Chapter 3 - Terluka

Ratusan orang dari beberapa organisasi pencinta alam tingkat sekolah menengah telah memenuhi lapangan kosong yang membentang itu. Bahkan barang-barang mereka turut malang-melintang di berbagai tempat. Anggota tim yang diketuai Raga pun berbondong-bondong turun dari bus, mereka memindahkan barang bawaan menuju area yang sudah ditentukan. Suasana sangat ramai, di tengah hiruk-pikuk itu sebagian peserta sibuk mendirikan tenda sebelum langit gelap, yang lainnya menumpuk kayu bakar, dan mengamankan barang-barang bawaan. Di sisi lain muncul permasalahan pada persediaan peralatan tenda yang habis.

"Raga, Kita dalam masalah," lapor Airiya yang tampak lelah dengan wajah kusut karena tak berhasil membuat pasak untuk tendanya.

"Apa...," sahut pemuda itu dengan ogah-ogahan. Mada yang mendengar keluhan itu pun refleks menoleh menatap gadis berambut platinum itu tanpa menyeletuk.

"Bisa kemari sebentar? bantu Aku membuat pasak," pinta Airiya yang menemukan pemuda itu sebagai satu-satunya orang yang tak punya pekerjaan, ia hanya duduk pada kursi selonjor dengan santai sambil memejamkan mata di sebelah tendanya yang bahkan belum benar-benar selesai. Justru Mada lah orang pertama yang merespons dengan menoleh dan mempercepat pekerjaannya.

"Ck! Apa Kamu gak bisa mencarinya di bagasi dulu, huh? merepotkan saja!" ketus pemuda itu membuat suasana jadi semakin buruk, bahkan ia tak segera beranjak dari tempat duduknya.

"Semua pasaknya sudah terpakai, sialan! Jika gak mau membantu pulanglah, dasar makhluk gak berguna!" rajuk gadis itu seraya berpaling memasak sendiri pasaknya sambil bersungut kesal.

Raga pun membuang nafas dengan kasar, kemudian beranjak dan tanpa ia sadari Mada mengekor di belakangnya. Pemuda itu menyambar golok dan kayu dari tangan sekretarisnya. Ketika ia mulai memasak kayu tersebut, ia menyadari bahwa logam tajam tersebut akan lepas dari gagangnya.

"Pergi dan duduk manis saja di sana dasar Kalian tidak becus!" ketusnya agar Airiya dan yang lain menjauh, dan dia sukses membuat orang-orang menyingkir karena sebal padanya.

Pemuda itu mulai memasak kayu di tangannya, ia menebaskan golok itu beberapa kali hingga mendadak logam tajam nan dingin itu lepas dari gagangnya dan terlempar ke belakang menuju ke arah sekretarisnya berdiri.

"Awas!" pekik Mada seraya menangkis logam tersebut dengan tangan kosong tepat sebelum mata logam itu mendekati Airiya, Airiya pun menoleh mendengar pekikan Mada. Para gadis yang melihat kejadian itu menjerit ngeri, mencuri perhatian orang-orang bahkan dari tim sekolah lain.

Mada langsung membungkuk sembari membekap tangannya erat-erat. Ia membuka telapak tangan kanannya dengan hati-hati. Melihat darah yang mulai merembes keluar dari telapak tangannya Mada kembali teringat dengan mimpi mengerikannya semalam, tangannya pun mulai bergetar ngeri. Luka yang terpapar udara membuat rasa perih mulai menyergap hingga nafasnya memburu karena panik. Semua orang pun bergidik ngeri terutama si Ketua yang langsung disergap kepanikan dan rasa bersalah karena tak sengaja melukainya, ia melepas kaosnya dengan segera untuk membalut tangan Mada.

"Te-telefon dokter! kubilang cepat telefon dokter!" bentaknya kalut dengan tubuh gemetar.

"Tidak ada dokter di tengah hutan!" ketus Airiya kalut dengan tangan bergetar hebat karena panik.

Tiba-tiba seorang anggota yang bertugas di bagian P3K muncul dan membelah kekacauan. Ia memapah Mada menjauhi kerumunan menuju tenda unit kesehatan. Sementara itu Raga tampak terdiam dengan nafas terengah, ia hanya diam seribu bahasa dengan raut muka ketakutan, tangannya masih bergetar dan wajah pasi. Tak sedikit dari para anggota yang menggunjingkannya dengan mengait-ngaitkan kejadian ini dengan rumor yang beredar seputar pemuda itu, selain itu Airiya juga masih begitu terkejut dan ketakutan, ia juga merasa bersalah pada Raga. Mendengar gunjingan orang-orang Raga pun kembali terpuruk.

"Semuanya kembali selesaikan tugas masing-masing!" seru Airiya berusaha menahan getaran suaranya. Semua orang pun membubarkan diri dan kembali pada pekerjaan masing-masing. Airiya pun melepas jaket bomber ukuran besar yang biasanya mereka pakai bergantian atau berebutan dan mengulurkannya pada Raga. "P-pakailah, j-jangan sampai Kamu kedinginan," gumamnya terbata dan masih gemetaran, ia tak berani menatap Raga yang tampak ketakutan dan sama syoknya, pemuda itu hanya bungkam dan bergeming.

Hal itu membuat Airiya semakin merasa bersalah dan menciut, ia pun menjejalkan jaket tersebut ke tangan Raga yang gemetaran. "Ambillah, A-Aku janji gak akan merebutnya lagi," gumam Airiya tak berani menatap pemuda itu. Tiba-tiba Raga berlalu menjauh dari orang-orang menuju luar area perkemahan tanpa sepatah kata.

Di lain tempat di dalam tenda unit kesehatan, petugas P3K yang menangani luka Mada tengah berkutat mencari kotak putih. "Ta-tanganku terpotong..., ap-pa yang ha-harus kulakukan...! darahnya gak mau be-berhenti keluar...! Ap-apa Aku akan mati?!" racau Mada kalang kabut dan terbata.

Anggota P3K itu pun beralih memegang pergelangan tangan Mada, dengan kotak putih di tangannya yang lain "Tenanglah. Kamu akan baik-baik saja, percayalah, tarik nafas dan keluarkan perlahan, tenangkan dirimu," tuntun anggota P3K itu yang juga berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Mada pun terus menatapnya dengan cemas mencari kesungguhan di sana, dan mencoba mengikuti instruksi anggota P3K tersebut. Perlahan ia mulai menguasai dirinya, namun tatapannya yang cemas itu terus mengikuti gerak-gerik anggota P3K tersebut. Dengan lincah anggota P3K  tersebut mengeluarkan sebuah botol dan kapas dari kotak putih. Anggota PMR  itu mulai membasuh tangan Mada yang dilumuri cairan merah pekat, seketika pemuda itu tersentak sambil menahan erangannya.

.

Petugas P3K tengah membalut tangan Mada ketika seseorang menyibak pintu masuk tenda unit P3K. Mada dan petugas itu pun langsung menoleh dan menatap Airiya yang menyembulkan kepalanya sambil mengedarkan pandangannya ke dalam tenda.

"Apa yang sedang Kamu cari?" tanya petugas itu heran.

"A..., Aku datang untuk memeriksa keadaan Mada," jawab Airiya lirih dengan suara agak serak, mata dan hidungnya terlihat memerah menahan tangis.

"Kamu mencari Raga, kan?" tebak Mada tepat sasaran.

"Maaf...," gumam gadis itu semakin merasa bersalah karena ketahuan lebih mengkhawatirkan orang lain.

"Lebih baik Kamu segera mencarinya karena sebentar lagi akan gelap, katakan padanya bahwa Aku gak apa-apa dan jangan terlalu menyalahkan diri," gumam Mada tanpa mengalihkan pandangannya pada tangannya yang tengah diperban, kini ia jauh lebih tenang. Airiya pun mematung di tempat sambil menatap punggung Mada yang membelakanginya.

Suasana jadi hening, Mada pun menoleh dan menatap Airiya yang masih tertegun, "Apa yang Kamu tunggu?"

"Apa Kamu marah pada Kami? Apa Kamu benar-benar gak apa-apa? Andai Aku gak berdiri di sana tanganmu gak akan terluka, kan?" mata Airiya mulai berair sangking merasa bersalah.

"Tentu saja tidak, ini hanya kecelakaan, Airiya. Kalian sama sekali gak bersalah. Dan tolong jangan menangis. Cepatlah cari Raga, ia tampak sangat panik tadi. Aku baik-baik saja, jangan terlalu cemas."

Melihat senyum tipis Mada yang hangat, Airiya pun mengangguk cepat sambil menyeka air matanya dan segera pergi mencari Raga. Ia melewati jalan setapak menuju hutan, meski sudah cukup jauh ia memasuki hutan, ia tidak menemukan siapa pun di sana. Ia berniat kembali ke perkemahan ketika langkahnya terhenti karena mendengar suara isakan yang samar dari arah sungai. Bukannya takut, gadis itu justru merasa penasaran dan mencari sumber suara tersebut. Ketika ia berbalik, ia terperanjat mendapati Raga duduk meringkuk di antara semak-semak sembari membenamkan wajahnya.

Pemuda itu merasakan ada seseorang yang mendekatinya, ia mengangkat wajahnya dan mendapati Airiya sudah berdiri di hadapannya. Pemuda itu terkejut dan segera menghapus air matanya seraya membuang muka, karena ia akan sangat malu jika yang melihatnya ialah Airiya, si gadis iseng sialan.

"Apa yang Kau mau, huh?"

"Ck! Dasar bodoh! Sudah kubilang pakai jaketnya, kan?!" bentak Airiya seraya menyambar jaket bomber yang tergeletak di tanah dan melemparnya ke wajah Raga. Dengan ogah-ogahan Raga memakainya tanpa membantah, wajahnya tampak kuyu.

"Sepertinya tanganku memang pembawa sial," lirih Raga membuat Airiya sempat menatapnya prihatin.

"Mada baik-baik saja, dia menyuruhku mencarimu untuk segera kembali karena sebentar lagi akan gelap," tukas Airiya seraya beringsut duduk di sebelah Raga. "Jangan menangis dasar cengeng!" olok gadis itu sembari mendorong Raga dengan sikutnya.

Raga pun balas mendorong gadis itu hingga ia terhuyung ke samping, "Memangnya Kau juga gak menangis?! Siapa yang akan merasa baik-baik saja setelah melukainya, huh?"

Gadis itu pun menatapnya tajam dan menendang bahunya dari samping. Mendadak sesosok manusia jatuh dari atas dan mendarat dengan apik tepat di hadapan mereka membuat Raga dan Airiya memekik kaget. ***