"Naera! Naera!"
Pagi-pagi sekali William mengguncang bahu perempuan yang tengah mendengkur di hamparan ranjang nan empuk tersebut. Setelah sekian purnama tidur bersama Naera, ini merupakan kali pertama baginya mengecoh lelap wanita itu. Ada sesuatu yang mulai sekarang harus mereka biasakan.
Usaha William menunai hasil, karena beberapa waktu setelahnya Naera membuka mata. Samar-samar ia melihat wajah tampan William, meskipun ia hanya menggunakan piama tidur.
"Ada apa?" tanya Naera dengan suara khas orang bangun tidur.
"Lihatlah sudah jam berapa ini!"
Jam dinding dibidik oleh Naera. Ia heran kenapa William membangunkannya pada pukul lima subuh.
"Matahari saja belum keluar, William. Hoaaam." Naera menguap.
"Karena itulah kau harus bangun. Mulai sekarang kau wajib menyiapkan sarapan pagiku, lalu membereskan rumah."
"Apa?"
Dia tidak menyangka dengan kesan pertama setelah menikah dengan William. Selama ini pria itu selalu membiarkan Naera bangun tanpa batas waktu, bahkan William sendirilah yang membersihkan rumahnya ini, kemudian menyiapkan makanan. Apakah semua itu hanya tipu daya William supaya Naera mau dipersunting?
"Kenapa kau yang kaget begitu?"
Naera duduk dan menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Yang membuat ia belum siap menjadi istri adalah hal-hal berbau dapur.
"Bukannya kau yang memasak di rumah ini?"
"Itu dulu sebelum aku memiliki seorang istri."
"William, kau ingin menjebakku, ya?"
"Tidak sama sekali. Aku hanya ingin kau menjadi istri yang baik."
"Aku tidak pandai memasak. Bisa-bisa rumah ini yang habis terbakar," sangkal Naera.
William menarik lengan Naera sampai istrinya itu terpaksa turun dari ranjang. Ia juga menuntun Naera untuk memasuki toilet.
"Aku akan mengajarimu. Sekarang kau harus membersihkan wajah."
Pintu ditutup oleh William dan ia berkali-kali menyeru supaya wanita itu segera melakukan apa yang ia perintahkan. Walaupun hanya wajah yang tersiram air, tetapi Naera merasakan hawa dingin yang teramat sangat. Ia menggosok gigi penuh keterpaksaan serta dongkol di dalam hati.
Naera keluar dalam keadaan gontai. Ia tidak berselera untuk melakukan apapun selain tidur. Namun, lagi-lagi William menginterupsinya agar menuju dapur.
"Mulai sekarang kau harus membiasakan diri untuk bangun lebih awal, Naera. Siapapun akan tertawa, kalau mengetahui jika akulah yang memasak di rumah ini."
Pria itu mengeluarkan beberapa ikan dari dalam kulkas dan meletakkannya di hadapan Naera. Istrinya memperhatikan ikan tersebut penuh tanda tanya.
"Apakah ini langsung digoreng?" tanyanya dengan wajah lugu.
"Oh, astaga. Bagaimana mungkin kita bisa memakan ikan yang kotor? Kau harus mencuci serta mengeluarkan isi ikan itu."
Tak lama kemudian, Naera meremas rambutnya sendiri. Sesungguhnya dia tidak pernah menginjakkan kaki ke dapur selain untuk mengambil makanan. Naera bingung harus memulai semuanya dari mana.
"Ambil ikannya dan juga pisau ini!"
William dengan sabar mengajari Naera cara membobol isian ikan tersebut sampai bersih. Dia berpikir jika istrinya akan mahir apabila ia sering melakukannya.
"Aku jijik. Ini bau sekali," kata Naera perlahan memundurkan langkahnya.
"Tentu saja kau harus terbiasa dengan semua ini. Ayo, lakukan lagi!"
Kali ini lelaki itu benar-benar memaksa Naera untuk menjadi istri sungguhan. Ia nyaris tertawa melihat bibir manyun serta dahi Naera yang berkerut. Belum lagi ia yang bolak-balik mual, karena mencium aroma kotoran ikan.
"Besok-besok tidak usah menyuruhku lagi!"
"Kita tidak pernah membuat perjanjian supaya aku yang mengurus rumah ini, Naera. Kurasa kau mengerti apa maksudku."
Naera dibuat mati kutu dengan ucapan suaminya. Tanpa sadar ia membuang napas kasar dan hembusannya terasa di wajah William. Ia paham bahwa hal-hal seperti ini memang menjadi bagian istri dan Williamlah yang mencari nafkah untuk mereka.
"Selanjutnya bagaimana?" Ia bertanya setelah ikan itu selesai dibersihkan.
"Goreng ikannya!"
Naera dibantu suami memasukkan minyak ke dalam kuali serta menunggunya sampai matang. Saat memasukkan beberapa potong ikan, tiba-tiba saja minyak goreng tersebut meletup dan mengenai bagian tangan Naera.
Ia menjerit ketakutan dan sontak melarikan diri. Naera berjongkok sambil berceloteh tentang rasa perihnya.
"Aaaargh! Dia melukai tanganku. Aku tidak mau menggoreng ikan-ikan itu lagi. Lebih baik kau saja, William!" teriaknya.
Ada seorang perempuan yang membuat pagi William terasa bewarna. Ekspresi Naera begitu lucu dengan wajah khas orang ketakutan tersebut. Apalagi saat ia tertunduk sementara spatulanya terapung di udara.
"Memang seperti itu prosesnya. Jangan menyerah!"
Seberes itu ia membantu sang istri untuk kembali ke depan kompor. Ia memerintahkan Naera membalik ikan yang apabila dibiarkan, maka sebentar lagi akan gosong.
"Aku takut," rengek dara bersurai kekuningan.
"Lakukan saja!"
Dipenuhi rasa takut Naera membalik ikan-ikan tersebut dan yang terjadi adalah minyak gorengnya melompat dan mengenai tangannya lagi. Berulang kali ia hendak menyerah, tetapi William tidak mengizinkannya.
"Kau menyiksaku!" ungkapnya marah.
"Bukan begitu. Justru karena aku peduli. Bagaimana tanggapan orang-orang jika tahu istri seorang William Morgan tidak bisa memasak?"
"Kenapa tidak pakai pembantu saja?"
"Kita menikah hanya dua tahun, Naera. Lebih baik aku menggunakanmu sebagai asisten rumah ini daripada harus mencari seorang pembantu."
"Maksudmu kau memanfaatkan aku?" Naera berang.
"Ya, bisa dikatakan begitu. Kau juga memanfaatkan aku, kan? William Morgan mati-matian bekerja demi istri kontraknya." William memutar bola matanya malas.
Setelah ikan-ikan itu berhasil digoreng dengan tingkat kematangan yang sempurna, Naera sontak melarikan diri. Ia tak ingin lagi meneruskan kegiatan, karena harus mengobati tangannya yang dipenuhi oleh titik-titik kemerahan. Semua ini akibat minyak goreng tadi.
"Kita makan ikan goreng saja sepanjang hari, kalau kau tidak mau melanjutkannya."
Tiba-tiba William memasuki kamar.
"Ah, terserah sajalah. Aku bisa membeli makanan di luar."
"Aku akan memantaumu sepanjang hari di rumah ini."
Glek!
Tandanya Naera harus memakan ikan goreng itu seharian penuh.
William tidak menemukan tanda-tanda bahwa Naera akan merespon kembali ucapannya. Wanita itu fokus mengobati luka di tangannya. Sesungguhnya William menaruh rasa iba, tetapi Naera tidak bisa terus menerus dimanjakan. Lagipula, William tidak mau selama dua tahun ke depan Naera hanya duduk manis menanti uang mengalir ke rekeningnya. Pernikahan kontrak itu atas kesepakatan mereka bersama, jadi siapapun harus menanggung akibatnya dan bertanggung jawab.
Tring… Tring… Tring…
William mendapati ponselnya bergetar panjang juga nama Ditcho di layar depannya. Ia pun segera keluar kamar untuk menjawab telepon dari Ayahnya.
"Ada apa, Ayah?"
"Berkemaslah karena aku sudah membelikan tiket perjalanan ke Swiss untuk kalian berdua."
"Apa?"
"Anggap saja tiket bulan madu ini sebagai hadiah pernikaha kalian. Ambil tiketnya pada Ibumu di rumah sekarang!"
William secara diam-diam meremas rambutnya sambil mendekatkan telepon ke wajah. Kelihatannya Ditcho beserta Meera memang sudah tidak sabar untuk menimang cucu.
***
Bersambung