Chereads / Dinodai Suami Sendiri / Chapter 7 - Uring-Uringan

Chapter 7 - Uring-Uringan

Kuk kuruyuuuk....kuk kuruyuuuk.... 

Alarm dari gawai mahalku berbunyi. Membuatku terpaksa bangun untuk mematikannya, kemudian tidur lagi. Satu jam kemudian bangun lagi, setelah cahaya sinar matahari mengintip dari celah jendela yang membuat mataku menjadi silau. Salah pilih kamar rupanya. 

"Zein... Dah bikin sarapan belum?" teriakku, saat membuka pintu kamar. Tak ada jawaban. 

Duh, kemana itu cowok. Nggak nyahut lagi. Jangan-jangan masih tidur. Dasar pemalas. Enak aja mau santai-santai. Mentang-mentang punya istri sultan, mo ikut-ikutan jadi sultan. 

Dengan tergesa aku menuju ke kamarnya. Menggedor pintu sambil teriak-teriak. Tak ada sahutan. Mo langsung ngedobrak, takut dianya lagi polosan. Bisa-bisa mataku ternoda. Walaupun sebenarnya udah pernah ternoda sama yang lain. 

"Zein....aku masuk nih." Aku pun membuka pintu kamarnya. Dan taraaa.... kosong. 

Eh, kemana itu orang? Mana tempat tidur udah rapi lagi. Aku pun kembali menarik rapat pintu, dan melanjutkan pencarian. Ke kamar mandi, nggak ada. Dapur, nggak ada. Halaman belakang, nggak ada. Dalam kulkas, apa lagi. Kemana ya? 

Apa jangan-jangan dia kabur, membawa semua harta benda dari rumah ini. Dengan segera aku memeriksa garasi. Huft... ketemu. Untung mobil masih ada. Tapi dianya tetap nggak ada. Kira-kira dia kemana ya? Apa dia ngambek, gara-gara nggak dapat jatah sebagai suami? Takut nggak bisa menahan diri, terus mutusin buat ninggalin aku begitu aja. 

Ou, tidak bisa. Enak aja main kabur-kaburan. Udah dibayar mahal-mahal mo kabur begitu aja. Aku pun segera membuka pintu depan. Bermaksud  bertanya pada orang-orang sekitar komplek perumahan, siapa tau ada yang liat.

Aku pun keluar menuju ke jalan depan. Tak disangka ada penampakan aneh di ujung sana. Banyak Ibu-ibu komplek pada ngumpul kek bulu ketek ngerumuni sesuatu. Apa ada kecelakaan kali, ya. 

Jiwa kepoku meronta-ronta. Dengan tergesa-gesa namun tetap elegan, aku menyusul mereka. Akhirnya aku mendapati area kerumunan. Mendapati ibu-ibu komplek dengan berbagai macam bentuk dan ukuran sedang mesem-mesem kaya abege alay ketemu Boyband Korea. Dan akhirnya misteri pun terpecahkan. 

Bak semut yang sedang mengerubuti gula, mereka berkumpul mengelilingi Zein.

"Wah, badannya bagus banget."

"Latihannya setiap hari ya, Mas."

"Minggu depan saya ikut lari pagi ya, Mas."

"Mas nya udah nikah belum?"

"Kok kita nggak pernah ketemu sih? Mas orang baru di sini, ya?"

"Wih, angkat dikit dong kaosnya. Pengen liat itu roti sobek."

"Boleh pegang ototnya dikit nggak? Keras tuh, keras."

"Kulitnya glowing. Mas rajin perawatan juga, ya?"

Huh, dasar emak-emak jablay. Bisa-bisanya godain suami orang. 

"Permeseeee, Ibuk-ibuk... Nggak punya kerjaan, ya? Pada gatel ngerubutin lakik orang. Nggak takut viral buk, jadi pelakor!" teriakku membelah kerumunan. 

Kudapati Zein dengan celana olah raganya yang pendek dan juga kaos pas-pasan yang membuat perut sixpack nya jadi keliatan. Dia terlihat malu-malu sambil mengusap-usap belakang kepalanya. 

"Dih, siapa nih?"

"Iya, nih. Baru dateng langsung maen maju-maju aja. Ngantri dong, Mbak. Semua juga mau dapet giliran!"

Mereka mulai protes. 

"Apaan ngantri-ngantri? Emang di sini ada pembagian sembako, apa?" teriakku lagi. 

"Mbak ini siapa sih? Kok dateng-dateng langsung marah-marah? Kalau nanti Mas ini kabur gimana?" tanya Ibu-ibu yang bajunya berukuran 5L. 

"Saya istrinya. Kenapa? Nggak terima?" sahutku sambil berkacak pinggang di atas piyama sutraku. "Mau nih saya laporin sama suami-suami sampeyan biar ditalak lima sekaligus?" ancamku dengan membusungkan dada. 

"Oh, istrinya."

"Udah ada yang punya, toh."

"Kirain masih perjaka ting-ting tadi."

Suara keluhan mereka terdengar satu persatu. 

"Nah, udah tau kan? Jadi sono bubar, bubar.... " Aku mengibaskan tangan seperti mengusir anak ayam. 

Setelah pembubaran masa tadi, aku kembali menantang suami bayaranku ini dengan kedua tangan kembali bertengger di pinggang. 

"Ngapain pagi-pagi tebar pesona, ha?" Aku menaik-naikkan alisku. 

"Nggak kok. Aku cuman lari pagi aja," sahutnya dengan nada merayu. 

"Lari pagi apaan. Nggak liat ini udah jam 10."

"Iya, tadi... "

"Ngak ada tadi-tadian." Kutarik telinganya dan menyeretnya pulang bersamaku. 

"Aduh, aduh sakit, Yas. Aku nggak salah," ucapnya membela diri. 

"Berisik! Pokoknya pulang. Masak sarapan!" bentakku lagi. 

"Iya, iya. Lepasin dulu. Sakit, Yas."

"Bodo amat!"

.

Aku menyantap roti bakar selai kacang yang baru di siapkan Zein. Rasa kesal masih membayangi dan membuat dada ini masih terasa panas. 

"Tadi aku lari paginya jam enam lho, Yas. Tapi ibu-ibu komplek pada ngajakin ngobrol. Aku jadi nggak enak kalo tiba-tiba pergi."

"Halah, alasan. Emang dasar kamunya aja yang keganjenan. Sadar Zein, kamu itu punya istri. Jadi nggak usah sok tebar-tebar pesona, deh."

"Dih, yang lagi cemburu...," godanya. 

"Heh, siapa jugak yang cemburu. Aku tuh cuman nggak mau ketahuan, kalau hubungan kita itu cuman pura-pura. Jadi kamu juga harus bisa jaga sikap."

"Iya, iya. Maaf. Lain kali aku nggak akan lari pagi lagi," sesalnya.

"Iya, nggak usah. Nanti badan kamu tambah bagus."

Eh? Keceplosan lagi. Dia kembali senyum-senyum sendiri. 

"Nah itu, kenapa make baju-baju seksi kek gitu. Sengaja? Mo pamer body?"

"Lah, kan ini baju kamu yang beliin. Aku tinggal make apa yang ada, Yas."

Eh. Iya juga, ya. Kan semua baju-baju di lemari aku sendiri yang beliin. Masa iya tanpa sadar aku pengen liat Zein make baju kaya gitu. Nggak, nggak. Nggak mungkin. Aku pasti salah beli. 

"Buang tuh baju ama celana. Aku nggak mau liat  kamu make kek gitu lagi. Jelek."

"Lho, kok di buang. Kan sayang, Yas."

"Bu-ang. B-U -A- N -G. Buang!" tegasku lagi. 

"Iya deh, iya."

"Dasar ganjen."

"Dih, cemburu."

"Dih, ogah! Cemburu sama kamu. Nggak level," sungutku. "Udah deh, aku mau mandi. Kamu cuci piring, ya."

"Iya, istriku. Kamu mau sekalian dimandiin nggak?"

"Enggak.... " teriakku sambil berjalan menghentakkan kaki.

Ternyata susah juga kalau punya suami yang gentengnya kelewatan. Harus super hati-hati sama yang namanya bibit-bibit pelakor. Silap sedikit aja, udah pada nempel-nempel.

Hari Minggu seperti ini biasanya kulakukan hanya bersantai di rumah. Selesai mandi aku bersantai di ruang tivi. Scroll-scroll sosial media dan ngintip-ngintip kehidupan mereka. Kulihat Zein masih sibuk sana sini beberes rumah dari tadi. Benar-benar suami bayaran yang tahu diri. 

Kulihat banyak aktifitas teman-teman yang sedang pergi berlibur dan mereka posting di fesbuk. Menghabiskan weekend bersama keluarga, di tempat hiburan. Bahagia sekali mereka. Apalagi ditambah dengan kelucuan putra putri mereka. 

Duh... aku jadi ngiri. Kapan ya aku bisa ngajak anak dan suami benaranku pergi jalan-jalan kek gitu. Eh, kok tiba-tiba aku jadi kepikiran punya anak ya. Tiba-tiba aja ada yang berdesir dihati ini. 

Kucari Zein di sekeliling ruangan. Mataku menyisir sampai kulihat dia di halaman depan sedang memangkas daun bunga. 

Wow... dia terlihat keren dengan bulir-bulir keringat yang menetes di dahinya. Ujung rambutnya yang sedikit basah membuat penampilannya bertambah macho. Aku menelan saliva, melihat penampilannya yang belum juga mengganti pakaian olah raganya tadi. 

Gawat, kok tiba-tiba aku jadi kepikiran mau buat anak ya. Duh, pikiran macam apa ini. Ish, untung si Zein lagi di luar dan nggak ngeliat aku lagi uring-uringan kek gini. Kalau tau, bisa-bisa dia juga jadi kepikiran macem-macem dan ngambil kesempatan. 

Hish.. aku memukul-mukul sendiri kepalaku yang sedang berpikiran ngeres ini. Dari pada postur tubuh si Zein menari-nari di otakku, lebih baik aku masuk dan tak lagi melihatnya. 

Bukan apa-apa sih. Laki-laki biasa kaya Zein juga nggak akan mungkin, bisa menolak pesonaku kalau aku bilang lagi pengen. Hanya saja, aku takut menyesal karena ini hanya sekedar perasaan sesaat aja. Bukan perasaan cinta seperti pasangan pada umumnya. 

Percuma juga kan, kalau akhirnya nanti kami pisah juga. Aku juga nggak mau punya anak yang nanti bakalan jadi keluarga broken home, karena aku dan Zein harus berpisah. Baiknya kulupakan saja hasrat yang tadi sedang menggodaku. 

Akhirnya aku kembali berselancar di dunia maya. Namun mataku terperanjat saat tiba-tiba melihat ada pesan masuk dari akun fesbukku. 

'Hai Tyas. Gimana kabar kamu? Masih kangen nggak sama aku?'

Deg! 

Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat. Maksudnya apa ini? 

**************