Gadis jelita itu mengusap air mata di wajahnya, ia mendengus dan mengernyit tak suka saat Joko menggodanya dengan kalimat-kalimat penuh percaya diri yang sangat menggelikan.
Tangan kurang ajar Joko hampir menyentuh pipi gadis itu, namun Sang gadis menepis keras-keras.
"Apa sih, jangan pegang-pegang!"
"Ih, Saya kan Cuma ingin menghapus mutiara kesedihan dari wajah ayumu, Mbak. Jangan suuzon begitu ah!"
"Dih, apa sih, Joko! Kamu itu selalu menggoda. Minggir, saya tidak mood mendengar ocehanmu!"
Sang Bidadari berjalan melewati Joko, wanita itu hampir menabrak gerbang jika bukan karena tarikan Joko yang cekatan.
"Mbak!" panggil Joko sambil menarik gadis itu.
Tubuh Sang Gadis terhuyung hingga membentur tubuh Joko, beruntungnya tubuh Joko sangat kokoh hingga tak terpengaruh pada benturan yang terjadi. Ia justru mampu menopang tubuh rapuh sang gadis dan melindunginya dari permukaan tanah yang keras.
Gadis itu terperangah saat melihat wajah Joko yang menunduk di depannya. Ekspresi khawatir Joko dipenuhi kesungguhan, tak ada kesan main-main dan cengengesan di wajahnya, ekspresi yang sangat serius dan khawatir. Pria itu menampilkan ekspresi yang berbeda dari biasanya.
Cahaya matahari yang bersinar di belakang punggung Joko membuat siluet bayangan indah yang membuat wanita itu terperangah, si Joko Tingkir berambut gondrong itu cukup mempesona saat dibelai cahaya mentari yang begitu gemilang.
Ditengah keterpesonaannya, wanita itu tersadar bahwa Joko pun sedang terpesona memandangnya. Pria itu menelan ludah saat menelusuri setiap lekuk wajahnya, apalagi tangan pria itu sedang menahan bokong empuknya yang hampir menyentuh tanah, sedangkan tangan lain Joko menggenggam tangannya.
Pria itu mempererat genggaman tangannya pada bokong empuk sang gadis, meremasnya dengan gemas, sambil menggigit bibir melihat betapa basah bibir sang gadis.
Jakun Joko naik turun semakin rajin. Pemuda yang dilansir berusia tiga puluh lima tahun itu mendekatkan wajahnya pada wajah cantik sang gadis.
Joko menjilat bibirnya yang terasa kering, tenggorokannya sangat haus, dan hidungnya kembang kempis penuh antisipasi. Saat gadis itu mengerjap tersadar, Bukannya berhenti Joko malah terus menunduk hendak mencicipi kemanisan bibir cherry milik gadis yang sedang berada dalam pelukannya.
"Apa yang akan kamu lakukan, bocah edan!?" seru gadis itu.
Joko mengerjap karena teriakan yang mengagetkannya.
"M – Mbak…" lirih Joko dengan suara serak.
"Lepaskan aku!" wanita itu menyingkirkan tangan Joko dari bokongnya, pun menghempas genggaman tangan Joko dari telapak tangannya. Gadis itu mendorong Joko menjauh, dirinya pun berjalan mundur sambil sedikit terhuyung.
"Berani-beraninya kamu berbuat mesum di siang bolong begini!" teriak gadis itu.
"Mbak Livia, saya…" Joko serba bingung. Pria itu menggaruk belakang kepalanya beberapa kali.
"Kamu pikir saya gadis murahan yang bisa kamu sentuh seenaknya, hah?"
"Bukan, bukan begitu, tadi saya… saya tidak mengerti kenapa tangan saya bergerak sendiri, itu bukan saya yang menggerakannya. Pasti ada hantu yang menggerakannya!"
"Hantu malah menuduh hantu! Bisa-bisanya kamu bercanda disaat seperti ini!"
"Mbak Livia, sungguhan saya tidak sengaja. Tadi saya terbawa suasana."
"Suasana! Suasana! Ndasmu!" Livia melangkah mendekat, ia menekan dada Joko dengan ibu jarinya yang runcing oleh kuku palsu, "Saya bukan gadis pinggiran yang bisa kamu perlakukan seenaknya. Saya adalah Livia Tanjung!"
"Iya, saya tahu Mbak adalah Livia Tanjung, anak pemilik pabrik es batu ini, mana mungkin saya lupa, Mbak!"
"Kalau tidak lupa, kenapa kamu berbuat kurang ajar, hah? Pake remas-remas bokong segala!"
"Sungguhan deh Mbak, saya tidak sengaja, tangan saya refleks begitu saja. Mungkin dulu saya punya kebiasaan meremas bokong gadis yang saya peluk, ya sebuah kebiasaan yang sebenarnya tidak saya ingat. Mbak pasti sudah mendengar dari semua orang bahwa saya ini sedikit gila, kan? Iya saya gila, saya gak punya ingatan apa-apa tentang masa lalu saya. Jadi tolong, Maafin Joko ya Mbak…"
Livia bersedekap, gadis itu membuang muka dengan angkuhnya.
"Terserah. Itu bukan urusan saya!! Minggir!"
Lagi-lagi Livia berusaha melewati Joko sehingga pria itu pun menyingkir, membiarkan Livia melihat gerbang yang sejak tadi tertutup dari pandangannya. Tubuh Joko jauh lebih tinggi dari Livia. Joko 185 cm sedangkan Livia 155 cm. Perbandingan tinggi itu membuat tinggi Livia hanya seketek Joko sehingga tidak bisa melihat gerbang yang sejak tadi tertutup dada lebar pria itu.
Langkah Livia terhenti wanita itu pun menyadari jika Joko sudah menyelamatkannya dari gerbang besi yang keras. Gadis itu menepuk jidat, kemana saja dirinya selama beberapa menit terakhir, bisa-bisanya tidak menyadari jika ada gerbang yang berada di belakang Joko. Konsentrasinya sudah runyam tak tertolong.
"Minggir!" tukas Livia jutek, wanita itu tak mau terlihat malu di depan Joko.
Melihat sikap jutek Livia, Joko pun minggir, mempersilahkan Livia melewatinya, dan tepat saat Livia melewatinya, Joko mengulurkan tangan, menghalangi Livia yang hendak keluarg gerbang.
"Apa yang kamu lakukan!?" sungut Livia kesal.
Joko menunduk, berbisik di telinga Livia hingga membuat gadis itu risih.
"Lain kali, jalan hati-hati…" Joko menepuk puncak kepala Livia dengan telapak tangannya yang bebas, "Jangan sampai wajah cantik dan penampilan sempurna Mbak Livia kacau hanya karena nabrak gerbang. Mbak Livia cantik deh, pacarnya ada berapa? Joko mau dong jadi pacar ke dua, ketiga juga tidak apa-apa…"
"Bocah edan!" desis Livia.
"Iya, Edan karena kecantikanmu, Mbak." Timpal Joko sambil cengengesan, "Mbak mau tidak kencan sama Joko, dinner together…"
"Dinner together! Dinner together! Kepalamu! Apa sih, Joko! Bisa tidak bersikap normal seperti manusia waras?"
"Saya tidak waras karena Mbak Livia, Mbak harus tanggung jawab kalau Joko jadi tergila-gila seperti ini."
"Sekali lagi kamu ngawur, saya laporin kamu ke Pak Kasim."
"Eh, kok main lapor sih, Mbak memangnya tidak mau main hati sama Joko?"
Livia memutar mata kesal, "Ogah!"
"Jangan jijik gitu, nanti bisa jadi suka beneran loh…"
"Kamu ini manusia paling kepedean yang pernah saya temui, Joko."
Joko kembali menepuk puncak kepala Livia dengan lembut, lalu membelainya hingga ke belakang tengkuk, Livia yang hendak menolak terlambat karena tangan Joko sudah menggenggam tengkuknya.
Joko menunduk, menyejajarkan wajah dengan Livia yang panik. Joko berdiri gagah di depannya, memagari tubuh Livia di kiri dan kanan dengan tangannya, sedangkan di belakang Livia terdapat gerbang besi yang keras.
Gadis manis itu tersudut, Joko menjulang kuat di hadapannya.
Bermenit-menit Joko tak melakukan apa-apa, hanya diam sambil memperhatikan setiap perubahan ekspresi Livia dari panik, takut, sampai ingin menangis lagi. Gadis itu selalu cantik dalam ekspresi apapun.
Joko tersenyum lebar melihat kecantikan yang menggugah perasaannya, kecantikan yang sangat jarang di daerah pesisir yang gersang. Livia sangat khas seperti gadis kota yang selalu hidup dalam kemudahan, sangat berbeda dengan gadis pesisir yang pejuang.
Dilihat sedemikian rupa oleh Joko berhasil membuat Livia yang semula takut berubah menjadi grogi, tegang dan gemetar. Wanita itu pasti bertanya-tanya apa yang melintas di pikiran Joko sampai pria itu tersenyum lebar seperti kesurupan.
"Kenapa senyum mengerikan seperti itu?" tanya Livia tetap ketus walau tersudut.
Seringai muncul diwajah pria itu, bibirnya mulai bergerak menjawab, "Saya sedang mengancam Tuhan, kalau sampai kita tidak berjodoh, maka saya tidak akan pernah berdoa kepadanya lagi!"
Livia mengernyit jijik sambil menggeleng heran.
"Dasar bocah edan!" desis Livia, lalu melarikan diri seperti dikejar anjing gila.
***