Aku akan melakukan yang terbaik untuk membersihkannya tapi, aku tidak bisa mengontrolnya tadi dan kini pakaianmu masih basah."
Zophie kini mengomel pada Maker, seekor anjing kotor di dalam mimpinya. Diantara berdoa dan menghina, Zophie memohon seolah-olah hidupnya bergantung padanya, dengan harapan untuk hidup sekali lagi.
"Diriku tampaknya harus melepaskan semua harga diri yang aku miliki di sini," sindiran pedasnya.
Aneh rasanya memandang pangeran dengan suara gemetar. Dia kini mengulangi permintaan maafnya sekali lagi.
Sang pangeran harusnya meletupkan amarahnya seperti kobaran api atas perlakuan yang didapatkannya. Dia mungkin bisa meneriaki pengawalnya karena harus berganti pakaian yang telah basah, atau mungkin memanggil pemilik teater untuk bertanggung jawab atas kejadian tersebut untuk membuat hatinya tenang.
Pangeran Lucius Artorius tidak melakukan hal yang umumnya menjadi reaksi orang-orang. Dia hanya duduk miring, terdiam, sembari menatap ke satu tempat, dagunya bertumpu pada tangan kanan dengan siku ditopang oleh sandaran tangan lainnya. Sang pangeran tidak kehilangan bentuk anggunnya sedikit pun.
Ketika Zophie melihat apa yang dia lihat, dirinya mengikuti tatapan mata itu. Berusaha menyadari hal yang sedang di lihat sang pangeran. Betapa malunya dia saat sadar bahwa pria itu tampak tengah menatap dada miliknya.
Alis pangeran yang tersisir rapi terangkat, ketika Zophie dengan cepat mundur karena insting pertahanannya yang tampaknya baru saja aktif. Dia kini menyilangkan lengan nya, dan berusaha menghalangi pandangan pangeran dari buah dadanya.
"Sudah terlambat untuk menutupi sekarang," tegur Pangeran Lucius Artorius.
Saat wajah Zophie memerah, dia tidak bisa marah sama sekali karena kesalahan yang ia lakukan adalah sebuah dosa baginya, Pangeran menoleh ke arah Mortimer lalu berkata, "Apakah kamu melihatnya dengan jelas? Cahayanya tidak seterang yang aku kira di sini. Jadi, diriku ingin tahu apakah kau bisa melihatnya?"
Mortimer ingin tertawa saat menonton drama yang lebih menarik daripada sekedar pertunjukan opera. Dia dari tadi ikut memiringkan kepalanya.
"Apakah kau menanyakan apa yang telah kulihat? Itu sebuah gaun wanita dengan potongan yang pendek. Bukankah itu yang selalu kita lihat?" ujarnya.
"Selalu kita lihat? Sudahlah. Kenapa Joseph pergi begitu lama? Diriku perlu mengganti pakaian," tutur sang pangeran.
Pangeran Lucius Artorius mengedipkan mata pada Marquis Parveen yang sedang menatap wajahnya. Pria itu lantas berdiri atas kode dari sang pangeran. Dia juga menatap pelayan yang gemetar terpaku di sudut, mengangkat bahunya, lalu perlahan keluar dari ruangan tersebut.
Zophie yang ditinggalkan sendirian dengan pangeran di kursi VIP bertirai, mengambil satu langkah mundur. Dia kini terlihat goyah dengan rasa gelisah yang seolah mencekiknya.
"Apa kau tidak bertanya-tanya tentang apa yang aku barusan lihat?" pangeran bertanya, mencondongkan tubuhnya ke samping seolah-olah dia tidak peduli dengan pakaiannya yang basah.
Zophie kembali mengambil langkah mundur sekali lagi. Dia membalas dengan gelengan kepala, dia menolak untuk memikirkan apapun karena yang dilihat oleh pangeran pasti adalah dadanya. Pangeran mengangkat satu tangan dan ia memberi isyarat agar pria itu berhenti.
"Aku akan memaafkanmu karena menunjukkan padaku sesuatu yang baik atas efek tragedi anggur yang mengenaskan. Tetapi jika dirimu berjalan-jalan di teater seperti ini lagi, aku rasa kau tidak akan seberuntung kali ini. Temani aku sampai Joseph kembali," ujar sang pangeran pada gadis tersebut.
Mendengar kata pengampunan dengan suara berat dan seksi dari sang pangeran, Zophie akhirnya membungkuk sembilan puluh derajat ke perutnya, dan mengucapkan terima kasih pada pria tersebut.
"Apakah kamu sedang merayuku? Apakah sinyal yang kutangkap salah?" tanya pangeran pada gadis itu.
Ketika dia melihat pangeran yang perlahan-lahan menjilat bibir bawahnya dengan lidahnya, dan mulai berbicara dengan suara beratnya dengan penuh hasrat yang dalam, Zophie akhirnya menyadari mengapa dia adalah sosok pria paling populer di Castus.
Gadis itu menggelengkan kepalanya begitu keras hingga dia merasa kebas. Zophie bahkan meletakkan kembali kain basah dari tangannya untuk menutupi buah dadanya.
"Tidak, Yang Mulia. Aku tidak tahu sinyal apa yang kau maksud. Diriku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas pengampunan darimu. Aku bukanlah seseorang yang mencolok di teater, jadi bisakah aku pergi sekarang?" tutur Zophie membela dirinya.
Pangeran Lucius Artorius memperhatikan dengan cermat pelayan itu. Dia melihat bahwa gadis itu memiliki rambut kasar berwarna merah bata dan wajah coklat kusam. Matanya bersinar, melihat kulitnya yang tampak halus dan mata hijau yang bersinar seperti permata pada wajah tirusnya. Sang pangeran mengamati bibir kecilnya yang indah dan berwarna merah muda.
Apalagi kain merah yang buru-buru dimasukkan kembali ke dalam rongga dadanya. Padahal kain itu sudah basah oleh sebuah genangan anggur yang tumpah tapi, hal itu justru menciptakan tontonan yang lebih memikat baginya.
Tidak seperti penampilannya yang muda dan polos, dia memiliki garis dada yang cukup dalam. Sebuah penampilan yang biasanya hanya dimiliki oleh seorang aktris. Dada terbaik yang pernah dilihat pangeran tentunya. Selain itu, tontonan yang sedikit terlihat saat dia membungkuk membuat penonton lain yang melihat hal ini pasti juga akan merasa cukup cemas.
Pangeran Lucius Artorius yang sejauh ini tidak memiliki selera untuk berada di sini, malah menemukan hal yang membuat dirinya mungkin tertarik untuk tetap berada di sini. Dia pikir dirinya kekurangan emosi manusia, tetapi dia merasa sangat terpesona oleh wanita di depannya, yang tampak ketakutan dan gemetar.
Tetapi pangeran yang satu ini tidak pernah mengambil seorang wanita dengan paksa. Dia menyerah untuk berpura-pura bahwa pelayan itu telah mengirimkan sinyal dan kini ingin melangkah pergi semacam permainan tarik ulur.
Ketika gaun ungu muda yang mengguncang pikirannya menghilang di depan mata dalam sekejap, pangeran mendecakkan lidahnya karena gadis itu bahkan tidak mengindahkan perintah nya. Dia pikir dia akan pergi tanpa menemui halangan, tapi hari ini dia tidak punya pilihan selain mengajak Maya keluar dan menikmati malam bersama. Sebuah gairah telah tersirat di dalam sanubarinya dan dia ingin melepaskannya.
Kemudian sang pangeran menunduk, lalu dia melihat pakaiannya yang basah. Untuk sesaat Pangeran Lucius Artorius telah lupa akan insiden tersebut.
Saat Marquis Parveen membawa Joseph masuk, Pangeran Lucius Artorius berpikir sejenak dan membuka mulutnya, "Aku lebih suka kembali daripada mengganti pakaianku. Joseph, beritahu Maya untuk datang ke Aalto Street nanti."
Mengalihkan pandangannya, sang pangeran kembali berbicara, "Mortimer, apakah kamu akan tinggal lebih lama lagi?"
Tahu kemana pertanyaan tersebut berarah, Mortimer terpaksa mengikuti sepupunya. Sang pangeran telah berdiri dan siap untuk kembali bahkan sebelum opera benar-benar dimulai.
"Tidak. Kesenangan seperti apa tanpa dirimu? Aku juga akan kembali sekarang," jawab Mortimer dengan gusar.
**To Be Continued**