Setelah kepergian ibu Andin, Dinda kembali merasakan kesepian dalam hidupnya. Suaminya yang kini sudah tak setia padanya dan bi Iyas yang juga sedang cuti membuat keadaan rumahnya semakin terasa sepi dan kosong.
Dengan erat Dinda memeluk tubuh Arka yang ada dalam dekapannya. Bibirnya mengecup pucuk kening Arka hingga membuatnya menggeliat namun beberapa saat terlihat tenang kembali.
Dinda pun meletakkan tubuh mungil Arka ke dalam boks bayi dan Dinda melanjutkan pekerjaan rumah tangganya yang belum selesai.
Dari mencuci piring, menyapu dan mengepel semua dikerjakan oleh Dinda dengan ikhlas meski hatinya selalu terasa nyeri setiap kali Dinda mengingat pengkhianatan Rehan padanya.
Meskipun semua yang sudah dilakukannya dengan ikhlas dan penuh cinta seolah sia-sia.
Aku ngga bisa seperti ini terus, aku harus mulai bangkit dan memikirkan cara agar aku bisa berdiri sendiri. Aku harus mulai memikirkan cara bagaimana agar usahaku dalam mempertahankan rumah tangga ini tidak sia-sia, batin Dinda.
Dengan cepat tangannya menyelesaikan pekerjaannya. Peluhnya yang bercucuran sebesar biji jagung masih belum usai namun kini Dinda sudah membuka laptop miliknya. Laptop yang sudah lama sekali tak tersentuh oleh jari-jari lentiknya.
"Ah rasanya aneh sekali aku melakukan ini karena udah lama banget aku ngga memainkan laptop ku," kata Dinda sembari mengusap lembut punggung laptopnya yang terasa sedikit berdebu.
***
Andin yang pulang dengan sedikit terburu-buru pun akhirnya sampai di rumah. Terlihat dari depan rumah jika rumahnya sudah sepi. Tamu yang tadi datang sepertinya sudah pulang.
Dengan cepat Andin masuk ke dalam rumah dan melihat suaminya yang sedang duduk di ruang tamu sembari menyeruput kopinya yang belum habis.
Gelas bekas suguhan untuk temannya yang datang tadi bahkan belum disingkirkan dari meja tempatnya bercengkrama.
"Loh ibu sudah pulang Bu? Kok cepet banget Mainnya?' tanya Roy. "Padahal Bapak baru saja mau nyusul kesana. Kangen banget soalnya sama Dinda dan Arka," tambahnya lagi.
"Pak ibu mau cerita." Dinda langsung mengambil posisi duduk di sebelah suaminya. Tampak Roy terlihat sedikit penasaran pada berita yang akan disampaikan oleh istrinya itu.
"Cerita apa Bu? Apa tadi ibu di sana mengalami sesuatu?" tanya Roy penasaran.
"Iya Pak, tadi ibu di sana merasa ada sesuatu yang terjadi pada anak kita, Dinda. Sepertinya dia sedang ada masalah dengan Rehan. Ibu melihat ekspresi wajahnya tak seperti biasanya," kata Andin meyakinkan.
"Nggak biasa gimana Bu? Maksud ibu ini apa sih? Mungkin Dinda seperti itu karena dia sedang kelelahan atau apa gitu, kita kan nggak tau jadi jangan langsung berasumsi seperti itu lah. Nggak baik," kata Roy. Roy mencoba menenangkan Andin yang saat itu sepertinya sangat serius.
"Tapi ini rasanya beda Pak. Insting seorang ibu mana mungkin salah sih pak." Andin merasa tak terima saat suaminya tak mempercayainya.
"Ya terus ibu sudah tanya pada Dinda ada apa?" tanya Roy.
"Sudah pak tadi, tapi Dinda nggak mau bilang. Dia malah seperti menghindari pertanyaan ibu gitu. Ibu jadi takut mereka ada masalah besar Pak." Dinda terlihat sedikit risau.
"Ya sudah kalau begitu Bu kenapa kita harus pusing. Kalau Dinda nya saja tidak mau bilang sama ibu berarti itu bukan masalah kita lagi pula yang namanya orang sudah berumah tangga, ada masalah sedikit itu biasa Bu jadi ibu ngga perlu khawatir soal itu Bapak yakin kalau Dinda pasti bisa melewati dan mengatasi masalahnya sendiri."
"Iya sih Bapak bener juga. Nggak seharusnya ibu ini bicara seperti itu. Seharusnya ibu ini mendoakan saja supaya Dinda bisa melewati semuanya jika benar dia sedang ada masalah," kata Dinda berusaha melegakan pikirannya.
"Iya benar Bu. Kalau rumah tangga Dinda mulus-mulus saja tidak ada masalah, bagaimana Dinda bisa dewasa. Iya kan?" Tanya Roy lagi.
"Iya sih Pak. Oh iya pak tadi kata Dinda, bi Iyas sedang cuti jadi dia sendirian jagain Arka dan mengurus pekerjaan rumah tangga. Gimana kalau kita Carikan saja baby sitter untuk membantu pekerjaan Dinda, Pak. Ibu ngga tega liat Dinda kecapekan," usul Dinda lagi
Roy tampak terdiam mendengar usul dari isterinya. Dirinya mungkin tak pernah mengerjakan pekerjaan rumah sekaligus menjaga anak tapi membayangkannya saja sudah membuatnya tak sanggup.
"Emmm Bapak sih setuju saja Bu. Yah itung-itung biar Dinda bisa fokus juga kan mengurus suaminya,"
"Tapi kalau bisa Ibu coba diskusikan dulu hal itu dengan Dinda siapa tau Dinda nggak mau kalau ada baby sitter atau dia ngga mau anaknya diasuh oleh orang lain,"
"Ah nggak mungkin Dinda seperti itu Pak. Buktinya Dinda saja percaya pada bi Iyas, kan. Tapi iya oke deh Pak nanti biar ibu diskusikan dulu sama Dinda," kata Dinda.
"Tunggu! Memangnya ibu punya uang mau nyari baby sitter segala buat bantu Dinda?" Tanyanya.
"Emmm i-itu sebenarnya ibu enggak punya uang sih Pak. Yah nanti kita bilang lah sama Dinda biar dia yang bayar sendiri terus juga kok tumben banget yah Pak, dari bulan kemarin Dinda belum kirim kita uang," kata Dinda lagi.
"Iya yah Bu, tumben. Apa mungkin karena sekarang dia sibuk jadi dia lupa. Ya sudah kalau gitu nanti Ibu diskusikan hal itu dengan Dinda yah sekalian minta uang juga sama dia."
"Iya Pak," jawab Dinda singkat.
***
"Mas, kamu kenapa sih Mas kok mukanya ditekuk gitu? Kamu lagi ada masalah yah sama istri kamu itu?" Tanya Sekar sembari meraba dada bidang Rehan dan langsung duduk di pangkuan Rehan yang tengah duduk di kursi kerjanya.
"Hhhh iya nih. Aku lagi sebel banget sama si Dinda itu," sahut Rehan dengan wajah yang masih kesal.
'Hmmm kayaknya ini kesempatan bagus nih buat bikin mas Rehan jadi tambah benci sama Dinda. Aku bisa panas-panasin mas Rehan. Aku harus manfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin.' batin Sekar tersenyum licik.
"Hmm aku sih udah menduga Mas kalau si Dinda itu pasti yang bikin wajah kamu kusut gini. Memangnya ada apa sih Mas? Apa yang dilakukan si Dinda sampai bikin kamu kesel gini?" Tanya Sekar yang telah duduk dipangkuan Rehan. Tampak Rehan yang sama sekali tidak risih dengan perlakuan manja Sekar padanya.
"Iya tadi ibunya si Dinda datang ke rumah mana lama banget lagi bikin aku bete aja. Di tambah lagi aku harus menemuinya dan bersikap pura-pura baik padanya. Heh, itu menjijikkan sekali! Untuk melihat muka mereka aja aku males eh malah tadi aku harus bersikap so ramah pada mereka," kata Rehan mendengus kasar.
"Lagian Mas kamu kenapa sih nggak ceraikan aja si Dinda daripada bikin kamu repot. Mana ngurusin dia mana ngurusin keluarganya yang miskin. Bikin ribet aja tau nggak," kata Sekar emosi.
"Nggak bisa semudah itu Sekar. Harus berapa kali sih aku bilang kalau aku tuh nggak bisa ceraikan Dinda gitu aja. Aku nggak mau kehilangan semua harta yang aku miliki hanya karena aku menceraikan dia," kata Rehan.
'Hmmm iya sih bener juga. Kalau Mas Rehan ceraikan si Dinda bisa-bisa nanti mas Rehan kehilangan segalanya dan dia jadi miskin juga terus aku ngga bakal dapat apa-apa lagi dari dia. Aku nggak mau kalau aku nggak dapat apa-apa.' batin Sekar yang akhirnya memutar kembali otaknya.
"Emmm ya udah kalau gitu gimana kalau aku hibur kamu," kata Sekar merayu.
"Caranya gimana?" Tanya Rehan menaikkan sebelah alisnya.
Tanpa menjawab pertanyaan dari Rehan, Sekar langsung mencumbu Rehan yang ada di hadapannya. Rehan yang menyukai itu tak mengelak sama sekali bahkan Rehan justru menikmati setiap sentuhan Sekar.
"Emmmh Sekar... Hentikan!" Pinta Rehan yang mendorong tubuh Sekar menjauh dari dada bidangnya.
Namun hal itu tak membuat Sekar pergi, Sekar justru semakin menaikkan dres mininya agar semakin terlihat dan menggoda.