Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Suami Pernikahan Kontrak : Lamaran Sempurna

🇮🇩NamelessWitch
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.3k
Views
Synopsis
Aku pasti benar-benar sakit jiwa saat menerima lamaran pria itu setelah cinta satu malam kami. Eh? Itu bahkan bukan cinta satu malam. Aku menjual diriku padanya malam itu. Kupikir drama romansa ala telenovela seperti ‘cinta pada pandangan pertama’ bisa terjadi dalam hidupku atau sedikit rasa iba yang dia miliki karena menjadi pria pertama dalam hidupku. Rupanya dia hanya menyodorkan kekacauan yang lebih besar dan meminta bantuanku untuk mengatasinya. Yang gilanya aku terima tanpa pikir panjang. Stevanus Wiliam, dasar pria bajingan! ... Buku ini di ikut sertakan dalam: Webnovel Spirity Awards (Bahasa Indonesia) Tahun 2022
VIEW MORE

Chapter 1 - Lamaran Diatas Ranjang

"Ah! Itu sakit sekali. Hentikan tolong, sudah cukup. Kumohon… tolonglah…."

Seberapa kerasnya pun aku merintih dan memohon rasanya percuma. Uang pria jahanam ini sudah masuk ke rekening-ku tadi sore. Kami telah menyepakati ini bersama dan aku dengan segala ketidak mampuan serta keterbatasan yang kumiliki menyerahkan diriku ke dalam tangannya.

Kejantanan pria ini seperti tombak yang menghujam pusat tubuhku. Saat pertama kali melihatnya kupikir ukurannya tampak normal, tidak sebesar atau sepanjang miliki pria asing dari video pemanasan yang Mami berikan.

Namun saat dia mulai mendorong masuk menembus diriku, aku tahu perhitunganku ternyata bisa salah.

Katanya, ini adalah surga dunia.

Katanya, aku hanya akan merasa sakit sedikit di awal lalu setelahnya nikmat akan membuatku mabuk kepayang.

Tapi kenapa kenikmatan itu terasa sangat jauh. Yang ada malah rasa nyeri yang luar biasa hebat, rasanya seperti mau mati saja. Aku sudah pasti menangis hebat dengan wajah yang jelek.

Tolong ingatkan aku untuk tidak melakukan ini lagi seumur hidupku. Tidak dengan suami masa depan yang bahkan tak pernah aku impikan. Lelaki itu malang sekali kalau mau menerimaku yang bekas pakai ini.

Lagi pula sudah cukup lama aku memutuskan untuk menghapuskan pernikahan dalam kamusku. Bagiku pernikahan adalah sebuah ikatan yang menciptakan masalah baru dalam hidup. Sekarang makin menguatlah alasanku untuk tidak mengikat diriku dalam sebuah pertalian suci itu.

Ah, aku sudah tak bertenaga lagi. Sekalipun tubuhku ini dalam kondisi fit, bercinta ternyata menguras tenagaku lebih cepat dari lari sprint atau lompat tali. Eh, aku ralat, ini seharusnya tak pantas disebut bercinta. Kami hanya… hanya… ya begitulah.

Semakin kupikirkan semakin runyam rasanya.

Disaat kupikir semua rasa sakit itu akan membunuhku, rasa nikmat barulah menyapaku. Perasaan luar biasa yang tak pernah kubayangkan. Oh, ini mulai terasa hebat. Sangat hebat dan berlalu dengan cepat. Padahal kuharap itu bertahan lebih lama.

Aku membuka mataku, terangnya cahaya lampu membuatku menutupnya kembali. Seperti kebiasaanku, aku merentangkan tanganku untuk peregangan. Kasur yang luas ada dibawah tanganku, lebih luas dari kasur berukuran 90 x 200 di kamar kost-ku.

Hanya ada aku sendiri di atas ranjang besar ini. Ah, hanya aku?

Bukankah seharusnya aku bersama orang itu?

Aku berharap semua kesakitan atau nikmat yang kurasakan itu hanya mimpi basah belaka karena aku terlalu sering membaca novel harlequin dan novel-novel dewasa di Webnovel.

Barulah saat aku hendak menggerakan pinggulku, aku ingin menampar diriku dan memaki diriku yang naif ini:

"Sadarlah semua ini nyata, Anna!"

Tubuhku terasa aneh dan lelah. Dibawah sana pusat diriku berdenyut, mengingatkan aku akan penderitaaan sekali seumur hidup yang harus aku lalui tadi malam.

"Hanya karena pria itu tidak ada disampingmu pagi ini bukan berarti semua itu hanya mimpi buruk, Liana!"

Aku benar-benar telah menjual diriku demi biaya hidup dan tunggakan kuliah semester depan. Ya, cara cepat yang putus asa. Masalahnya kalau jumat ini aku tidak bisa melunasi pembayaran maka aku harus mendaftar untuk cuti kuliah.

Pilihan itu hanya akan menambah beban biaya cuti dan aku harus meninggalkan semua pelajaran selama dua semester. Aku tidak semakin bertambah muda, usiaku kini 22 tahun. Mahasiswa bahasa yang baru menyelesaikan dua semester.

Disaat teman-temanku yang lain sudah lulus kuliah dan sibuk mencari pekerjaan, aku malah keluar dari pekerjaan yang aku geluti sejak lulus SMK. Lebih tepatnya aku melarikan diri.

Aku kabur dari pekerjaanku dan dari rumah, dari kota kecil dimana aku tumbuh dewasa.

Pekerjaan lamaku baik-baik saja, bahkan bosku lebih baik lagi. Itu bisnis distributor keluarga yang menjanjikan. Dikelola seorang pria paruh baya yang menganggapku seperti anaknya sendiri dan putri perempuannya yang cantik, yang juga memperlakukan aku seperti adik perempuannya.

Pekerjaan itu terlampau baik bagiku. Bahkan Nyonya Bos-ku itu telah mintaku memanggilnya dengan sebutan mama. Seorang mama yang menurutku luar biasa, meski aku sungguhan tak berharap dia jadi mama-ku.

Beliau memberiku banyak hal. Sangat banyak sampai aku bisa menuliskannya dalam sepuluh lembar essay atau mungkin lebih. Norma-norma, nilai-nilai kehidupan, sopan santun, keterampilan wajib yang dimiliki seorang wanita dan semua hal yang tidak aku dapatkan bahkan dari mama-ku yang ada di rumah.

Hingga kemudian dia bertindak lebih jauh dan mulai bertingkah seperti mama-ku sungguhan. Dia mengharapkan aku lebih terbuka sementara aku yang keras ini terus memilih menutup diriku, ya, bahkan sampai hari ini.

Kalau aku membuka diri, mungkin saat itu aku tidak akan melarikan diri dari rumah dan dari pekerjaanku. Di tempat yang disebut rumah itu, nyawaku hampir berakhir bersama kewarasanku yang hampir hilang. Tempat itu adalah sarang para penggerutu. Nenek, mama bahkan adikku mulai mewarisi kebiasaan buruk itu.

Nenek atau yang biasa kupanggil Ama, akan memulai hari dengan mengomel bahwa putrinya tidak bisa mencari laki-laki mapan untuk menghidupi keluarga sehingga kami semua (mama, aku dan adik-adikku) menjadi beban di masa tuanya.

Mama yang kemudian akan menimpali kalau Ama juga tidak berguna. Ama tidak membesarkan putrinya tetapi menyerahkannya pada saudara perempuannya untuk mencari uang. Ama tidak membantun Mama mencarikan jodoh yang mapan saat dia muda.

Mereka terus menyalahkan satu sama lain, setiap hari, sampai satu hari aku pikir aku sudah cukup mendengarkan semuanya. Aku hanya ingin bangun pagi atau pergi tidur dengan tenang. Aku ingin lepas dari semua keluh kesah itu dan pada akhirnya disinilah aku dengan keluh kesahku tersendiri.

Aku tertawa miris kalau mengingat kenapa semuanya jadi begini.

"Apakah ada yang lucu?" suara itu…

Kupikir dia sudah pergi. Rupanya dia bangun lebih awal, harusnya aku pura-pura masih tidur saja tadi. Dia dari kamar mandi. Oh, oh? Dia baru selesai mandi!

Novel-novel, manga, manhua atau apapun itu namanya selalu melebih-lebihkan cerita. Para penulis itu selalu membuat si karakter utama wanita tidur dengan pria tampan dan para pria itu tidak lain dan tidak bukan harus memenuhi syarat sebagai big shoot or the hidden gem. Kalian lebih tahu maksudku kan. Baik itu kecelakaan atau berkat skema-skema jahat antagonis. Para pria harus dan mesti punya badan yang bagus untuk dipandang.

Yang ada di depanku saat ini tidak seperti itu. Wajahnya? Okelah, cukup memenuhi standar Indonesia. Mengingatku dengan Caesar Hito, tapi maaf… kalau Caesar Hito punya perut mirip roti sobek kombinasi, yang ini cuma sandwich klasik Sari Roti.

Hehe… ya, kan tidak semua cowok pergi ke gym atau rajin olahraga demi bentuk tubuh mereka. Aku sih tidak terlalu kecewa melihatnya.

Kalau tidak salah namanya Stevanus sesuatu, yang kuingat cuma nama depan dan dia minta dipanggil Evan. Sekarang dia mengeluarkan senyumannya, bukan tipikal senyuman manis yang menggoda, lebih seperti senyuman miris atau kasihan.

Pada siapa? Apada dia mengasihaniku?

"Apa kau… menyesal?" tanyanya. "Meski tidak ada darah, aku tahu itu yang pertama untukmu." Oh, ya? Sepertinya dia memang cukup berpengalaman di dunia bejat ini.

"Penyesalan selalu datang belakangan. Sekarang ini dia belum menghampiriku. Dia akan datang nanti, mungkin hanya sedikit terlambat," kataku.

"Oh? Kau benar. Penyesalan selalu datang terlambat."

Setelahnya kami terdiam cukup lama. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan tapi setelah keluar dari hotel rasanya aku ingin sekali makan batagor atau baso tahu. Sudah lama aku memakannya.

"Kau tahu, aku berharap tidak ada penyesalan diantara kita."

Eh? Apa… aku hampir tak memperhatikan kata-katanya sangking asik membayangkan rasa bumbu kacang yang melimpah di mulutku.

"Aku ingin memberi bonus untukmu…"

Bonus? Kupikir pelayananku tidak sebagus itu untuk dapat bonus. Apa karena aku perawan? Baik sekali… (Hei, orang baik tidak akan terlibat dalam bisnis prostitusi.)

Kelihatannya dia cuma tidak ingin punya perasaan menyesal atau bersalah padaku, seperti kata-katanya barusan.

Evan merangkak naik ke atas ranjang, memposisikan dirinya di sebelahku sebelum membuka mulutnya dan mengucapkan sebuah mantra paling mengerikan yang pernah kudengar.

Katanya, "menikahlah denganku."