"Dinda, apa yang kamu pikirkan saat ini, lekas mandikan Arka kalau Arka belum sempat dimandikan, nanti keburu magrib," ucap bu Andin yang buru-buru menyodorkan Arka.
Dinda tersadar dari rasa takutnya hingga membuatnya ikut menyodorkan tangan meraih Arka, "Ya Bu, Dinda mandikan Arka dulu ya." jawab Dinda buru-buru pergi ke kamar mandi.
Bu Andin menggelengkan kepala, ia nampak penasaran dengan sikap Dinda yang sepertinya sangat gugup, rasanya ia benar-benar ingin tahu apa yang disembunyikan oleh anak dan menantunya itu.
Setelah adzan magrib, mereka pun berkumpul di ruang keluarga. Ditemani dengan teh hangat yang disediakan oleh Dinda, saat itu suasana sangat hening lantaran Rehan tak mampu menyembunyikan rasa tidak sukanya dengan kehadiran ke dua mertuanya itu.
Hanya Dinda sendiri lah yang sibuk mengajak bu Andin dan pak Roy mengobrol, sembari sesekali bercanda dengan Arka. Cucu pertama yang begitu beruntung sangat di cintai oleh nenek dan kakeknya tersebut.
Dreet...
Dreet...
Getaran ponsel Rehan yang ia letakkan di atas meja menyadarkan mereka yang saat itu mengarah pada layar ponsel Rehan, nama Sekar terpampang jelas di layar ponsel itu sampai akhirnya Rehan dengan cepat meraih ponselnya dan menutupi dengan ke dua tangannya.
"Bu, Pak, Rehan angkat telepon dulu ya," izin Rahan melempar senyum, ia terlihat mengabaikan Dinda yang ada di sampingnya.
"Silahkan Mantu, kamu angkat saja dulu teleponnya." jawab bu Andin membiarkan Rehan pergi.
Rehan nampak senang saat menerima izin mertuanya, sementara ia masih acuh meninggalkan Dinda tanpa meminta izin dengannya.
Dinda terdiam di tempatnya dengan segudang rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, rasanya sangat sakit namun keadaan memaksanya untuk tetap tersenyum di hadapan ke dua orang tuanya yang saat ini berada di hadapannya.
Namun senyum indah Dinda tak membuat hati seorang ibu percaya bahwa ia sedang baik-baik saja, bu Andin menyenggol lengan pak Roy memintanya untuk memperhatikan raut wajah Dinda yang nampak berbeda dari biasanya.
"Bapak lihat kan wajah Dinda yang sepertinya sedang menutupi sesuatu?" bisik bu Andin yang meminta pak Roy memperhatikan Dinda.
"Iya Bu, tapi sssst... Jangan berisik, kita bisa membuat suasana menjadi tidak enak."
Pak Roy meletakkan telunjuknya tepat di tengah-tengah bibir nya, mencoba meminta bu Andin untuk tidak membahas masalah itu, karena ia tidak mau sampai Dinda mendengarnya.
Sementara di tempat lain Rehan sudah mendapatkan tempat yang tepat untuk dirinya mengangkat telepon dari Sekar, setelah mematikan lampu dan menyingkir jauh dari ruang keluarga.
[Halo sayang, ada apa?] sapa Rehan dari sebrang.
[Mas, kita jalan yuk, ini kan hari minggu. Masa kamu mau di rumah si sama anak dan istri kamu itu!] ajak Sekar merengek di telepon.
[Sayang, aku nggak bisa pergi. Di rumah ada ibu sama bapak,] ucap Rehan berbisik.
[Ibu sama bapak? Mas, bukannya tadi ibu mertua kamu itu udah dateng, kok sekarang dateng lagi] protes Sekar bernada kasar.
[Iya, tapi bapak sama ibu datang lagi malam ini, dan nggak tahu deh kapan pulangnya. Jadi sekarang kamu nggak bisa hubungi aku sering-sering, aku takut nanti ketahuan.]
Rehan berusaha meminta pengertian dengan Sekar melalui telepon, dan hal itu justru membuat Sekar marah karena ia tidak mau Rehan memutuskan hal sepihak tanpa persetujuan dari dirinya.
Rehan menerima kemarahan Sekar dengan tetap diam mendengarkan di ujung lorong rumahnya, sambil sesekali memastikan bahwa tidak ada langkah kaki yang mendekati dirinya.
Sementara Dinda yang merasa Rehan sudah cukup lama meninggalkan ke dua orang tuanya, memutuskan untuk menemui Rehan. Ia tidak ingin membuat ke dua orang tuanya semakin curiga karena ia terlalu lama menerima telepon dari Sekar.
"Bu, aku titip Arka dulu ya, mau ke toilet dulu," ucap Dinda bangkit menyodorkan Arka.
"Oh, iya sayang, sini."
Bu Andin nampak menerima Arka dengan sambutan hangat, ia nampak melupakan sejenak rasa curiga pada Rehan, pak Roy pun dengan bahagia meminta bu Andin menimang Arka.
Di saat seperti itu, Dinda manfaatkan untuk menyelinap pergi dan tidak masuk ke toilet, karena itu hanyalah sebagai alasan bagi Dinda untuk menutupi semua dari orang tuanya.
Dinda semakin mendekati Rehan yang berada di lorong yang gelap, ia mendengar suara Rehan yang merengek meminta pengertian dari Sekar, Dinda pun semakin mendekati lorong itu dan menyalakan lampu.
Seketika itu juga batang hidung Rehan terlihat, ia nampak panik dan menoleh ke belakang. Rehan pun melihat Dinda yang sedang melangkahkan kaki mendekati dirinya, ia nampak terdiam sejenak tak menanggapi ocehan Sekar di telepon.
"Matikan ponsel mu, atau semua akan terbongkar," ucap Dinda sembari memangku ke dua tangannya. Sengaja ia mengatakan hal itu agar Rehan takut.
[Mas, siapa si itu? Dinda, ya?]
Suara Sekar mengejutkan Rehan yang masih belum menurunkan ponselnya, Rehan dengan cepat memencet tombol merah di ponselnya. Dan menatap tajam Dinda yang sepertinya sedang mengancam dirinya.
"Jangan pernah coba-coba untuk membongkar semuanya, Dinda!" ancam Rehan menatap tajam.
"Jangan menyalakan api kalau kamu tidak mau kebagian asapnya, Mas. Kamu udah tahu kan, kalau ibu sama bapak ada di ruang keluarga, tapi kamu justru asik telponan sama pelakor itu," ucap Dinda dengan nada kesalnya.
"Namanya Sekar, Dinda. Bukan pelakor, aku akan marah kalau kamu memanggil Sekar dengan sebutan itu!" omel Rehan menahan suaranya agar tak didengar oleh orang lain.
"Sekarang semuanya tergantung sama kamu Mas, kalau kamu masih telepon-telponan sama Sekar di rumah ini, aku nggak bisa jamin semua kebohongan dan sikap buruk kamu itu akan aman." jelas Dinda melangkah pergi meninggalkan Rehan.
Rehan menelan saliva nya, mungkin saat ini Dinda sangat menutupi keburukan suaminya. Hal itu semata-mata karena ke dua orang tuanya, kini tinggal Sekar yang masih tidak ingin menuruti permintaan Rehan yang masih ingin bertemu dan menelpon Rehan tanpa memikirkan posisi Rehan saat ini.
Karena melihat Rehan masih berdiri di posisinya semula, membuat Dinda berhenti melangkah dan menatap kembali ke arah Rehan.
"Apa kamu akan tetap ada di sana sampai besok pagi, Mas? Ibu sama Bapak itu pasti sudah lapar!"
Suara Dinda menyadarkan Rehan dari lamunannya yang memikirkan Sekar, dengan cepat langkah kaki Rehan menyusul Dinda yang terlihat sangat menyimpan amarah. Rehan pun melangkah lebih dulu meninggalkan Dinda yang justru terpaku di tempat itu.
Tetesan air mata mulai membasahi pipi Dinda, ia tersandar di ujung lorong melihat langkah kaki Rehan yang semakin menghilang.
Sementara Rehan melempar senyum menghampiri bu Andin dan pak Roy yang sedang asik menimang cucu mereka.
"Bu, Pak, kita makan malam di luar yuk, di rumah nggak ada pembantu soalnya. Aku dan Dinda selalu makan di luar kalau malam gini," ucap Rehan mencairkan suasana, ia tidak ingin sampai ada kecurigaan datang pada ke dua mertuanya.
"Wah, kebetulan sekali Mantu, Bapak juga udah mulai lapar nih," sahut pak Roy melempar senyum.
"Tapi di mana Dinda? Kok Dinda belum juga kembali?"
Bu Andin nampak celingukan karena kehadiran Dinda yang saat ini tidak terlihat, setelah kemunculan Rehan. Hal itu membuat Rehan sedikit panik saat bu Andin tersadar akan kehadiran Dinda yang belum juga kunjung tiba.