belanja. Peralatan yang biasa ditemui di meja kasir pada umumnya, juga diletakkan di atas meja ini sesuai fungsinya.
Wanita berkemeja putih itu meneruskan langkah menuju pintu kayu di depan sana, mengaitkan kunci dengan kenop pintu untuk membukanya. Ruangan etalase depan dengan ruangan pembuatan kue ini dipisahkan oleh kaca transparan yang kuat. Beberapa pengunjung bisa menyaksikan sekilas para pembuat roti bekerja dari sekat ini.
Mereka tidak bisa dengan leluasa melihat atraksi para pastry, karena ada rak tempat roti-roti berjajar setinggi satu meter yang berimpitan langsung dengan kaca transparan itu. Sehingga, jarak pandang mereka sedikit terhalang roti-roti yang disusun pada rak besi itu.
Di ruangan kedua ini, ada empat buah mesin oven yang diletakkan berderet di sisi dinding sebelah kiri. Bagian tengah ruangan yang memiliki ukuran lebih besar dari ruangan sebelumnya diletakkan sebuah meja oval besar. Sudah pasti meja ini digunakan untuk membuat adonan roti yang akan dipanggang.
Di sisi paling pinggir dekat pintu masuk ruang kedua ini, diletakkan sebuah mesin yang fungsinya untuk memotong roti tawar besar menjadi beberapa helaian untuk memudahkan konsumen mengoleskan selai.
Jika menelusuri ruangan ini sampai tiga meter ke sana, maka akan ditemukan lagi pintu kayu yang sama persis dengan yang dimiliki ruangan kedua tadi. Ada sekat berupa dinding beton yang memisahkan ruang kedua dengan ruang ketiga ini.
Jika membuka pintu kayu itu, akan berhadapan langsung dengan rak kayu 2 tingkat dengan 4 ruas seperti loker anak sekolah tempat penyimpanan keperluan diri. Tapi bedanya, rak kayu ini tidak memiliki tutup.
Di ruang paling belakang bangunan ini sekaligus merupakan ruangan terkecil diantara yabg lain dibangun sebuah toilet seluas 1 meter persegi hanya berjarak 1 meter dari loker penyimpanan.
Para karyawan toko roti ini meletakkan tas dan keperluan mereka pada rak ini sesuai dengan nama yang sudah tertera di masing masing ruas. Loker paling atas sebelah kanan adalah milik gadis berkemeja putih ini, ia meletakkan tasnya kemudian berbalik searah jam 3. Mematut dirinya pada cermin persegi yang tak begitu besar namun juga tidak terlalu kecil yang dipaku pada dinding ruangan ini.
Setelah merapikan rambut-rambut kecil yang sedikit berantakan, juga mengibaskan tangan ke beberapa titik pada kemejanya, wanita itu tersenyum. Lengkungan di bibirnya itu sampai pada titik paling terakhir, mengisyaratkan bahwa ia bahagia, dan akan menjalani setiap jam dalam hari ini dengan senyum bahagia seperi ini.
Masih tersenyum menyemangati dirinya sendiri, gadis itu mendengar suara decitan pintu depan yang digeser. Gadis itu berjalan perlahan menuju ruangan tengah, menunggu dan menerka siapa yang datang setelah dirinya pagi ini.
"Aneira! Kamu udah datang?" seorang pria dengan kemeja berwarna sama dengan Aneira muncul dari pintu kayu di depan sana. Pria yang membelah dua rambutnya itu berjalan lurus menghampiri gadis berambut kecoklatan itu. Bukan! Lebih tepatnya berjalan ke arah pintu kayu di belakang Aneira, pria itu juga akan meletakkan tas di loker miliknya.
Aneira memberi ruang untuk rekannya lewat, kemudian mendudukkan diri di kursi plastik untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak sebelum pertempuran hari ini dimulai. "Iya, aku baru aja sampai. Sekitar 15 menit lalu."
Pria yang diketahui bernama Arka itu ikut duduk di sebelah Aneira, Membuka kancing pengait di ujung lengan kemejanya lalu digulung sampai sebatas siku. "Kamu banyak senyum dari tadi. Kamu lagi bahagia?"
"Iya." Ada jeda sekitar 5 detik sebelum kata itu keluar dari bibir Aneira yang tersenyum. Senyum yang dibuat seceria mungkin.
"Aneira Bimala!" Pria jangkung di sebelah Aneira menghentikan kegiatan menggulung lengan bajunya. "Berhentilah berpura-pura jadi gadis ceria. Aku tau dan kamu juga tau betul seberapa besar beban yang harus kamu tanggung beberapa waktu belakangan ini."
Hening. Tak ada jawaban yang diberikan Aneira atas pernyataan Arka. Gadis itu menunduk, memilin jemarinya merasa gugup untuk sekedar menatap lawan bicaranya.
"Tersenyum untuk menutupi rasa lelah dan sakit itu wajar. Tapi, kamu udah melakukannya selama berbulan-bulan dan kamu pikir aku enggak tau?" Arka sudah selesai dengan kemejanya, kemudian menghadap pada Aneira.
"Aku.... Aku sedang berusaha lupain semuanya." Aneira mulai membuka suara untuk menjawab kata-kata menohok yang dilontarkan Arka. "Aku benar-benar udah mulai berusaha jalani hidupku dengan lebih bahagia dan lebih baik lagi." Gadis berlesung pipi itu mengubah arah pandang tepat pada bola mata Arka. Ia ingin menunjukkan bahwa kini ia memang benar-benar akan menjalani hidupnya untuk bangkit dari keterpurukan di waktu lalu.
_____________________
Gimana?