Chereads / Unlucky Romance Unfortunately Meeting / Chapter 9 - Mimpi Malam Yang Mengerikan

Chapter 9 - Mimpi Malam Yang Mengerikan

Di antara dingin dan gelapnya malam, bibir Acacia bergetar pilu karena menangis. Tubuhnya menengang kala melihat Kenzo sedang menyeringai sambil menatapnya dengan pandangan penuh nafsu.

Bersanggah kacau mengalir begitu saja, Kenzo perlahan merangkak ke atas ranjang untuk mengikis jaraknya dengan Acacia. Bibir perempuan itu berguncang hebat saat Kenzo menyentuh ujung kakinya, ia berteriak meminta tolong pada sunyinya malam.

Sebagaimana Kenzo mencondongkan tubuhnya ke arah kekasihnya, Acacia memalingkan wajah ke arah lain dengan tangan terangkat ke depan untuk melindungi dirinya.

"Tolong ... jangan lakuin itu, Ken."

Kedua tangan Acacia meluruh dengan gontai kembali ke samping tubuhnya saat Kenzo memegangnya, kini ia bisa melihat rupa ayu Acacia yang sedang meneteskan air mata. Tak ingin membuang-buang waktu lagi, Kenzo segera mendekatkan bibirnya pada milik Acacia.

Namun, perempuan itu meludahinya sebelum Kenzo berhasil melakukan aksinya.

"Bajingan!" teriaknya karena sudah muak, Acacia lalu mencekik leher Kenzo.

Matanya menatap tajam Kenzo seiring dengan amarahnya yang meluap, kemudian ia mengencangkan cekikannya tanpa ampun. Kenzo yang tak tinggal diam, segera menarik rambut Acacia dengan kencang hingga pergerakan Acacia terhenti.

Kenzo lalu mendorong Acacia hingga perempuan itu terjatuh dari atas ranjang. "Mau mati kamu, ha?!" teriak Kenzo sambil melempar Acacia dengan satu bantal.

Perasaannya begitu kacau dan kecewa karena bibir kekasihnya yang biasa melontarkan kata cinta, kini hanya ucapan kasar dan paksaan yang terdengar begitu tegas.

Tutur kata yang menyakitkan membuat Acacia terdiam. Bulir air mata masih saja menetes, memberi denyut yang kian menuntun tubuhnya terkulai lemas di atas ubin yang begitu dingin.

Dengan gerakan lemah, Kenzo perlahan turun dari ranjang. Air mata Acacia masih meluruh ketika melihat Kenzo yang saat ini berdiri di hadapannya.

Layaknya seuntai akar tebal datang dan melilit mencekik rongga dadanya dengan erat, Acacia tetap memaksa untuk berkata, "Tolong lepasin aku, Ken! Aku mau pergi dari sini! Jangan nodai tubuhku, aku mohon!"

Acacia berteriak sampai tenggorokannya terasa sakit menyerukan betapa hancur perasaannya saat ini. Tanpa memedulikan harga dirinya, Acacia kini bersimpuh hendak memohon kepada Kenzo.

"Kamu mau pergi dari aku? Jangan harap!" seru Kenzo sambil melayangkan tangan kanannya untuk menampar Acacia.

PLAK!

"Huh!" Acacia mengelus dadanya dan mencoba bernapas dengan tenang. "Ternyata cuma mimpi ...."

Acacia terbangun dengan keringat yang membasahi pelipisnya. Perempuan itu kini mencoba mengatur deru napasnya yang memburu, tak lupa mengubah posisinya menjadi duduk tegap.

Tubuhnya beringsut mundur sampai punggungnya menyentuh ujung sandaran ranjang. Acacia menekuk kakinya sambil memeluk lututnya sendiri dengan erat.

Ia baru saja mengalami mimpi buruk yang mengerikan.

"Jangan takut, Aca, ini semua hanya mimpi. Iya, cuma mimpi." Acacia mengusap wajahnya gusar dengan sebelah tangan, berusaha menyadarkan diri bahwa ini semua tidaklah nyata.

Matanya pun memindai ke sekitar kamar dengan gelisah. Mendapati cutter di atas nakasnya, tubuh Acacia bergerak untuk mengambilnya. Ia menatap nanar benda tersebut, pikirannya mulai kalut saat ini.

"Kenapa hidupku seperti ini? Kenapa hidupku berantakan seperti ini, Tuhan!" jerit Acacia sambil mendekatkan cutter pada pergelangan tangannya. "Aku muak dan ingin keluar dari belenggu ini ... apakah aku harus mati saja?" lirihnya.

Jemarinya bergerak sedikit demi sedikit menggores tangannya. Tanpa memedulikan rasa sakit yang setelahnya menjalar, Acacia kemudian memejamkan mata.

"Shh!" ringisnya diselimuti aliran darah yang sedikit mengucur dari sumber pedih di sekitar sayatan tadi.

Kala itu ... Acacia menyadari bahwa semuanya telah kacau, lebur seketika dalam satu kedipan mata.

***

Di depan cermin, Acacia menghapus kasar air mata yang meluruh membasahi pipinya. Ia menatap nanar dirinya sendiri yang terlihat lesu, padahal tadi sudah mandi dan sedikit memoles wajahnya.

Setelah terbangun dari mimpi buruknya, Acacia sama sekali tidak tidur hingga pagi ini. Kini, saatnya ia masuk kuliah. Sebenarnya Acacia berniat tidak berangkat terlebih dahulu untuk menenangkan diri, akan tetapi ia ingat bahwa kemarin sudah tidak mengikuti matkul Bu Rahma.

"Enggak mungkin aku ijin sakit lagi, mau gimana pun aku harus berangkat, 'kan?" gumam Acacia lirih.

Menghembuskan napasnya pelan, Acacia lalu memakai tasnya dan beranjak dari kamar menuju ke luar ruangan. Ia berniat untuk berangkat kuliah sekarang, walaupun masih ada waktu setengah jam sebelum dimulainya pelajaran.

Saat membuka pintu kamar, Acacia sudah dikejutkan oleh kedatangan Bisma dan Karina, mereka juga sama terkesiapnya melihat Acacia sudah siap untuk berangkat kuliah. Acacia tersenyum manis, tanpa aba-aba ia lalu memeluk kedua sahabatnya.

"Makasih, kalian seperduli ini sama aku."

Karina mengelus rambut belakang Acacia dengan lembut. "Don't be afraid, Ca. Kamu harus ingat, kita selalu ada untuk mendukung kamu."

Bisma mengangguk sambil membalas pelukan Acacia dengan sebelah tangannya. "Kalau Kenzo macam-macam lagi .. kasih tau aku, ya, Ca."

Acacia melepas pelukan sambil menghela napas panjang, ia lalu mengangguk-anggukan kepalanya. "Oke! Aku udah siap berangkat sekarang. Ayo!"

Acacia merangkul kedua sahabatnya dan mengajak mereka melangkah perlahan menuju ke fakultasnya. Di perjalanan, mereka bertiga mengobrol banyak hal. Tentang mata kuliah kemarin yang begitu sulit karena Acacia tidak masuk, bahkan membahas hal yang menyerempet ke masa lalu.

"Kenapa kalian baik banget sama aku?"

Pertanyaan tiba-tiba dari Acacia membuat Karina mengerutkan kening. "Emang harus ada alasan baik ke sahabat sendiri? Enggak, 'kan?"

Bisma mengangguk setuju. "Betul! Lagian ... kamu itu udah baik banget ke kita berdua, Ca. Kamu lupa? Kalau kamu yang donorin darah waktu aku sama Karina kecelakaan dulu?"

Acacia seketika terkekeh mengingat masa-masa itu. "Lucu banget, ya? Golongan darah kita bertiga aja sampe sama."

"Sebenarnya bukan cuma karena itu, Ca. Aku peduli sama kamu, karena kamu yang selalu dengerin keluhan kalo aku cerita tentang keluarga. Kamu itu ... ada di saat-saat aku terpuruk," ucap Karina sambil menyandarkan kepalanya pada pundak Acacia dan memeluk tangan kanan sahabatnya itu.

"Kamu juga udah ngasih banyak contekan tugas ke aku. Jadi sayang sama Aca, deh!" seru Bisma lalu mengikuti Karina yang menyandarkan kepalanya di salah satu pundak Acacia dan memeluk tangan Acacia yang menganggur.

Mereka bertiga kini berjalan dengan posisi seperti itu sambil tertawa.

Acacia tersenyum manis, hatinya menghangat mendapatkan perlakuan baik dari kedua sahabatnya. Entah harus berapa kali Acacia mengucap rasa syukur, karena Tuhan mempertemukannya dengan Bisma dan juga Karina. Dua manusia paling baik dalam dunia milik Acacia.

Saat hampir sampai ke kelas, Acacia berhenti melangkah membuat kedua sahabatnya pun melakukan hal yang sama. Baik Karina maupun Bisma melepas pelukan pada tangan Acacia dan menatap heran perempuan itu.

"Kenapa, Ca? Kok kamu berhenti?" tanya Karina.

"Aku mau ke toilet, soalnya kebelet pipis. Kalian berdua duluan aja."

Bisma menggeleng dengan tegas. "No! Kita tungguin aja di sini!"

Acacia berdecak kesal. "CK! Aku bukan anak kecil, Bim! Kamu tenang aja, lagian di sini banyak CCTV dan mahasiswa yang berlalu-lalang. Aku yakin, aku bakal aman."

Bisma menghembuskan napas dengan berat kemudian mengangguk lemah. "Oke ... hati-hati, ya."

"Siap!"

Mendengar itu, dengan langkah yang terpaksa Karina dan Bisma meninggalkan Acacia yang hendak menuju toilet sendirian. Melihat dua sahabatnya sudah pergi, Acacia segera melangkah menuju ke toilet perempuan.

Namun, pergerakannya terhenti karena seseorang tiba-tiba mencekal tangannya. Acacia berbalik badan untuk melihat siapa pelakunya, seketika matanya terbelalak dengan mulut yang sedikit terbuka karena terkesiap.

"Ka Gavin?!"