Namaku Teddy. Umurku sekarang 27 tahun, masih terbilang muda bagi kedua orangtuaku, om tanteku, dan juga abangku, Rio.
Kisah yang akan ku ceritakan ini terjadi saat aku masih SMP. Namun, aku ingin menjelaskan sejenak siapa diriku. Jadi, sejak kecil aku memang sudah peka dengan hal-hal yang berbau tak kasat mata. Bermula saat kami disuruh sama guru olahragaku untuk segera berkumpul ke lapangan untuk mapel olahraga, di saat yang sama aku melihat salah satu temanku yang masih duduk di bangku duduknya.
"Jeman, ayo ke lapangan," teriakku.
Hening. Tak ada jawaban dari temanku.
"Woy, Man," teriakku lagi.
Ku perhatikan dia menunduk lemas dan wajahnya pucat.
Kakiku melangkah menghampirinya dan saat aku ingin memegangnya, ternyata...
"Nembus," batinku.
'Jeman' langsung duduk dengan tegap dan menatapku seram. Tak lama kemudian, tubuhku limbung dan semua jadi gelap.
Aku pun tersadar dan sudah berada di UKS.
"Sudah sehat, Ted?"
Pak Arifin selaku guru olahraga dan pembina PMR bagian UKS menghampiriku.
"I... Iya, Pak," kataku.
Beliau memberikan segelas air putih untukku. Selesai minum, ku taruh gelas di dekat kakiku dan berkata, "Maaf, Pak. Teddy..."
"Saya sudah tahu apa yang sudah terjadi," kata Pak Arifin. "Kamu tahu, 'mereka' itu tidak berbahaya. Tenang aja."
Sejak saat itulah aku mulai peka dengan keberadaan makhluk tak kasat mata. Bahkan, saat aku berada di sebuah tempat yang ada 'penghuni' di dalamnya, aku akan merasakan hawa dingin yang tidak biasa, meskipun di hari itu cuaca dalam keadaan hangat. Atau saat kupu-kupu datang dan beterbangan di hadapanku, aku akan merasakan 'sosok baik' sedang menghampiriku. Kedua hal inilah yang akan berhubungan dengan kisahku hari ini.
Dimulai pada tahun 2009, saat aku sudah mengenyam pendidikan kelas 3 SMP. Sekitar pukul 22.00, Bang Rio mengetuk pintu rumah dengan sangat keras.
"Ibu, Bapak, Teddy," teriaknya.
Kami yang masih menonton tv di ruang tengah langsung kaget. "Lo, bukannya Rio bilang mau nginep, Bu? Kok pulangnya cepat kali," kata Bapakku.
"Buka aja lah, Pak. Siapa tahu ada barangnya yang ketinggalan di kamar," balas Ibu.
"Ya udahlah, Ted. Bukain tuh pintu buat abangmu."
Aku langsung berdiri dan membukaka pintu, dan betapa kagetnya aku melihat Bang Rio tampak panik.
"Bapak Ibu mana?" tanya Bang Rio.
"Tuh," tunjukku ke arah kedua orangtua kami yang masih menonton tv.
Tanpa basa-basi lagi, Bang Rio langsung masuk ke dalam rumah dan menangis.
"Pak, Bu, Satrio..."
Bapak terheran-heran mendengarkan satu nama yang diucapkan sama abangku. By the way, Bang Satrio itu tetanggaku sekaligus teman sekelas Bang Rio di sekolahnya.
"Iya, Bang. Kenapa sama Satrio?"
Masih dalam keadaan menangis, Bang Rio berkata, "Satrio meninggal, Pak."
"Meninggal? Meninggal kenapa, Bang?" tanya Ibu ikut terheran-heran.
"Tadi dia tabrakan, Bu."
Kami langsung shock mendengar hal itu.
"Udah, Bang. Udah. Tenangkan dirimu dulu. Teddy, tolong ambilkan abangmu minum."
Aku pun pergi menuju dapur dan mengambil sebotol air minum di dalam kulkas dan sebuah gelas.
"Minum dulu, Bang." Ku suguhkan segelas air yang telah dituangkan dari botol tadi untuk Bang Rio.
Bang Rio langsung meneguknya tanpa tersisa setetes pun. Untunglah, Bang Rio merasa sedikit tenang dan menceritakan semuanya.
"Jadi aku sama Satrio mau ke Alfamart beli cemilan buat nonton bola. Abangnya Satrio, si Mas Evan ikut. Jadi Satrio boncengan sama Mbak Eva, Bu, Pak," cerita Bang Rio.
"Terus, Bang?" tanyaku.
"Nah yang bawa motor tadi Mbak Eva, Dek. Sedangkan dia yang dibonceng. Sialnya, pas di jalan tuh motor mereka jatuh sendiri gak nabrak apa-apa, terus Mas Evan bilang tuh jatuhnya gak kenceng-kenceng banget. Tapi kepala Satrio kebentur dan keluar darah terus dari kuping sampai hidungnya."
"Astaghfirullahal'adzim," ucap Bapak dan Ibu barengan. "Memangnya kalian tuh mau beli cemilan ke Alfamart mana? Kok malem kali."
"Di Alfamart depan masjid besar, Bu."
Aku sempat ingin mewajari hal itu mengingat daerah yang disebutkan Bang Rio tadi memang sering terjadi kecelakaan dan hal-hal yang rawan lainnya. Namun, agak terdengar janggal setelah mendengar ceritanya itu.
Setelah diceritakan hal itu, kami sekeluarga segera bergegas menuju rumah Bang Satrio.
"Bang, udah rame kali rupanya di sana," tuturku.
"Ya udah, Dek. Langsung aja kita masuk ke dalam," kata Bang Rio.
Namun, aku langsung berubah pikiran untuk berkumpul bersama teman-temanku yang sudah berjejeran di depan rumah Bang Satrio.
"Guys, udah ada yang masuk ke dalem?" tanyaku.
"Udah, weh. Kasian Bude nangis-nangis di dalem," kata Uchy.
"Beliau belum tahu kalo Bang Satrio sudah gak ada. Tadi dibilang sama Pakde kalo ini cuma kecelakaan aja," kata Rudi.
"Memang jenazahnya sekarang di mana?" tanyaku lagi.
"Di RS Muhammadiyah, Ted," kata Viona.
Sekitar pukul 00.00, jenazah Bang Satrio telah berada di rumah duka. Bude Lasmi langsung menangis melihat anaknya pulang dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Semua orang yang berada di sana merasa terpukul dengan kepergian Bang Satrio sampai berusaha untuk menenangkan Bude Lasmi.
"Sudah, Mbak. Yang sabar, ikhlasin Satrio," kata Ibuku.
Hal itu justru tidak menenangkan Bude Lasmi. Karena Bang Satrio merupakan anak kesayangan beliau. For your information, Bang Satrio merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara dan satu-satunya anak lelaki di keluarganya, kakak pertamanya yaitu Mbak Eva dan yang kedua Mbak Ririn.
Jenazah pun segera didoakan dengan pembacaan surat yasin terlebih dahulu, kemudian jenazah segera dimandikan. Sembari itu, aku dan teman-temanku bergegas mencari bunga di sekitar komplek.
"Eh gimana ini kalo bunganya gak dapet?" tanya Toni.
"Hus! Gak boleh bilang gitu. Kasian keluarganya, hey," tegur Syarifah.
"Iya, nih. Entar di pemakaman gak ada bunga sama sekali macam mana? Positif thinking aja lah," tuturku.
Akhirnya kami selesai mendapatkan bunga dan kami mulai merangkainya. Tak lama kemudian, jenazah Bang Satrio telah dimandikan dan secara bersama bapak-bapak yang bertugas menggali kubur telah selesai menggali. Oh iya, aku hampir lupa kalau jenazah Bang Satrio dimakamkan pada malam itu juga. Mungkin lebih cepat lebih baik.
Setelah jenazah Bang Satrio selesai dikafani dan diangkat ke keranda, kami segera mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. Di perjalanan, kami merasakan hal aneh. Seperti, darah yang mengucur deras hingga mengenai pundak bapak-bapak yang mengangkat keranda jenazah Bang Satrio.
Pak Ian selaku Ketua RT di kampungku pergi sebentar, kemudian beliau kembali dengan membawa terpal plastik.
"Bapak-bapak, kerandanya dialasin pake ini aja," kata Pak Ian.
Bapak-bapak yang mengangkat keranda jenazah Bang Satrio mulai mengalaskan keranda sesuai saran Pak Ian. Setelah itu, keranda kembali diangkat. Namun, alangkah terkejutnya kami ketika melihat darah masih mengucur deras. Mau tidak mau, rombongan bapak-bapak pengangkat keranda harus melepaskan baju mereka.
"Ih ya ampun," ucap Syarifah.
"Kasihan kali Bang Satrio," kata Uchy.
Aku pun ikut terheran-heran atas apa yang sudah terjadi.
Sampailah di pemakaman, jenazah Bang Satrio dimakamkan dengan tenang pada pukul 05.00, saat adzan subuh masih berkumandang dengan damai.
Bersambung...