"Hari gini masih perjaka? Yang bener aja kamu, Za?"
"Aku pikir malah kamu yang udah duluan dari kita semua."
"Ck. Apa jangan-jangan kamu impoten?"
"Udah mau lulus kuliah juga. Ha ha ha."
Berbagai komentar langsung menyerbu seorang pemuda dengan jaket kulit berwarna coklat. Ia sedang duduk di bawah pohon besar yang tersedia di sepanjang jalan bersama kelima temannya. Entah apa yang awalnya mereka bicarakan sampai keperjakaan salah satu dari mereka itu terbongkar.
"Aku nggak mau ngerusak anak gadis orang. Gila apa!" kilahnya.
Tentu selama ini dia tahu bagaimana kebebasan teman-temannya dalam bergaul. Hanya saja dia tidak ingin mencampuri urusan pribadi masing-masing. Baginya, berteman tidak harus pilih-pilih. Asal bisa menjaga diri sendiri, sudah cukup, bukan?
"Gadis? Za, Za. Nggak perlu sama gadis juga kali. Di klub banyak cewek-cewek seksi yang sengaja menjajakan tubuhnya dengan harga beragam. Dipastikan mereka bukan perawan." Pemuda dengan rambut belah tengah seolah membela diri.
"Tetep aja nggak bener. Aku maunya lepas keperjakaan sama perawan. Jatuh banget harga diriku kalo harus bercinta sama cewek yang dipake banyak orang."
Seketika mereka semua terdiam lalu saling bertukar tatap. Ucapan pemuda bernama Gheza tersebut seperti tamparan yang telak.
"Kenapa pada diem? Yakin, cewek yang selama ini kalian tiduri itu bersih? Atau bekas gonta-ganti dipake ...." Gheza sengaja menjeda kalimatnya agar otak teman-temannya melanjutkan sendiri kalimat tersebut. Dia menatap temannya satu persatu.
"Waw, sepertinya Gheza mau cari yang ori, nih," sela Brahma yang terkenal paling genit.
"Emh ... gimana kalo kita tantangin Gheza?" Dimas yang merasa tersindir dengan ucapan Gheza tadi mengusulkan sesuatu.
"Boleh juga, tuh," sambut Leo, Adam, dan Noval secara bersamaan.
"Nggak usah ngada-ngada, deh, kalian." Gheza merasa ide teman-temannya tidak baik.
"Nggak seru banget, sih, Za. Kamu lupa siapa yang nyari tempat KKN sebagus ini buat kita?" Adam mengingatkan kembali pada Gheza.
"Iya aku tau, semua ini berkat bantuan papa kamu. Tapi nggak perlu tantangan macem-macem juga, kan?" Gheza merasa keberatan karena Adam seolah-olah mengancam keberadaannya di tempat tersebut.
Pemuda dengan mata tajam itu tahu, bahwa semua fasilitas KKN mereka itu berkat bantuan papanya Adam sebagai pemilik universitas tempat mereka menimba ilmu. Mereka berenam juga sudah berteman sejak SMA. Sulit baginya untuk lepas dari hubungan tidak sehat tersebut.
"Berarti kamu terima, nih, tantangan kita-kita?" tanya Leo dengan menaik-naikkan alisnya.
"Deal," sambung Brahma seolah dia adalah Gheza yang berhak menentukan keputusan.
"Terserah," sahut Gheza yang pasrah sembari menyandarkan kepala lantas menatap langit. Suasana di desa tersebut sangat menentramkan hatinya. Terlebih, jika pagi hari seperti ini, udara yang memasuki rongga pernapasan seperti peluruh segala lelah yang tak bisa mereka dapatkan setiap hari di kota.
"Emh, cari seorang gadis perawan ...."
"Untuk apa?" tanya Gheza cepat sebelum Adam menyelesaikan kalimatnya. Tubuhnya yang tadi menyandar kembali duduk tegak.
"Apalagi? Bukannya kamu mau yang ori?" tambah Adam yang langsung disambut tawa oleh teman-teman yang lain.
"Aku nggak mau! Orang-orang di sini baik-baik. Beberapa bulan kita KKN di sini mereka memperlakukan kita seperti warga sendiri, bukan seperti tamu. Tega banget kalian nyuruh aku ngerusak salah satu dari mereka. Nggak ngotak banget," tolak Gheza tegas.
"Kan, aku nggak bilang harus orang sini." Lagi-lagi Adam memaksa.
"Nggak!" kekeh Gheza berkeras.
"Gimana kalo itu jadi salah satu syarat kelulusan kamu?"
Gheza menatap tajam pada Adam. "Maksud kamu apa, sih, Dam. Kelulusan itu ditentukan oleh dosen pembimbing berdasarkan hasil skripsi."
"Papaku pemilik universitas itu kalo kamu lupa," ancam Adam lagi.
Gheza langsung terdiam. Adam pasti tidak main-main dengan ucapannya barusan. Ditambah lagi teman-teman yang lain sepertinya mendukung ide gila Adam. Membuat Gheza makin merasa terpojok.
"Brengsek!" umpatnya. Setelah itu dia pergi meninggalkan teman-teman yang terus berusaha menjerumuskannya.
"Apa nggak keterlaluan, Dam?" tanya Brahma yang sepertinya juga kurang setuju dengan Adam.
"Nyantai aja, Ma. Kamu juga dulu kayak gitu, kan? Sekarang kamu paling doyan, malah hampir tiap malam datang ke klub papaku," sindir Leo diiringi tawa oleh yang lain.
"Ck. Gheza itu polos. Aku nggak mungkin ikut campur urusan nilai kuliah, apalagi berurusan sama dosen-dosen dan papaku, ogah banget. Tapi ... yaaah, siapa tau aja dia beneran bakal niduri gadis perawan. Ha ha ha."
"Memang bener kata Gheza, kamu itu gila, Dam." Dimas berkelakar.
"Ya, udah balik, yuk. Besok kita udah balik ke kota. Beres-beres sekalian pamit sama warga," ajak Noval menormalkan suasana.
*
"Kamu mau apa?" seorang gadis muda, dengan wajah ketakutan mencoba lari dari cekalan pemuda tinggi di hadapan.
Pemuda itu tidak menjawab. Hanya senyuman tipis yang terbit di kedua sudut bibirnya. Tak peduli dengan penolakan dari gadis tersebut.
"Ja-jangan." Gadis itu mulai bergetar saat tangan si pemuda menggerayangi tubuh bagian belakang. Tak terasa air mata lolos begitu saja. Ia takut. Pikiran-pikiran buruk tentu sudah berkelebat di otaknya.
Sekuat tenaga ia mencoba terlepas. Tetapi malah tubuhnya yang kembali didorong hingga terjerembap di rerumputan hijau nan tebal. Ukuran tubuh kecilnya tidak mampu meski sekadar menggeser posisi pemuda yang kini tepat berada di atasnya.
"Tolooong! To- ...." Seketika gadis bermata bulat itu bungkam. Lebih terkejut saat mengetahui bibir pemuda tersebut menempel di bibirnya. Dia yang makin merasa takut spontan memalingkan wajah. Perasaan aneh tiba-tiba menjalar, ia mulai sadar sesuatu yang buruk sebentar lagi akan menimpanya.
Belum sempat gadis itu berteriak, bibirnya kembali diraup paksa. Kali ini si pemuda tidak memberi kesempatan sama sekali. Dia terus menghisap bahkan sesekali menggigit bibir gadis yang masih dalam kungkungannya.
Tubuh si gadis yang mungil, tenaga yang tidak sepadan, juga rasa takut yang terus menjalar membuat gadis itu tidak memiliki daya untuk melawan. Pemuda itu terlalu besar untuknya, terlalu brutal, terlalu kejam.
Sang gadis hanya bisa mengutuk dalam hati saat pemuda berkulit putih tersebut menarik paksa kemejanya. Penolakan alamiah membuatnya bisa sesekali memukul atau mencakar pemuda itu, meski sepertinya tidak berarti sama sekali.
Kekuatan terakhir dia kerahkan saat pemuda itu menarik rok ke atas hingga menampakkan inti bagian tubuhnya. Dia terus bergerak berharap bisa terlepas. Tetapi lagi-lagi dia kalah kekuatan. Iblis bertubuh manusia di hadapan malah terlihat makin beringas.
Jeritan keras lolos dari bibir gadis kecil itu saat sesuatu yang asing memaksa masuk ke tubuhnya dan mengobrak-abrik harga dirinya. Sakit. Perih. Hancur. Pemuda tanpa belas kasih itu tidak sekalipun memedulikan air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Tak bisa berbuat banyak. Gadis itu memaki, mengumpat dan mengutuk dalam hati. Meski setelah itu, ia berakhir sangat memilukan.
"Hana! Hana! Di mana kamu, Nak!" Teriakan dari beberapa orang yang tidak asing di telinga, membuat gadis itu tersadar. Entah sudah berapa lama dia berada di tempat tersebut.
Matanya menerawang jauh ke langit. Sungai yang masih menganak di kedua kelopak membuat pandangannya buram. Pemuda itu sudah tidak ada. Mungkin langsung pergi setelah menghancurkan kehidupan seorang gadis muda. Ya, gadis muda yang masih berusia sembilan belas tahun. Gadis yang masih baru saja menamatkan sekolahnya.
Suara-suara panggilan itu semakin dekat, membuat kekuatan si gadis muncul untuk sekadar memberitahu keberadaannya.
"I-Ibu, Bapaaak!"