Chereads / Ambang Senja / Chapter 26 - Menuntut Keadilan

Chapter 26 - Menuntut Keadilan

Medan, Agustus, 1946

Persidangan dimulai. Syam dan beberapa tokoh kelompok revolusioner hadir sebagai tersangka. Ternyata mereka menunjuk Amin menjadi ketua tim pembela, teman Irwansyah yang pernah tinggal sekamar saat berada di Belanda. Irwanysah hadir sebagai jaksa penuntut umum. Saat ini Irwanysah dan Amin sedang bertarung di persidangan.

Usai pembacaan surat dakwaan, Amin menyatakan eksepsinya. Kemudian hakim meminta Irwansyah menanggapi nota keberatan tersebut.

"Yang Mulia. Dalam rapat Komite Nasional Indonesia 3 februari tahun 1946, kalangan bangsawan telah menyatakan dukungannya pada pemerintah Republik Indonesia. Gubernur Sumatera juga mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia mengakui secara resmi pemerintahan sultan-sultan dan raja-raja di Sumatera Timur. Namun, sekelompok orang yang menamai kelompoknya dengan sebutan kelompok revolusioner bergerak sendiri melanggar hasil keputusan bersama tersebut, yang padahal merupakan wujud nyata itikad baik dari pemerintah pusat untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Kelompok revolusioner tersebut merencanakan penghapusan kesultanan-kesultanan dan kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur dengan cara menyebar propaganda, yaitu membuat jarak antar kelas sosial dengan sebutan dan hasutan, kaum proletar melawan kaum feodal. Kemudian memberi stigma negatif kepada kaum bangsawan, selanjutnya kelompok revolusioner merencanakan serangan serentak kepada kaum bangsawan dengan mengerahkan massa yang telah termakan aksi propaganda, sehingga mulai sejak tanggal 3 maret tahun 1946 terjadilah pembunuhan, penyulikan, penyiksaan, pemerkosaan, penjarahan dan pembakaran kepada kaum bangsawan dan harta benda mereka. Aksi biadab ini kita kenal dengan nama Revolusi Sosial."

Amin berdiri. "Keberatan, Yang Mulia! Revolusi memang sering menimbulkan korban, tetapi jangan lantas menggiring opini bahwa aksi perjuangan rakyat untuk memperbaiki nasib ini sebagai aksi biadab. Di Eropa kita mengenal Revolusi Perancis. Revolusi telah membuat Perancis menjadi salah satu negara besar."

"Silakan dijawab, saudara Jaksa," perintah Hakim pada Irwansyah.

"Terimakasih, Yang Mulia. Saudara pembela baru saja berusaha menyamakannya aksi biadab kelompok revolusioner di sini dengan Revolusi Perancis. Saya tentu harus menjelaskan bahwa Revolusi Perancis adalah sebuah gerakan kelompok sayap kiri yang ingin menghapus sistem feodal di sana. Di Perancis memang telah terjadi eksploitasi dan kesewenang-wenangan oleh kaum feodal dan pemuka agama pada kaum proletar. Perekenomian hancur dan sistem pajak sangat regresif sehingga masyarakat kelas bawah dikenakan pajak yang lebih besar. Kemudian terjadilah aksi yang juga menumpahkan darah. Banyak korban yang jatuh, bahkan Gubernur Marquis Bernard de Launay dipukuli, ditusuk dan dipenggal, lalu kepalanya diletakkan di ujung tombak dan diarak ke sekeliling kota. Hasil dari Revolusi Perancis adalah terhapusnya sistem feodalisme dan munculnya ide pemerintahan berbentuk republik dengan yang menjunjung demokrasi yang diadopsi oleh banyak negara, tetapi jangan lupa, Perancis sendiri malah tidak memakainya saat itu. Tidak lama setelah Revolusi Perancis, Napoleon Bonaparte yang mengusung revolusi malah menjadi kaisar Perancis. Artinya aksi tersebut hanya alasan untuk menghapus feodal lama dengan feodal baru yang juga otoriter. Kita kembali ke persoalan kita. Jelas sekali bahwa kelompok revolusioner salah mengambil referensi atas aksi mereka dan salah alamat pula, karena kerajaan di Sumatera Timur tidak melakukan eksploitasi dan kesewenang-wenangan. Tadi, saudara pembela mengatakan 'Revolusi memang sering menimbulkan korban, tetapi jangan lantas menggiring opini bahwa aksi perjuangan rakyat untuk memperbaiki nasib ini sebagai aksi biadab'. Saya harus perbaiki kalimat saudara pembela tadi agar lebih jelas. 'Revolusi Tak Beradab 3 Maret' jelas menimbulkan sangat banyak korban, aksi sekelompok orang komunis untuk kepentingan kelompoknya sendiri ini sangat berpotensi menggiring opini internasional bahwa kita bukan bangsa beradab jika keadilan tidak dapat ditegakkan!"

Para pengunjung persidangan bertepuk tangan.

Hakim mengetuk palunya berkali-kali. "Saya minta semua hadirin menghormati persidangan!"

Suasana kembali tenang.

Amin kembali berdiri. "Izinkan saya bicara, Yang Mulia!"

"Silakan saudara pembela," ujar hakim.

"Saudara Jaksa terus menuduh tanpa dasar! Kaum feodal Sumatera Timur jelas telah melakukan eksploitasi dan kesewenang-wenangan pada rakyatnya. Mereka adalah antek-antek kaki tangan Belanda yang telah merampas tanah rakyat dan memperbudak rakyat demi kesenangan penjajah!" ujar Amin.

"Silahkan jawab, saudara Jaksa," perintah Hakim pada Irwansyah.

"Terimakasih, Yang Mulia. Baik, saya akan jawab tuduhan dangkal itu. Apakah betul para kesultanan dan kerajaan di Sumatera Timur telah merampas tanah rakyat dan memperbudak rakyat? Saat sebuah negeri dijajah, maka penguasa yang terjajah dan rakyatnya harus tunduk pada hukum yang dibuat penjajah. Saat nusantara menjadi jajahan Belanda, setiap tanah di wilayah jajahan terikat oleh Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria 1870. Engelbertus de Waal, membuat undang-undang tersebut untuk melindungi hak pemilik tanah atau pribumi agar tidak kehilangan hak atas tanahnya. Sejak saat itu munculah aturan bahwa kepemilikan tanah harus dibuktikan dengan surat yang dikeluarkan pemerintah. Ini berlaku bagi siapapun, baik individu maupun perusahaan swasta, baik rakyat kecil maupun sultan atau raja hingga orang-orang non pribumi termasuk orang Belanda, semuanya tidak lagi boleh sembarang mematok atau mengakui kepemilikan tanah. Jika memang ada orang yang merasa tanahnya dirampas, mereka tentu harus menunjukkan surat kepemilikan. Seandainya pemerintah Belanda tidak adil, maka dia bisa mencari keadilan sekarang. Apakah saudara pembela sudah mengumpulkan bukti-bukti surat kepemilikan tanah itu untuk membuktikan tuduhan saudara?"

"Itu pasti sulit untuk dilakukan. Pasti banyak rakyat yang pada saat itu belum tahu soal cara mengurus surat kepemilikan," jawab Amin.

"Lalu bila pada saat ini semua orang mengakui tanah milik orang atau negara tanpa surat, bagaimana caranya pengadilan memutuskan?" tanya Irwansyah.

Amin diam.

"Bila itu terjadi besok. Saya harap saudara pembela tidak menuduh negara kita telah merampas tanah rakyat. Baiklah saya lanjutkan soal kepemilikan tanah. Undang-undang Agraria 1870 juga membagi jenis kepemilikan tanah menjadi tanah milik pribumi dan milik pemerintah. Hubungan pemerintah Belanda dengan kesultanan di Sumatera Timur tidak sama dengan pada umumnya di wilayah jajahan lain. Di sini justru Belanda tidak menjalankan Domein Verklaring. Tanah-tanah di wilayah kesultanan Melayu, tidak otomatis menjadi milik pemerintah Belanda. Untuk mengolahnya pemerintah Belanda harus membuat perjanjian kerjasama usaha dan bagi hasil. Itu dikenal dengan istilah 'Konsesi'. Di Sumatera Timur, boleh dibilang pemerintah Belanda masih menghormati kedaulatan para Raja dan Sultan, sehingga dampak penjajahan pada rakyatnya juga berbeda. Rakyat ... "

Amin memotong. "Konsesi itulah penyebabnya! Itu yang membuat para Sultan kaya raya, mereka menjadikan rakyatnya sebagai budak sapi perah ekonomi para ... !".

Hakim mengetuk palunya. Saya minta saudara pembela bicara setelah saya izinkan!" ujar Hakim pada Amin.

"Maaf, Yang Mulia," ujar Amin.

"Lanjutkan, saudara Jaksa," perintah Hakim pada Irwansyah.

"Terimakasih, Yang Mulia. Saya lanjutkan. Konsesi menyebabkan dampak penjajahan pada rakyat juga berbeda. Dengan dibukanya banyak perkebunan besar di Sumatera Timur, tempat ini menjadi harapan baru bagi para buruh. Perekonomian terus meningkat, kota-kotanya pun berhias. Sumatera Timur semakin memikat orang-orang dari luar berdatangan. Mulai dari daerah tetangga terdekat, hingga jauh dari Pulau Jawa, bahkan hingga Pulau Penang yang sekarang telah menjadi negara tetangga. Siapa yang datang ke sini karena dipaksa oleh kesultanan? Para buruh datang karena sulitnya lapangan pekerjaan di daerah asal. Jangan samakan menjadi buruh di sini dengan Romusha atau Kerja Rodi yang terjadi di wilayah lain. Kesultanan memberikan gaji dan tempat tinggal yang layak huni. Oleh sebab itu, kita patut mengutuk .. "

"Keberatan!"

"Kita patut mengutuk dan menuntut para dalang peristiwa kejahatan luar biasa di bulan maret yang terencana dan sistematis!" tegas Irwansyah

"Keberatan, Yang Mulia!" teriak Amin.

"Silahkan, saudara pembela," ujar Hakim.

"Maaf, Yang Mulia. Penuturan saudara jaksa tidak membuktikan bahwa kesultanan tidak bersikap sewenang-wenang pada rakyatnya. Peristiwa Revolusi Sosial adalah bukti adanya bom waktu akibat penderitaan rakyat yang sudah mencapai titik ledak," ujar Amin.

"Silahkan tanggapi, saudara Jaksa," pinta Hakim.

"Terima kasih, Yang Mulia. Saya sudah jelaskan dengan sangat panjang. Sekarang saya yang bertanya pada pembela, apa saja tindakan kesewenang-wenangan yang pernah dilakukan kesultanan pada rakyatnya sehingga mereka layak dibunuh, diculik, disiksa, perempuannya diperkosa, lalu istana dan tempat tinggalnya dibakar, hartanya pun dijarah. Silahkan sebutkan!" tantang Irwansyah.

"Saya keberatan menjawabnya," jawab Amin.

"Silakan jawab pertanyaan saudara jaksa, agar tuduhan saudara pembela juga punya dasar argumentasi yang kuat," perintah hakim.

Amin terdiam.

"Saudara pembela," panggil hakim.

"Maaf, nanti akan kami cari," ujar Amin.

Para pengunjung riuh menyoraki ejekan pada Amin.

Hakim mengetuk palunya berkali-kali dengan keras. "Jika hadirin tidak bisa menghormati persidangan, maka sidang saya hentikan!"

Suasana kembali tenang.

"Maaf, Yang Mulia. Karena saudara pembela tidak punya jawaban. Maka izinkan saya akan menjelaskan, kenapa rakyat Melayu mencintai kesultanan," ujar Irwansyah.

"Keberatan!" ujar Amin.

"Keberatan ditolak, silakan saudara Jaksa menyelesaikan kalimatnya," ujar Hakim.

"Terimakasih, Yang Mulia. Sebelum kedatangan kelompok revolusioner, seluruh rakyat Melayu, baik penduduk asli maupun pendatang hidup damai berdampingan dengan bangsawan. Mereka mencintai kesultanan. Saya ambil contoh 2 kesultanan yang paling kaya, yaitu kesultanan Langkat dan Deli, karena tadi kekayaanlah yang dijadikan tolak ukur kesewenang-wenangan oleh saudara pembela. Dengan kekayaan yang diperoleh, kedua kesultanan membangun masjid-masjid megah untuk rakyatnya yang memang mayoritas muslim. Saking megahnya, rakyat Deli bangga dengan Masjid Al Mashun. Rakyat Langkat bangga dengan Masjid Azizi. Masjid adalah simbol milik bersama dan kesetaraan sosial dimana semua orang duduk di bawah saat ulama bicara dan semua orang berada di belakang saat imam memimpin sholat. Kemudian kesultanan Deli juga membuat rumah sakit Tembakau Deli atau Hospitaal Deli Maatschappaij untuk para buruh perkebunan. Para buruh yang bekerja di perkebunan kesultanan Langkat dan Deli boleh tinggal di rumah masing-masing dan bisa menyatakan berhenti dari pekerjaan, tidak bisa disamakan seperti Romusha atau Kerja Rodi yang patut disetarakan dengan perbudakan. Kedua kesultanan juga sangat peduli dengan masalah pendidikan untuk rakyatnya. Kesultanan Deli memberikan beasiswa untuk anak-anak muda berprestasi yang ingin melanjutkan sekolah ke negeri Belanda, tidak hanya untuk anak-anak bangsawan. Kesultanan Langkat juga membuat sekolah berstandar modern untuk rakyatnya, sekali lagi, tidak hanya untuk anak-anak bangsawan, yaitu Madrasah Jam'iyah Mahmudiyah. Jika semua yang telah dilakukan Sultan disebut tindakan kesewenang-wenangan. Tolong saudara pembela pilihkan istilah yang lebih tepat untuk mengganti istilah revolusi sosial atas aksi biadab yang telah kaum revolusioner lakukan"

"Keberatan! Saya tidak harus menjawab itu, Yang Mulia," ujar Amin.

"Keberatan diterima. Lanjutkan saudara jaksa," perintah hakim.

"Revolusi adalah perubahan secara cepat untuk menjadi lebih baik. Jika sistem kekuasaan feodal dianggap usang dan tidak lagi membawa kebaikan, silakan perjuangkan sistem lain yang lebih baik, tapi harus dengan cara yang beradab! Kenyataannya, cara perjuangan yang dilakukan kelompok revolusioner tidak hanya mengorbankan nyawa dan harta para bangsawan. Toko-toko milik pedagang juga dijarah dan dibakar ... "

"Keberatan, Yang Mulia!"

"Anda ingin saya paparkan bukti?" tanya Irwansyah.

"Tidak perlu, hanya saja ... "

"Keberatan ditolak! Lanjutkan saudara jaksa," perintah hakim.

"Nanti saya akan berikan bukti-bukti kejahatan kelompok revolusioner pada orang-orang yang bukan bangsawan di persidangan ini. Ada satu lagi pertanyaan yang sebaiknya saudara pembela berkenan menjawab, agar rakyat bisa membalas budi. Apa yang sudah dilakukan para kaum revolusioner untuk rakyat Sumatera Timur selain menumpahkan darah?" tanya Irwansyah.

Amin diam.

"Yang Mulia. Mata dunia sedang memandangi kita. Apakah negeri yang baru saja terlepas dari belenggu penjajahan ini merestui pembantaian massal pada rakyatnya sendiri atau bersungguh-sungguh menunjukkan ketegasan dalam melindungi rakyatnya dan menegakkan keadilan. Untuk itu kami menuntut para dalang peristiwa kejahatan luar biasa di bulan maret yang terencana dan sistematis untuk dihukum seberat-beratnya! Saya sudah selesai, terima kasih, Yang Mulia."

Para pengunjung kembali bertepuk tangan sehingga hakim kembali mengetuk palu untuk menenangkan pengunjung. Irwansyah melirik Amin yang tersenyum padanya sambil menggeleng-geleng, lalu menatap Syam yang terlihat ketakutan.

*****

Jakarta, 1946

Di Jakarta Tengku Sani tinggal bersama keluarganya di daerah pinggiran. Sebagai pengusaha handal, ia telah memiliki pabrik tekstil dan menyerahkan pengelolaannya pada istrinya, karena ingin mencari keberadaan Irwansyah.

Tengku Sani telah mengetahui kabar tentang revolusi sosial, tetapi ia tidak tahu bahwa Irwansyah sudah berada di Medan untuk berjuang melalui jalur hukum, karena tidak ada koran di Jakarta yang menulis tentang perjuangan Irwansyah.

Tengku Sani sangat marah, ia ingin membalas dendam pada kelompok Syam yang telah membantai para bangsawan Melayu, tetapi ia tidak mungkin meninggalkan anak dan istrinya di Jakarta atau membawanya ke tempat pusat konflik. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah bersumpah akan membunuh Syam jika suatu saat bertemu.

*****

Apartemen Syam, Kuala Lumpur, 1990

"Para pelaku utama aksi revolusi sosial akhirnya diputuskan bersalah oleh hakim dan masuk penjara. Walau berhasil menghukum Syam dan kelompoknya, tetapi vonis hukumannya tidak sebanding dengan kejahatan yang telah mereka lakukan. Syam hanya mendapat hukuman vonis 2 tahun penjara, bahkan menurut cerita teman-temanku, ia keluar lebih cepat dari yang seharusnya dan pindah ke Jakarta." ujar Atuk Irwansyah.

"Wah, itu memang tidak adil," sahut Fania.

"Sejak awal sebenarnya aku sudah bisa menduga hasilnya, tetapi dalam kondisi baru saja ada upaya pemusnahan suatu kaum, setidaknya harus ada orang yang mau menunjukkan bahwa Melayu itu masih ada, sebagaimana pepatah Hang Tuah, 'Tak kan melayu hilang dibumi, bumi bertuah negeri beradat'. Hanya itu tujuanku, aku berjuang semampunya, soal hasil aku hanya bisa bertawakal," ujar Atuk Irwansyah.

"Berarti Atuk tidak mengajukan naik banding?" tanya Rizal.

"Ya, aku merasa tidak perlu mengajukan banding, karena hasilnya akan sama saja. Nuansa politik di belakangnya sangat kental, saat itu banyak orang-orang kiri yang sedang menempati posisi penting di pemerintahan. Sempat terpikir untuk membawa kasus ini ke dunia internasional, tapi aku sadar resikonya, orang-orang kiri akan memberi stigma kepadaku sebagai penjual kasus. Jika itu terjadi, kali ini aku yakin namaku pasti akan ditulis sejarah, tetapi sebagai pengkhianat bangsa, pro Belanda, macam-macamlah. Aku sangat mencintai negeriku, tak mau menjadi musuh negeriku dan seumur hidup berada di negeri asing."

"Memang serba salah. Lalu, apakah Atuk kembali menggunakan posisi sebagai jaksa untuk hal-hal perjuangan lain?" tanya Rizal.

"Fania juga baru tahu kalo Atuk pernah menjadi Jaksa," ujar Fania.

Atuk Irwansyah tertawa. "Itu adalah pengalamanku yang pertama sekaligus terakhir menjadi jaksa. Aku juga memutuskan pensiun menjadi pejuang. Bukannya tidak peduli lagi pada negeri, tapi aku sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya menempatkan diri menghadapi orang-orang kiri. Aku tidak mau berhadapan dengan musuh yang dulunya pernah ikut berjuang bersama yang lain merebut kemerdekaan Indonesia, tetapi aku juga tidak mungkin diam melihat mereka terus menggerogoti bangsanya sendiri. Dugaanku nantinya terbukti, setelah aksi tahun 1946, mereka kembali mengkhianati negeri membantai orang-orang yang tidak seideologi di tahun 1948 dan 1965. Karena tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuk negeri, aku menerima tawaran Edward menjadi dosen hukum di Inggris, hingga kemudian akhirnya aku diminta Shell bekerja untuknya."

"Sekarang saya paham kenapa waktu itu Atuk bilang, masa lalu Atuk bersentuhan dengan sejarah, tapi sayangnya sejarah kelam, yang bahkan para penulis sejarah sepertinya merasa lebih baik kisah itu terkubur oleh zaman. Ternyata memang sangat kelam," komentar Rizal.

"Tapi kau jangan lupa, saat itu umur negeri kita baru setahun, masih sangat muda dan sedang mencari bentuk. Lihatlah kondisi sekarang, kalian sudah menikmati hasil dari kemerdekaan. Lalu, apakah sekarang kau sudah setuju, bahwa lebih baik kisah itu terkubur oleh zaman?" tanya Atuk Irwansyah.

"Justru semakin menguatkan pendapat saya. Walaupun kelam, bila itu memang kenyataan, bukankah dapat menjadi pelajaran agar tidak lagi terulang. Sejarah seharusnya bisa menjadi seperti cermin untuk menyadari kekurangan dan kelebihan diri, bukan seperti lukisan yang bisa kita ubah hingga tampak lebih bagus dari aslinya. Seperti yang pernah saya bilang, Tuk, malu rasanya jika orang lain di luar kita ternyata lebih tahu tentang diri kita," jawab Rizal.

*****