Putri Rindiana itulah namaku, biasa dipanggil Rindi, tinggal di kota malang masuk wilayah Dusun Sumber Jambe, Desa Srigonco, Kecamatan Bantur, aku adalah putri dari bapak Baharudin dan ibu Marhani yang selalu bilang bahwa putrinya adalah yang tercantik dan kurasa itu penipuan, adikku bernama Putra Mahendra, biasa dipanggil mahen dan dia sangat menyebalkan.
Aku menyukai semua hal yang manis, seperti coklat, permen dan klepon jawa, sialnya Mahen juga memiliki kesukaan yang sama denganku, jadi kami sering bertengkar hanya karna berebut cemilan dan itu membuat bundaku murka.
Sejujurnya bundaku adalah wanita cantik yang paling elegan dimuka bumi ini, tetapi murkanya membuat harimau betina kalah saing dengannya, ketika marah bundaku akan langsung berkecak pinggang didepan anak-anaknya, raut wajahnya langsung berubah seperti komandan perang yang mengomeli bawahannya, kurasa ituah mengapa ayahku sampai takluk padanya.
Sedangkan ayahkau adalah pria yang masih tetap tampan meskipun usianya sudah empat puluh delapan, beliau adalah karyawan sebuah perusahaan transportasi di jakarta, setiap satu bulan sekali ayahku pulang mengunjungi keluarganya sambil membawakan oleh-oleh dan beberapa barang yang ku pesan.
Beliau sudah seperti toko serba ada bagiku dan mahen, apapun yang kami minta cepat atau lambat pasti akan di belikan.
"ayah terlalu memanjakan anak-anaknya" kata bundaku.
Tapi begitulah ayahku, beliau seperti memiliki kantong ajaib yang dapat mengabulkan apapun yang aku dan mahen inginkan, beliau juga pribadi yang sangat romantis untukku,adikku dan bundaku, Ayah selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untukku, Dan setidaknya ayahku akan menelphoneku sekitar delapan kali dalam sehari, sekedar untuk menanyakan apakah putrinya sudah makan atau belum, dan terkadang menanyakan tentang bagaimana perasaanku setiap harinya. Jika ada penghargaan untuk Ayah ter-romantis, sudah pasti ayahku adalah juaranya.
Tapi sudahlah, mari kita berganti topik karna tokoh utama dalam cerita ini bukanlah ayahku tetapi aku,
Seorang wanita usia 27 tahun yang sebentar lagi akan bertemu penghulu. Aku sudah lelah mencari nafkah dan memutuskan menikah dengan pria yang katanya mau membangun masa depan indah bersamaku.
Namun kisahku yang sebenarnya dimulai jauh sebelum itu.
Kurasa itu adalah saat dimana aku masih mengenakan rok abu-abu dengan atribut berwarna coklat di kantong bajuku.
Pagi itu adalah hari minggu tepatnya tanggal 10 Desember 2008, hari dimana seharusnya aku libur untuk mencuci sepatu dan seragam sekolahku, tetapi karna ada kegiatan disekolah membuat anggota osis sepertiku terpaksa harus datang meskipun sejujurnya aku tidak mau,
Sialnyan hanya aku yang pergi ke sekolah pagi itu, karna teman-teman dilingkunganku bukanlah tipe anak yang sudi repot-repot menjadi anggota osis sepertiku.
"Ndok kamu jadi pergi kesekolah tidak?" tanya bundaku yang pagi itu sudah selesai menyiapkan sarapan untukku dan mahen yang masih tidur didalam kamarnya.
"Engeh bun, tapi bingung mau minta antar ke siapa?"
Pada masa itu kendaraan di tempat tinggalku memang cukup susah, sebenarnya rumahku bukan berada di pedalaman tetapi untuk mencapai jalan raya aku harus berjalan sekiar 30 menit melewati lereng bukit yang jalanannya masih sangat terjal, aku masih mengingat dengan jelas bagaimana aku, dan teman-temanku harus berlari agar tidak ketinggalan angkutan yang sudah menjadi langganan antar jemput anak sekolahan, bahkan setelah berlari kami harus rela bergelantungan di pintu mobil untuk bisa sampai disekolah. Jalan menuju sekolahku juga bukan jalan tol yang bebas hambatan, melainkn jalanan yang penuh dengan liku-liku dan tanjakan.
" Sudah coba minta tolong ke mas sahid?" Tanya bundaku.
" Belom bun, kalau jam segini pasti mas sahid belum bangun"
Ngomong-ngomong soal mas sahid, dia adalah cucu dari kakak laki-laki nenekku, dia memang selalu jadi langganan tukang ojek dilingkunganku. Orangnya cukup ramah dan selalu nyambung kalau di ajak bercanda, mungkin itulah alasannya mengapa banyak gadis yang langsung kepincut padanya, aku juga pernah tidak sengaja melihat layar ponselnya ketika ia sedang memperbaiki lampu di rumahku, tertulis ada 24 panggilan tak terjawab dan hampir 30 pesan belum di baca. Mas sahid itu benar-benar sesuatu.
" Yowis biar bunda yang cari orang untuk mengantarmu
" Bunda mau cari kemana?"
" Ke rumah Ruri, biasanya banyak anak-anak yang menginap disana, kamu sarapan saja dulu ndok"
" Engeh bun"
Kalu soal Mas Ruri, dia adalah tetanggaku yang rumahnya hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari rumahku. Biasanya anak laki-laki suka menginap dirumahnya, tempat itu sudah seperti base camp untuk pemuda-pemuda disana.
"Nang tolong anterin Rindi ke sekolahnya, nanti tak belikan bensin"
Aku bisa mendengar suara bundaku sedang meminta tolong kepada seseorang di rumah Mas Ruri, entahlah siapa itu tetapi tidak butuh waktu lama untuk bundaku membawa orang itu ke halaman rumahku.
"Masuk dulu, sarapan bareng Rindi"
" Mboten usah, matur suwun"
Bunda masuk ke dapur, menghampiriku yang waktu itu masih bersama dengan sendok dan piring berisi nasi, sayur dan telur ceplok.
"Itu diluar siapa Bun?"
"Nandan anaknya Ibu Sulis"
"Lowh Jadi Nandan yang mau nganterin aku bun?"
"La wong Cuma ada Nanda di rumah e Ruri"
"Tapi aku canggung bun sama Nandan, aku ndak terlalu akrab"
" Wes ndak apa-apa"
"Tapi Bun"
"Sudah sana berangkat"
Pagi itu dibawah langit mendung aku berboncengan dengan Nandan menuju sekolahku, Ia adalah anak laki-laki yang tinggal di kampung sebelah, kami pernah satu sekolah ketika sekolah Dasar, Sekarang Ia adalah Mahasiswa semester satu di salah satu universitas malang, kami menaiki sebuah motor matic berwarna biru dengan sedikit corak hitam, melewati jalan berkelok dan tanjakan yang memiliki banyak lubang dengan air yang menggenangan, itu wajar karna semalam turun hujan.
Jalanan yang licin membuat aku merasa harus berpegangan, bukan karna ingin mencari kesempatan, tapi ini murni karna aku ketakutan, aku mulai berpegangan pada ujung bajunya, mencengkramnya ketika melewati tikungan dan nyaris merobeknya ketika melewati tanjakan.
"Bisa-bisa bajuku robek kalau terus-terusan ada tanjakan seperti ini"
Nandan berkata begitu padaku disaat tanganku masih mencengkeram ujung bajunya. Kurasa ucapannya ada benarnya, bagaimana tidak robek jika kuremas bajunya seperti ini, aku jadi merasa bersalah dan memutuskan melepaskan baju itu padahal hanya itu yang bisa ku jadikan pegangan.
"Lowh kenapa dilepas?" Tanya Nandan.
"Nanti bajumu robek"
"Ndak apa-apa, kalau robek kan aku bisa minta ganti rugi ke bundamu"
"Enak di kamu, ndak enak di bundaku"
"Ndak enak gimana, aku kan Cuma minta ganti rugi, sukur-sukur dikasih baju baru, kalo ndak, dikasih anak gadisnya aku juga mau"
"Tapi kalo anak gadisnya ndak mau gimana?"
"Kamu ndak mau to sama aku?"
Aku mengabaikan pertanyaan terakhir dari Nandan, bukannya sok jual tapi aku hanya binggung mau menjawab apa, jujur aku belum pernah dekat dengan anak laki-laki, dan aku juga tidak tau caranya besikap, aku malah menjadi canggung ketika hanya berdua seperti ini dengan anak laki-laki, padahal dulu Nandan adalah kakak kelasku ketika sekolah Dasar, yang ku ingat dulu aku tidak malu-malu begini ketika bertemu dengannya, aku juga selalu menanggapi apapun yang dia ucapkan.
"Mau lanjut kuliah dimana?" Nandan kembali membuka obrolan setelah aku cukup lama berdiam.
"Mungkin di Jakarta"
"Jakarta?"
"Iya"
"Apa ndak kejauhan?"
"Aku memang suka tempat yang jauh"
"Terus bundamu gimana?"
"Ya ndak gimana-gimana, kan masih ada Mahen dirumah"
"Terus aku gimana?"
"Kamu? emangnya kamu kenapa?"
"Ya karna aku ndak pengen jauh dari kamu"
"Terus kita harus deket-deketan kayak gini selamanya? Gitu?"
"Ya kalo kamu mau, kenapa enggak?"
"Dasar ndak jelas"
"Ndak apa-apa ndak jelas, yang penting hubungan kita jelas"
"Hubungan apa"
"Hubungan symbiosis mutualisme"
Di tengah pembicaraan itu Nandan tiba-iba menghentikan laju motornya.
"Lowh kenapa berhenti?"
"Itu sekoahmu kan?"
Rupanya kami sudah berada di halaman sekolahku, Mungkin karna terlalu focus pada obrolan, aku sampai tidak memperhaikan jalanan, sampai tidak menyadari bahwa kami sudah sampai di tujuan, Aku bergegas turun dari motor Nandan, menuju ruang osis, untuk segera memulai rapat supaya bisa cepat pulang. Sebelum pergi aku berpesan pada Nandan memintanya untuk menungguku karna jika ia pulang aku akan kesulitan mencari kendaraan, Ku bilang padanya bahwa kegiatan osis ini tidak akan lama, Rapat biasanya hanya butuh waktu 30 menit sampai 40 menit.
Dan yang terjadi adalah, rapat tak kunjung usai bahkan setelah tiga jam, entah apa maunya ketua OSIS ku ini, bukannya langsung pada topik pembicaraan dia malah curcol soal kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan.
Sumpah jika punya kekuatan super aku pasti akan berteleportasi waktu itu, Kenapa juga aku harus mempertaruhkan hari mingguku yang berharga untuk pertemuan yang tidak berharga ini, Kulihat langit dari kaca jendela, mendung semakin menebal, angin juga berhembus semakin kencang dan hujan akhirnya datang.
"Nandan pasti sudah pergi dan sekarang bagaimana caranya aku akan pulang"
Setengah jam kemudian hujan berhenti, begitu juga ocehan ketua osis yang bahkan tak kutangkap maknanya, Aku bergegas meninggalkan ruang rapat, berjalan lesu sambil memikirkan caranya untuk pulang.
Sesampainya di halaman sekolah, seseorang memanggil namaku, kupikir itu Nandan dan ternyata bukan, Dia adalah Andri teman sekelasku yang juga bagian dari osis, dia membawakan buku catatanku yang tertinggal di ruang osis.
"Ini bukumu ketinggalan"
"Makasih Ndri"
"Ya sudah, sampai ketemu besok"
Bisa-bisanya aku mengira itu Nandan, mana mungkin dia menungguku selama itu, apa lagi hari ini turun hujan, pasti dia sudah pergi sebelum hujan datang. Aku berjalan pelan menuju gerbang berharap-harap cemas bertemu seseorang yang bisa kumintai tumpangan.
"Rindi...,"
Seseorang memanggilku dari kejauhan, kulihat disebrang jalan tepatnya teras gardu kosong seorang anak laki-laki berkaus putih dengan lengan pendek sedang melampaikan tangan ke arahku, satu tangan lainnya bersedekap seperti sedang kedinginan. anak laki-laki itu adalah Nandan.