Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

PRIVILEGE

🇮🇩Depth_etc
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2k
Views
Synopsis
Privilege atau Hak Istimewa merupakan hak yang diberikan oleh sistem pada kalangan tertentu karena telah mencapai kriteria pantas sebagai pembeda dengan kalangan lain. Bicara soal privilege, tak akan jauh dari prestise yang berkaitan kehormatan kalangan tersebut. [Dikutip dari PRIVILEGE - On going] "Jas abu, seragam, dan blazer. Kita beda kasta." Ada tiga cara mendapatkan kasta tertinggi. Cara formalnya adalah menjadi juara dalam skala nasional. Cara nonformalnya adalah memiliki kontribusi pada pendidikan. Lalu, cara ilegalnya adalah lewat jalur orang dalam. Jas abu. Hanya dimiliki oleh kalangan atas atau kelas unggul. Salah satunya Xavianno Arthur, pemilik jas abu ini mendapat haknya lewat tiga cara di atas. Kemampuan lelaki itu di MIPA (Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi) ditambah ketertarikan pada eksperimen membuatnya sering menjuarai skala nasional. Hal itu memberi julukan "murid teladan" di SMA Orchid. Tak lupa fakta ia dikenal sebagai putra kepala sekolah. Seragam. Tak ada yang aneh, bahkan ¾ siswa di SMA Orchid mengenakan seragam. Salah satu dari mereka adalah Raquella Devaney. Gadis itu sama dengan yang lain, memperjuangkan jas abu dengan bumbu lelah nan jengah. Di titik itu, hidup tertawa sarkas dengan lemparan predator entah dalam wujud lelaki dan teman. Raquel tak kaget, di akhir ia terlibat cara satu dan dua. Blazer. Siapapun di tiap angkatan yang pertama kali mendapat blazer maka secara tak langsung ia mendapat julukan "pemimpin blazer". Zaviero Raven, terlepas dari nama tersebut, tapi ia tak memimpin murid blazer kala jumlahnya kian banyak. Namun, tak ada yang berani ambil alih nama tersebut dari pemilik asalnya. Lelaki itu justru menikmati blazer yang dimiliki, tak ada peduli atas sosial yang menuntut. Dia melakukan apa yang ia mau dan itu keputusan final. Persaingan? Jelas. Tiga kalangan itu jarang akur, selalu bergabung dengan kalangannya masing-masing. Namun, apa jadinya jika datang momen di mana tiga kalangan tergabung dalam satu hal yang menghapus sebutan privilege?
VIEW MORE

Chapter 1 - HAK ISTIMEWA || 01

✧ ✧ ☯ ✧ ✧

BRUK!

Baru sampai beberapa menit di kantin, seorang gadis yang mengenakan seragam sama sebagaimana mayoritas murid harus menahan tubuhnya kuat dari berbagai dorongan. Pegangannya pada buku tulis menguat, menyimpan tiap informasi penting yang didapat sepulang mengikuti technical meeting di salah satu perguruan tinggi terbaik di daerahnya untuk keperluan lomba.

Mata ocean gadis itu berkelana ke sekitar, menemukan gadis seumuran yang terduduk santai membiarkan rambut hitam pekatnya menjalar. Depan gadis itu muncul sosok lain berambut pirang keriting, cantik nan manis dan dengan baiknya menyediakan pesanan mereka yang mudah ditebak.

"Hey, Raquel!"

Panggilan itu membuatnya melambaikan tangan, gadis bernama Raquella Devaney ini duduk di kursi kosong."Eh, tumben lo ada waktu ke sini?" Mata dua gadis itu bertemu, tepatnya pada gadis beralmamater OSIS dengan name tag bertuliskan Valeria Aldrich di sebelah. "Engga dibabuin kelas atas?"

"Kabur dulu." Valeria tertawa, memang normalnya jam istirahat dipakai membahas kebutuhan OSIS apalagi sebentar lagi kakak kelas 12 lengser, dan inilah saatnya mereka kelas 11 mengambil alih situasi. Tangannya akhirnya menyimpan ponsel, duduk mengangkat satu kaki bersiap sarapan di jam 12.

Sesaat keduanya bertukar kata, gadis pirang di depan mereka tak banyak bicara memperhatikan lingkungan sekitar. Seingatnya tadi banyak murid menyerbu kantin, lalu serbuan itu tak bertahan lama dan lihatlah, kondisi kantin sudah sepi—lebih sepi dari normalnya sampai ia memastikan ini memang jam istirahat. "Perasaan tadi kantin penuh, kok tiba-tiba sepi, ya?"

Bruh!

Kebetulan Valeria dan Raquel yang menyeruput minum jadi tersedak, ini bukan hal aneh bagi mereka tapi terkadang belum terbiasa dengan keluguan Nessa. Raquel tahu dari Valeria dan Valeria yang berhadapan dengan omong kosong ini setiap saat. Gadis beralmamater OSIS itu berdeham. "Biasalah, ini bukan pertama kalinya kita denger si anak blazer cari masalah—dan gak aneh lagi setelah tahu lawannya kak Liam." Gadis itu tertawa miris.

"Hum." Raquel menyinggung senyum tipis. "Tumben OSIS diem aja."

"Kan gue bilang, gue kabur." Valeria menekankan. "Lagian gimana OSIS bisa turun tangan, orang yang bermasalah kali ini bukan anak blazer aja."

"Anak blazer sama calon anak blazer," Raquel menambahkan sok tahu.

Nekat sekali menyebutnya 'calon anak blazer', Valeria melirik sang teman yang menikmati hidangan. Sementara Nessa, gadis manis itu menatapnya penuh penasaran—hanya ia orang yang ketika bicara menatap lawan bicara.

"Bukan. Murid teladan angkatan kita juga dapet sorot kali ini."

Uhuk!

Murid teladan? Ada banyak murid blazer, tapi hanya satu murid teladan. Hingga sewajarnya mereka menatap Valeria penuh tanda tanya. Merasa jadi sorot, Valeria menaikkan alis. "Lo pikir kenapa gue bisa santai? Karena yang biasa mendisiplinkan kita lagi asik-asiknya cari masalah sama kelas bawah~!"

Understandable, have a nice day. Raquel tertawa pelan. "Maksud lo Arthur?"

"Yap, murid teladan angkatan kita," Valeria menekankan. Tiap angkatan memiliki murid teladan masing-masing dan julukan itu hanya jatuh pada satu orang yang dinilai berprestasi dan memiliki karisma baik. Seleksi ini dilakukan untuk kalangan siswa berprestasi, di mana mereka memakai jas abu untuk memisahkan diri dari siswa berseragam dan pemakai blazer.

Memakai jas abu saja sudah menjadi privilege, sekarang satu dari mereka mendapat kehormatan lebih memiliki julukan murid teladan. Tidak ada perlakuan khusus yang disebutkan, tapi sudah menjadi aturan tak tertulis bahwa pengguna jas abu adalah kalangan atas dan tak sepantasnya murid berseragam merasa mereka satu level dengan jas abu—apalagi blazer.

Berbeda dengan blazer, golongan seperti ini bisa datang dari mana saja. Jumlahnya tak dibatas, tergantung seberapa banyak anak bermasalah yang ada. Seolah menjadi penjelasan umum bahwa jika pengguna jas abu dianggap pemerintah, maka pemakai jas blazer adalah pemberontak—karena itu yang selalu mereka lakukan. Murid seragam biasanya menonton, tak terjun tapi mereka perlu menurut saat sang pengguna jas abu memberi perintah.

Memakai jas abu relatif sulit, setiap kali ingin naik level diperlukan satu saja penghargaan dalam skala nasional. Jika anak blazer ingin jas abu, maka ia perlu juara nasional atau dinobatkan sebagai organisasi skala nasional dan itu baru melepas kepemilikan mereka atas blazer. Saat memakai seragam, ia perlu berjuang mendapat juara nasional lagi sebelum menerima jas abu.

Mereka bertiga belum mendapat juara nasional—bukannya tak mau, tapi tak mampu. Ada Valeria yang terbeban tugas OSIS, Nessa yang bahkan tugas Kimia di kelas saja sudah bikin usus buntu, dan Raquel terlalu fokus pada passion menjadi seorang penulis biasa untuk peduli masalah privilege.

"Kalau gitu sekarang mereka di mana?!" Nessa langsung bangkit, melihat sisi kanan-kiri barangkali terjadi perkelahian—tapi seperti yang disebutkan, kantin ini sepi. Padahal Nessa yakin, biasanya perkelahian dan penangkapan murid blazer oleh anggota OSIS atau kelas atas sering terjadi di sini. "Vale, apa lo engga ngerasa apa-apa gitu kalau Arthur kenapa-napa?!"

"Bersyukur justru, jadi gak ada yang suruh-suruh." Valeria angkat bahu, ia menyadari gelagat Nessa dan melanjutkan, "kalau lo nyari Arthur, lo pikir dia bakal nyelesaiin masalah sebagaimana anak blazer? Gak, Nessa. Arthur sendiri yang nawarin nyelesaiin permasalahan mereka pakai cara berfaedah."

Raquel memainkan botol minumnya. "Dia di pihak kakel lagi, ya?"

Lagi-lagi tebakan Raquel salah. Valeria menyiku temannya. "Blazer."

DEG!

Mereka literally bagai sudut berbanding 180 derajat dan ternyata Raquel punya kesempatan hidup untuk mengetahui dua sisi itu ada di satu pihak. Jika Raquel menganggap ini keberuntungan, Nessa tidak. Gadis berambut pirang itu menatap heran, mulutnya ternganga tak menyangka. Peristiwa ini bisa menjelekkan julukan murid teladan yang baru diberikan pada Arthur.

"C-cuman ada satu anak blazer dari angkatan kita, kan?"

Valeria dan Raquel mengangguk. Yap, hanya satu dan itu adalah Zaviero Raven dari kelas XI MIPA 3, kelasnya bersebelahan dengan kelas Raquel dan Nessa—XI MIPA 2. Seingat mereka, Raven mendapat blazer karena terlibat perkelahian berturut-turut dalam satu bulan dan hingga sekarang, konflik itu tak pernah memudar. Selalu antara Raven dan murid berprestasi, tapi ini kakak kelas—yaitu Liam. Tak lama setelah itu, Arthur terbawa namanya.

Nessa mungkin tak tahu banyak hal, tapi jelas-jelas ia tahu dan benci si pemilik blazer itu karena sering membuatnya takut ke kantin. Percaya atau tidak, Nessa pernah melihat lelaki itu memulai perkelahian hingga lawannya cedera. Darah, warna merah itu yang tak Nessa sukai. Bukannya menyesal, tapi si pemilik blazer ini seolah terpancing jika sudah luka-luka.

BRAK!

Dua tangan Nessa menggebrak meja, sedikit mengagetkan dua gadis itu. "Kita harus cepet hentiin mereka sebelum Arthur babak belur! Kalian tahu kan si anak blazer itu rendahnya segimana? Dia bisa-bisa aja nyakitin Arthur dan kita harus hentiin sebelum mereka berantem!" Lantas, ia menarik dua temannya paksa. Toh, tak ada perlawanan dari mereka karena memang pada dasarnya pasti mereka berdua lagi yang mengemban dampak hal ini.

Valeria sebagai anggota OSIS dan Raquel penjaga UKS. Pada akhirnya, ya mereka lagi yang terbebani urusan melerai dan pemanggilan BK oleh OSIS dan sebagai penjaga UKS, Raquel harus sedikitnya membantu korban. But, satu kalimat Nessa ada yang membuat mereka tertawa, agak sinis.

"Nessa~ ini kan tentang Raven, gak ada kata selesai sebelum adu jotos."

✧ ✧ ☯ ✧ ✧

This is bad.

Kemenangan berada jelas-jelas di tangannya seandainya pihak lawan tak mengatasnamakan kekalahannya karena kecurangan. Lalu, begonya manusia di lapangan ini, mereka setuju saja jika diadakan pertandingan kedua. Cih, bukan mereka yang main tapi ngatur. Sang murid teladan kalah suara, ia pun tak bisa seenaknya keluar setelah masuk secara sadar dalam permainan ini.

Liam menyerukan pengulangan dan Raven dengan santainya menerima.

Lalu, posisi Arthur di sini apa? Harusnya ia yang memerintah berhenti. Harusnya—seandainya omongan ini berlaku untuk kakak kelas dan murid blazer. Angkatan di atasnya memiliki murid teladan tersendiri dan bukan kekuasaan Arthur untuk mengurus mereka. Di sisi lain, Raven punya blazer, yang menjadi pertanda omongan murid teladan pun hanya angin baginya.

Kenapa juga semua berakhir seperti ini? Arthur mulai merasa tindakan membela teman perempuannya yang digoda terlalu terus terang oleh Liam adalah tindakan terbodoh yang ia lakukan, dampaknya ia terlibat aktivitas ini. Jangan salah, Arthur tak punya dendam pribadi dengan olahraga, hanya saja, ia tak menjadikan sarana hidup sehat menjadi cara menjatuhkan orang lain. Berbeda dengan Raven, pikirannya hanya agar si Liam tahu diri saja.

Di kantin tadi, melihat Arthur tengah berselisih ringan dengan Liam—si musuh bebuyutan yang anjirnya memakai blazer, menjadikan ini satu kesempatan bagi Raven memperparah situasi. Toh, niat awalnya ke kantin mencari mangsa diajak sparring. Raven tak bilang dirinya menyesal, justru ia tertawa puas meski sparring yang terjadi bukan unsur kekerasan otot.

"Ini ada minum buat lo, supaya lo lebih fresh buat pertandingan kedua."

Ucapan itu menyadarkan lamunan Arthur, ia mengangkat kepalanya pada dua mata bulat yang menyodorkan sebotol mineral di depan wajah. Lantas sang murid teladan bangkit, menerima minum itu setengah hati. Minum ini belum seberapa dari bayaran perlakuan Arthur membelanya, tapi ya sudah. "Lain kali lo hati-hati, jaga jarak setidaknya lima meter dari kak Liam."

Gadis itu—murid teladan juga, tapi versi perempuan—tersenyum paham. Dikenal dengan nama Xeevara Adistia yang terpilih menjadi duta bahasa dan donatur terbesar di SMA swasta Orchid. Di mana kepala sekolah SMA ini adalah ayah Arthur sendiri. Xeevara berdeham saat Arthur menerima minum itu. "Iya, makasih. Kalau gak ada lo, mungkin gue udah kenapa-napa."

Oh iya jelas. Arthur sendiri merasa jadi penyelamat walau ia tak bersyukur atas kondisi yang membawanya malah satu tim dengan pengguna blazer. Di depan mata sayup Arthur sendiri, ia bisa melihat pengguna blazer itu minum ganas dan melempar botol minumnya sembarangan. Padahal demi menjamin lulusan SMA Orchid yang tahu etika, disediakan tempat sampah berjarak satu meter dari pengguna blazer berdiri. Susah amat pakai tempat sampah?

Zaviro Raven, lelaki itu membasuh wajahnya dengan fasilitas wastafel di sekolah yang Arthur miliki. Lalu dengan beraninya melawan perintah murid teladan. Mata pemilik blazer itu kembali memancarkan sorot tajamnya, ia tak bisa menurunkan rasa was-wasnya, Liam bisa menyerang di mana saja. Saat mendengar langkah di belakang, Raven langsung berbalik menyiapkan bogem mentah yang tertahan menyadari sosok itu. "Oh, si jenius nih."

"Ini pertandingan terakhir, jangan memperpanjang masalah karena kita berdua tahu—kita engga satu level buat ada di pihak yang sama." Arthur tak ingin berlama-lama, ia ke sini untuk mengambil sampah Raven dan memberi pelajaran pada lelaki itu untuk buang sampah di tempatnya. Suara peluit menyadarkan keduanya, sebentar lagi pertandingan kedua dimulai.

"Heh." Sudut bibir Raven terangkat, humor sendiri melihat babu sekolah. Pemilik jas abu dan peraih 5 besar di sekolah, dua golongan itu sering bikin Raven gemas ingin menjatuhkan. Tapi, mereka bukan tipe petarung yang kalah lewat kekerasan—diperlukan otak dan kemampuan caper, sialnya Raven lemah di sana. "Selalu ada pilihan mundur, gue gak tega bawa anak kecil ke urusan orang dewasa," sindirnya yang ternyata dicueki, hm.

Lidah Raven sama tajamnya seperti pukulannya. Arthur berdecih, tak ada yang selesai jika ia termakan emosi untuk kedua kalinya. Di kantin tadi, ia terbawa suasana hingga setuju saja dengan tawaran pertandingan ini. Tapi, kali ini kepalanya mendingin dan tak mudah dipancing dengan cemooh itu.

Dua lelaki yang memiliki peran berbanding 180 derajat itu memasuki lagi lapangan—tempat di mana mereka malah menjadi satu pihak. Dua tangan Raven dilipat di belakang leher, dagunya terangkat menatap remeh lawan yang sudah menunggu di hadapan. Sementara Arthur, postur tubuhnya tegas tegap, matanya menatap lurus pada kakak kelas yang bukan jadi kendalinya.

'Ini pelajaran terakhir.' Kalimat sama dengan maksud berbeda.

✧ ✧ ☯ ✧ ✧