"Emm, biar Rehan cari Dinda ya, Bu."
Rehan bergegas bangkit untuk menghampiri Dinda yang tak kunjung menyusul dirinya, meskipun sedikit kesal lantaran Dinda yang saat ini menjadi sorotan perhatian karena menghilang, namun itu tidak membuat Rehan menunjukkan kekesalannya.
Saat hendak menemui Dinda di tempat semula, ia melihat Dinda baru saja melangkahkan kakinya menuju tempat yang lebih terang, setelah menangis di ujung lorong tanpa diketahui oleh siapapun.
"Kenapa kamu yang jadi menghilang dan nggak muncul-muncul Dinda! Ibu nyariin kamu!" protes Rehan sedikit kesal.
"Ya."
Dinda menjawab sesingkat mungkin, ia sama sekali tidak menatap wajah Rehan yang saat itu merasa sangat kesal lantaran dirinya tak kunjung menemui orang tuanya, seperti yang diminta Dinda padanya dirinya sendiri.
Sementara Dinda sendiri memilih untuk melangkahkan kakinya dan tak menghiraukan Rehan yang memasang wajah kesal. Dinda kembali menunjukkan kepalsuan wajah dan sikapnya yang pura-pura bahagia saat sudah hampir tiba di hadapan ke dua orang tuanya.
"Nah, itu Dinda," ucap bu Andin melempar senyum bahagia.
"Iya Bu, maaf ya, Dinda agak lama. Tadi Dinda ke toilet belakang karena yang di ruang tamu nggak nyaman," sahut Dinda beralasan.
"Oh, ya udah kalau gitu. Apa kamu ada masalah sama pencernaan kamu?" tanya bu Andin sedikit cemas.
"Nggak kok Bu. O ya, kita makan di luar aja mungkin ya, soalnya kalau mu masak mungkin menunggu terlalu lama," usul Dinda yang saat itu tidak tahu bahwa Rehan sudah mengajak ke dua orang tuanya untuk makan malam di luar.
"Ayuk, tadi juga suami kamu udah ngajak Ibu sama Bapak kok."
Bu Andin nampak melempar senyum saat melihat ekspresi wajah Dinda yang seperti salah tingkah, sementara Rehan hanya melempar senyum saat namanya disebut oleh ibu mertuanya.
"Bener itu Dinda, aku udah ngajak Ibu dan Bapak makan di luar. Sebaiknya kamu ganti baju gih, masa kamu pergi makan malam pakai daster begitu," ucap Rehan dengan sedikit menyentil Dinda soal pakaian yang ia kenakan.
"Ya, aku ganti baju dulu." jawab Dinda singkat, lalu ia bangkit untuk bergegas mengganti pakaiannya.
Ceklek
Dinda membuka pintu kamar dengan lunglai, berjalan menuju lemari pakaian yang berwarna putih di hadapannya, dan mulai memilih pakaian yang sekiranya nyaman untuk ia kenakan.
Sebagai ibu yang sedang menyusui, Dinda tidak bisa mengenakan pakaian sembarangan, lantaran ia pasti akan kesulitan saat Arka meminta asi di luar rumah. Sebab itu Dinda meraih dress sederhana yang memiliki kancing baju di bagian depan. Warna dress itupun sudah sedikit pudar karena memang dress itu sudah sangat lama.
"Nggak papa lah pakai ini aja, yang penting kalau Arka mau minum asi, aku nggak kesulitan." ungkap Dinda merasa sangat nyaman.
Dinda melempar senyum, berjalan menuju meja rias dan mulai memoles tipis-tipis wajahnya dengan make-up, serta menyisir rambutnya dan mengikat satu ke belakang. Setelah merasa sudah siap Dinda pun pergi meninggalkan kamar itu dengan hati yang lebih baik.
Saat melihat Dinda turun dengan penampilan nya yang sangat sederhana membuat Rehan tidak merasa puas saat melihatnya. Rehan mendengus dalam hati lantaran istrinya saat ini sangat tidak bisa diharapkan untuk menjadi cantik.
'Dinda ini apa-apaan si, kenapa coba dia pakai dress jaman dulu. Sengaja apa dia mau perlihatkan orang tuanya kalau aku nggak perduliin penampilannya selama ini!' batin Rehan menatap kesal.
Namun tatapan mata Rehan yang memancar ketidaksukaan seolah tidak dipedulikan oleh Dinda yang tetap berjalan mendekati orang tuanya. Dengan percaya diri Dinda duduk di samping Rehan.
"Mas, ayo kita berangkat, nanti takut keburu malam," ajak Dinda.
"Ya sayang." jawab Rehan dengan panggilan sayangnya.
Dinda merasa mual saat suaminya memanggil dengan sebutan sayang, rasanya panggilan itu sudah biasa ia ucapkan kepada Sekar, namun malam ini ia tuturkan pada Dinda.
Mereka pun pergi ke sebuah restoran yang cukup elit, di mana suasana pemandangan malam itu sangat indah dan cukup ramai, sebuah lampu neon mengitari restoran dengan pantulan cahaya yang syahdu.
"Ayo pesan makannya," ucap Rahan menyodorkan menu makanan yang diberikan oleh salah satu pelayan.
"Oke, aku pilih-pilih dulu." jawab Dinda mengulas senyum.
Dinda sengaja mengajak ke dua orang tuanya untuk memesan makanan yang cukup mahal, tak peduli jika hal itu akan menguras kantong suaminya yang cukup kaya itu.
Dinda menunjuk sebuah menu yang diminta orang tuanya, dan ia sendiri memilih beberapa menu yang ia sodorkan setelah orang tuanya. Dinda tersenyum dalam hati lantaran Rehan akan terkejut karena makanan yang ia pesan memang mahal.
Setelah menunggu beberapa menit, menu makanan pun tiba dan mereka menikmati makanan itu. Kecuali Rehan, Rehan sama sekali tidak merasa nikmat saat menyantap makanan yang ia pesan, lantaran hati dan pikirannya justru tertuju pada Sekar yang masih marah padanya.
'Sekar sekarang lagi apa ya, kok dia nggak ngabarin aku ya setalah aku matikan telpon tadi.' batin Rehan kepikiran.
Melihat Rehan yang justru tidak fokus di meja makan, membuat Dinda menyadari siapa yang saat ini ada di dalam pikiran Rahan. Dinda pun sengaja menyodorkan sendok berisi makanan yang ia pesan, berharap Rehan akan membuka mulutnya.
"Apaan si Din!" protes Rehan yang saat itu menghindar dari suapan Dinda.
"Kamu perlu cobain ini Mas, ini enak banget," ucap Dinda terus memaksa.
"Ah, enggak. Aku nggak suka menu yang kamu pesan!"
Rehan mengernyitkan dahi lantaran Dinda terus memaksa, ia memilih untuk meneguk minum dan bangkit.
"Loh Mas, kamu mau ke mana?" tanya Dinda menghalangi Rehan.
"Aku mau ke toilet sebentar." jawab Rahan singkat.
Bu Andin dan pak Roy masih siaga memperhatikan sikap Rehan dan Dinda yang memang sangat mengganjal, namun mereka pun tak berani untuk bersuara sebelum Rehan menghilang dari pandangannya.
"Ehem."
Suara deheman bu Andin menyadarkan Dinda yang saat itu masih menyantap makanannya, dan saat Dinda menyadari pandangan bu Andin padanya Dinda pun akhirnya menghentikan kunyahan nya dan meneguk minum.
"Kenapa Bu, Ibu tersedak?" tanya Dinda membalas tatapan ibunya.
"Dinda, sebenarnya ada masalah apa kamu sama Rehan, kok sepertinya kalian sedang baik-baik saja? Karena Ibu perhatikan sikap Rehan berbeda sama kamu," ucap bu Andin yang tak mampu menahan pertanyaan di hatinya.
"Bu, jangan langsung melempar pertanyaan seperti itu, nanti takutnya Dinda justru terganggu," sambung pak Roy yang menegur istrinya.
"Tapi Pak...."
Bu Andin menghentikan nada suaranya saat menyadari Rehan yang baru saja kembali dari toilet, ia urungkan niatnya untuk mengorek masalah Dinda. Sementara Dinda sendiri merasa lega lantaran Rehan cepat datang, karena ia tidak perlu menjawab pertanyaan ibunya.
"Mas, kamu udah selesai buang hajatnya? Lanjut makan lagi yuk," ajak Dinda mencoba untuk menutupi pertanyaan bu Andin.
"Udah, aku udah kenyang. Kamu aja yang makan sama Ibu dan Bapak," ucap Rehan.
"Kenapa si Mas, apa kamu masuk angin? Kalau kamu masuk angin kita pulang aja, ya."
Dinda masih berusaha untuk bersikap baik pada Rehan, meskipun Rehan sama sekali tidak bisa bekerja sama dengannya.
Saat sedang merayu Rehan, tiba-tiba pandangan Rehan justru tertuju pada yang lain, yang tiba-tiba wajahnya sumringah. Hal itu membuat Dinda penasaran siapa yang saat ini diperhatikan oleh Rehan.