Dengan sikap penuh rasa amarah yang ditunjukkan oleh Lucius, Joseph bergegas dan memelototi pelayan yang tidak tahu harus berbuat apa. Dia pasti tidak mendengar perintahnya, mungkin pelayan itu juga menaruh rasa suka pada sang pangeran.
Karena tidak ingin hal ini terulang lagi, Joseph berlari memanggil kepala pelayan. Dia menghela nafas dalam-dalam, berpikir bahwa mood tuannya akan berubah drastis hari ini.
"Albert, berapa lama aku harus memanggilmu? Kenapa lama sekali" tegur sang pangeran.
Joseph berlari sekencang mungkin saat memanggil Baron Albert Eugene Franklin. Dia adalah seorang kepala pengurus rumah tangga utama Pangeran Lucius Artorius, dan juga termasuk anggota Keluarga Franklin yang memiliki gelar bangsawan Baron.
Untungnya kamar tidur sang pangeran telah dibersihkan. Jadi, tak mungkin dia akan mengomel mengenai persoalan tersebut.
Tidak peduli betapa bersemangatnya dia mencintai seorang wanita di tempat tidur, semua itu berlalu ketika momen obsesinya selesai. Sifatnya yang mirip seperti sponge seringkali membuat para wanita yang bersamanya tak dapat memahami dan rengekan pria bangsawan yang mereka idolakan.
Itulah sebabnya pangeran sering berganti kekasih dari waktu ke waktu, meski seleranya terhadap wanita sebenarnya tidak jauh berbeda. Tak semua orang mampu menghadapi pria bangsawan yang satu ini.
Bagi sang pangeran, hanya ada satu syarat untuk kekasihnya yakni tidak menjadi pengganggu untuknya. Insiden hari ini tidak bagus untuk sifat pangeran yang mencintai keheningan di atas keindahan apa pun yang berada di luar sana.
Suasana hati Lucius yang mendadak berubah dan terusik oleh rasa haus atas sebuah hasrat yang tidak sepenuhnya terpuaskan, padahal dia telah bercinta dengan seorang wanita jauh lebih lama dari biasanya.
Rambut kasar berwarna merah bata milik wanita itu tampaknya masih menghantui sanubarinya. Dia masih terjebak dalam suasana yang bahkan tak dapat dipahami. Sayangnya di tengah emosi gusarnya, seorang pelayan yang menjaga kamar tidur malah memprovokasi suasana hatinya, sikap kejengkelan yang sudah tak tak tahan kini memuncak dan meledak.
Albert, yang telah datang atas panggilan pangeran, mulai menyarankan ini dan itu untuk menenangkan perasaan tuannya. Pria tua itu mulai menyeka keringat yang bahkan tidak ada di sana saking susahnya membujuk Pangeran Lucius Artorius.
"Yang Mulia, aku tidak bisa melakukan apapun dengan tenagaku sendiri. Jika seorang pelayan wanita selalu terpesona oleh dirimu, itu karena dia memiliki mata untuk melihat. Jadi mengapa kau tidak mengambil kesempatan ini dan biarkan aku mengganti pelayan kamarmu menjadi seorang pelayan pria untuk menunggumu?" ujar Albert.
"Aku tak masalah dengan gendernya. Seorang pelayan harusnya tetap bersikap seperti seorang pelayan, apakah kamu berani membiarkan pria lain melihat tubuh polos kekasihku di kamar?" hardik sang pangeran.
Albert hampir tidak bisa menutup mulutnya, mencoba bergumam, dan menawarkan pendapat yang berbeda pada pangeran. Pria itu biasanya tidak menunjukkan rasa kasih sayang pada setiap kekasihnya.
Namun kali ini ada yang aneh dengan sang pangeran. Dia bersikap begitu keras kepala pada hal yang tampaknya sepele.
"Lalu kenapa kamu tidak pergi ke kamar kekasihmu saja? Kamar itu disediakan agar dirimu tidak perlu menderita hal-hal seperti ini pangeran. Kau tidak perlu mencoba menyingkirkan wanita yang tidak ingin pergi. Semua pangeran lain juga melakukan itu."
"Bagaimana bisa kau menyuruhku pergi bersama mereka? Kau memerintahkanku untuk datang ke kamar seorang wanita?"
Albert bergumam dalam hati, memikirkan lawan bicaranya. Berusaha mencari waktu paling rentan untuk menghadapi pangeran. "Tidak Yang Mulia. Aku tahu. Diriku hanya merasa khawatir denganmu saja."
"Kalau begitu, Yang Mulia, diriku dengar ada seorang laki-laki di negara pulau selatan yang biasa melakukan pekerjaan ini. Mereka ahli dalam perawatan wanita yang memiliki status. Kau boleh memerintahkanku untuk mencari hal yang sesuai dengan uang yang kau inginkan?" Albert dengan hati-hati memberi tahu tuannya apa yang dikatakan Mortimer kepadanya saat terakhir kali dia berkunjung.
"Apakah itu berarti laki-laki asing yang akan mengatur kehidupan seorang wanita dari keluarga kerajaan bangsawan utama di sini? Kenapa kamu begitu ribet? Aku hanya membutuhkan seorang pembantu yang bisa bekerja dengan baik. Apakah itu sulit?" tegur sang pangeran.
Dengan sikap dingin Pangeran Lucius Artorius yang mempertanyakan kemampuannya, Albert menundukkan kepalanya dan menurut. "Maafkan diriku, Yang Mulia. Aku akan bertanggung jawab dan menemukan pelayan yang sempurna."
Tepat seminggu setelah kejadian yang ingin selamanya dia hapus dari pikirannya, Zophie kini tiba di Aalto Street, tempat dia dan ibunya dulu tinggal di bawah perlindungan Marquis Armand.
Zophie membayar ongkos naik kereta dengan sedikit uang yang diberikan oleh Lylia dan Layla padanya. Kini dirinya berdiri di gerbang besi megah yang dijaga oleh para ksatria berbaju besi abu-abu tua dan memandang ke kediaman tersebut.
Rumah besar itu, didekorasi dengan warna ungu tua, warna khas Keluarga Artorius dengan kombinasi warna perak dan hitam, warna khas kesukaan Pangeran Lucius. Aura yang ada terpancar dengan kuat sehingga menghancurkan semangatnya saat masih berada di pintu masuk.
Zophie kembali teringat apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Dia tampak gugup sembari mengangkat kacamata besi tebal yang tergantung di wajah kecilnya.
***
Sehari setelah Pangeran Lucius Artorius pergi ke teater, Miya mengunjungi Zophie secara pribadi. Wanita itu bertanya, "Zophie, aku mendengar sesuatu yang besar terjadi kemarin?"
Ketika mendapat pertanyaan seperti itu, pikiran mengenai kejadian kemarin teringat lagi, momen saat Zophie menumpahkan anggur pada Pangeran Lucius Artorius. Zophie menghela nafas dan berkata dengan suara rendah, "Apakah Meera tahu?"
Menggeleng kepalanya, Miya menjawab, "Untungnya, tidak. Aku mendengarnya dari Marquis Parveen kemarin. Aku sangat senang kamu baik-baik saja, tanpa ada masalah berarti."
Miya menyapu rambut kastanye gelapnya, menghibur gadis yang putus asa di depannya. Dia adalah putri Samantha, yang dulu sempat merawatnya seperti seorang kakak perempuan setelah dia baru saja keluar dari pedesaan. Dia menjadi trainee di Teater Magnum, di mana dia belajar menyanyi dan menari.
Ketika Samantha jatuh cinta pada Marquis Armand dan pensiun dini ke sebuah rumah besar, Miya merasa bahagia seolah-olah dirinya sendiri yang mengalami hal tersebut. Namun ketika Samantha diusir dalam semalam dan kembali ke teater bersama putrinya yang masih kecil dan meninggal karena sakit, setelah kurang dari setahun yang lalu, dia merasa murung, karena dia telah menantikan masa depannya sendiri.
Miya yang berusia dua puluh delapan tahun, perlahan-lahan mengambil alih posisi primadona di Teater Magnum dan bersiap untuk kembali ke kampungnya. Hubungannya dengan Marquis Parveen akan segera berakhir saat dia pensiun dari teater. Seperti artis lainnya, dia tidak ingin berakhir dengan kematian saat menjadi mainan seorang bangsawan.
**To Be Continued**