Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

(THE) RAVEN

🇮🇩CANES
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.5k
Views
Synopsis
"Alam semesta tidak bersahabat dengan orang-orang t***l, dan mereka semua cepat atau lambat akan hancur." - Don Marquis J Corp adalah sarang manusia brilian yang mengaku mendedikasikan dirinya pada Nusantara. Namun, kebocoran rencana proyek mereka menjatuhkan kepercayaan publik. Hanya sesaat sebelum virus Delta Co menghancurkan tatanan pemerintah dalam hitungan hari. Syena yang selama ini hidup dengan segala macam tingkah konyolnya tak menyangka dia bakal berakhir tidur di ruang terbuka dan terancam mati berkali-kali hanya karena mengikuti rasa penasaran Ryu, si anak pindahan dari distrik pusat. Tanpa tahu bahwa mereka adalah alasan dari semua kekacauan yang terjadi di Nusantara.
VIEW MORE

Chapter 1 - MIMPI BURUK

Bagian penting yang terpotong dan hilang akan mendatangkan jalan buntu. Sayang, aku kehilangan potongan itu. |Syena Anindita|

***

Mereka berteriak, menangis, merangkak mencari pertolongan. Mengisi lorong-lorong panjang tak berujung. Mengejarku tanpa ampun menaiki tangga kematian.

Hujan turun dengan deras, namun tak cukup lebat untuk memadamkan lautan api di bawah sana. Kakiku berlomba dengan waktu. Secepat mungkin mencapai ruang tersembunyi untuk melarikan diri dari kejaran orang-orang berdarah dingin di belakang punggungku.

Kota ini benar-benar menjadi sampah!

Orang-orang menggelepar dengan kulit melepuh. Mereka mencari 'pertolongan' dengan mengejar-ngejar orang sehat sebelum akhirnya sekarat; atau melampiaskan rasa sakitnya dengan merusak apa pun; atau menyulut api hingga terjadi kebakaran di sana-sini dan melemparkan diri ke dalamnya. Mereka semua seperti anjing gila—bahkan anjing gila pun mungkin tak akan segila itu.

Aku lelah. Tak bisa kurasakan kakiku lagi, sedangkan makhluk-makhluk itu masih tak henti mengejarku dengan tangan menggapai-gapai udara, berharap bisa menarik kerah belakangku.

Di perempatan gang yang diapit oleh gedung-gedung pencakar langit—yang terlihat setengah miring—kupaksakan kakiku untuk menikuk cepat, berbelok ke kanan dan ke kiri sekali lagi sebelum akhirnya meringkuk di samping tumpukan sampah makanan yang setengah membusuk. Kawanan lalat terlihat lebih bersahabat daripada manusia untuk sekarang.

Kutelengkupkan kepalaku di atas lutut sembari berdoa semoga aku menjadi manusia transparan untuk sesaat. Tubuhku bau keringat, napasku panas, kakiku mulai terasa sakit untuk digerakkan, dan yang paling penting bau menyengat makanan busuk tak bisa dialihkan sama sekali.

Aku ingin menangis dan minta tolong pada manusia waras mana pun yang bisa menemukanku, hanya saja aku tak cukup gila. Sekali aku berteriak atau buka suara, bukan hanya manusia waras yang akan mendekat, monster-monster itu juga tak akan absen menyerbuku. Jadi, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah diam dan berharap bisa memulihkan energi tanpa gangguan siapa pun.

"Grrrhhh!"

Suara geraman membuatku terkesiap, refleks merapatkan punggung ke dinding di belakangku.

Dia akan membunuhku!

Suara kuku yang menggesek-gesek keras permukaan kulit itu semakin terdengar mendekat. Suara rintihan kesakitannya membuatku ingin segera melarikan diri dari sini. Lalu, saat bayangan seseorang dengan langkah diseret itu semakin jelas, aku sudah mempersiapkan diri untuk dicabik-cabik dan mati di tangannya.

Tak ada apa pun!

Tiga detik setelah memejamkan mata, aku tidak merasakan sesuatu menyentuh ujung kulitku. Saat kuputuskan untuk membuka mata, tak ada apa pun. Gelap. Sempat terpikirkan aku buta mendadak di detik pertama membuka mata. Namun, tidak! Semakin lama aku bisa membiasakan diri dengan tempat gelap ini.

Siluet lemah yang berasal dari sinar bulan merambat melalui celah ventilasi jendela. Aku tidak yakin tempat apa ini, tapi yang jelas ada aroma menusuk semacam antiseptik dan obat-obatan. Aku mencoba memastikan dengan mendekat pada siluet lemari kaca besar di pojok ruangan. Belum sampai langkah kedua, lututku teratuk sesuatu sampai rasanya seperti tersengat listrik.

"Apa ... ada orang?"

Tidak ada sahutan.

Kuangkat tanganku, menyusuri dinding di sebelah kanan sambil berharap bisa menemukan saklar lampu. Sementara itu sebisa mungkin kakiku berpijakan dengan baik, sebab, tak menutup kemungkinan kaki telanjangku menginjak bangkai tikus atau bahkan ... bangkai manusia.

Entah bagaimana ceritanya aku bisa terdampar di tempat antah-berantah tanpa lampu penerang seperti ini. Mungkin aku tersesat dan masuk ke penjara tahanan kelas kakap dengan fasilitas super. Mungkin juga aku salah masuk ke tempat pembedahan perut manusia hasil mutasi. Apa pun itu, rasanya tak ada yang terdengar lebih baik sekarang.

Aku cuma ingin pulang!

Brak!

Suara keras itu membuatku terkesiap dengan napas tertahan. Kupikir aku meneriakkan keinginanku untuk pulang tanpa sadar, tapi dengan segenap kewarasanku, aku ingat sudah menutup mulutku rapat-rapat agar tak mengganggu penghuni ruangan ini. Sudah cukup aku cari mati dan hampir kehabisan napas dikejar-kejar monster-penggaruk-kulit beberapa saat lalu. Sekarang aku ingin hidup dengan aman dan damai.

Kakiku menginjak sesuatu yang basah dan sedikit berlendir. Bersamaan dengan ikut, ujung jari tengahku menemukan—semacam—saklar.

Tak,

.... Dan benar saklar. Lampu pijar yang tergantung dua setengah meter di atasku itu berkedip beberapa kali. Sepertinya sudah terlalu lawas ada di sana. Tak dibersihkan, juga tak diganti, sampai sarang laba-laba dan bangkai serangga menempel di sekitarnya.

Mataku beralih pada sesuatu yang menghinggapi telapak kakiku. Dingin dan lembab sekaligus.

Sial! Sepertinya aku menjatuhkan pesanitasi tangan, sekaligus menumpahi berbagai macam surat kabar yang bercecer di atas lantai.

Kusapukan pandanganku ke sekeliling ruangan, mencoba mendapatkan sesuatu yang bisa kugunakan untuk membereskan kekacauan ini. Namun, alih-alih menemukan kain lap, perhatianku malah tersedot pada dinding di sebelah kanan pintu kayu jati. Ada semacam papan tulis dengan rumus-rumus, gambar nyamuk dan detailnya, juga gambar tabung-tabung reaksi beserta reaksi kimia. Semuanya dicoret-coret menggunakan kapur berwarna putih. Mulai pudar. Sepertinya sudah lama dibiarkan seperti itu.

Di sebelah kiri pintu masuk—yang kupikir bakal menghalangi saat pintu dibuka—ada etalase besar yang sempat kulihat sebelumnya. Di dalamnya tersimpan botol-botol cairan kimia seperti yang kulihat di laboratorium sekolah. Di rak kedua dari bawah ada sekiranya dua set tabung reaksi yang ada isinya.

Aku bertanya-tanya, apakah ini laboratorium pribadi milik seseorang? Sebab, kalau dilihat-lihat ruangan ini memang dipenuhi oleh alat laboratorium. Timbangan analitik, gelas arloji, spatula, mortal dan martil, kompor listrik, erlenmeyer—yang sebagian terpasang dalam rangkaian—dan alat-alat lain. Hanya saja semuanya sama, terlihat lusuh. Sama seperti satu-satunya lampu di sini, rasanya sudah sangat lawas dan lama tak terpakai.

Kutuntun tubuhku untuk melihat lebih jelas gambar-gambar di papan tulis. Namun, urung. Aku lebih memilih membelokkan kakiku hingga kemudian berdiri tepat di depan jajaran botol larutan kimia, sampel dalam tabung reaksi, dan peralatan kaca lainnya.

Negatif.

Larutan berwarna merah kehijauan itu berlabel negatif.

Larutan dengan warna merah lebih terang di sampingnya. Negatif.

Larutan biru keruh dengan warna merah mengendap di dasar tabung itu, Negatif.

Kuamati satu per satu, dan semuanya memiliki label sama: Negatif.

Lalu, aku bisa menyimpulkan sesuatu, alasan mengapa papan tulis itu dicoret menyilang dan tempat ini terlihat sangat kumuh: hasil percobaannya gagal.

Saat akan kembali ke tempat semula, sekelebat ujung mataku menangkap sebuah toples di rak paling bawah. Toples berwarna coklat gelap yang terlihat sangat menarik untuk dilihat.

Baru saja aku hendak berjongkok dan melihat lebih dekat, suara gaduh dari luar terdengar.

"Lalu kamu pikir menghabiskan waktu di tempat seperti kandang itu bisa membuat kita hidup lebih lama? AAA! Lepaskan! Kamu gila!"

Aku buru-buru bersembunyi di sela etalase dan meja tempat mikroskop, duduk meringkuk sambil mengawasi pintu masuk.

Seperti dugaanku, keberadaan etalase sedikit menghambat pintu, tapi seorang pria berkemeja garis-garis pudar berhasil menelusupkan tubuhnya di celah pintu yang terbuka, menyeret wanita yang memberontak minta dilepaskan sambil mengeluarkan sumpah serapah.

"Sepertinya tikus-tikus di rumah kita sudah habis. Sekarang waktunya kugunakan manusia sungguhan."

Saat pria itu menyebutkan soal tikus, aku bahkan baru menyadari bangkai-bangkai yang berceceran di sekitar tempatku menumpahkan pesanitasi tangan. Dan itu membuat perutku bergejolak.

Tak hanya sampai di situ, kulihat pria itu membaringkan wanita—kutebak istrinya—di atas ranjang dorong, mengikat kedua tangan dan kakinya dengan tali, kemudian meraih botol di etalase yang sempat menyedot perhatianku. Sebelum membukanya, pria itu mengenakan semacam baju astronot, lalu menumpahkan isi botol itu ke atas tubuh istrinya.

Aku hampir terpekik, antara ngeri dan mual melihat ratusan nyamuk keluar. Dan begitu nyamuk-nyamuk itu terbang ke arahku, menyengatku dengan rasa sakit berkali-kali lipat daripada biasanya, teriakanku benar-benar lolos, sampai pria itu menoleh dan aku melihat mata merah besarnya membeliak ke arahku.