Chereads / Grey Kaf Nath / Chapter 1 - 01 | Sebuah Awal

Grey Kaf Nath

šŸ‡®šŸ‡©Re_Faria
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 01 | Sebuah Awal

BAB 01

SEBUAH AWAL

Nath | Raiga Jonathan

_____________

Sebentuk wajah dengan mata tajam dingin, bibir serius tanpa senyum, serta tubuh kokoh proporsional yang kini sedang berjalan lenggang ke arahku.

Tidak ada satu pun yang mampu mengabaikan kehadirannya.

Meski aku hampir tidak pernah memuji sesama jenis, kuakui kalau penampilannya memang keren dan memukau. Aku yakin, bukan hanya aku saja yang sedang mengamati pergerakannya. Kupergoki dua orang petugas resepsionis bahkan tengah memelototinya secara terang-terangan.

Aku, Nath. Dan mataku masih berputar mengikuti gerak tubuh laki-laki tinggi itu.

Kulit putih bersihnya terbalut jas abu-abu yang dipadukan dengan jins hitam kinclong. Bagiku, selera fashion-nya cukup bagus. Rapi. Namun tetap kasual dan tidak terlihat kaku. Sangat cermat. Gaya rambutnya pun ala-ala bos muda yang sering mendapat sentuhan pencukur profesional. Secara penampilan, dia oke. Kutebak usianya di bawah dua-tujuh.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu?"

Penjaga lobi yang tadi sempat genit padaku, kini memulai aksinya kembali. Melihat ada umpan yang lebih menggiurkan, akhirnya perempuan itu menghadang lelaki asing yang baru saja melangkah ke ambang pintu lobi.

Lelaki itu hanya membalas dengan gelengan kecil, lalu duduk di sebelahku tanpa suara. Sementara itu, perempuan tadi kembali ke tempatnya dengan wajah masam.

Hawa dingin mulai berpendar di lobi ini, lobi yang didesain cukup sederhana. Hanya berbentuk persegi yang ditutupi kaca di setiap sisinya. Gorden putih tulang yang tergerai menambah kesan simpel. Namun, berada di dekat lelaki itu membuatku sedikit minder.

Bagaimana tidak?

Siang ini, aku hanya mengenakan kemeja navy dengan lengan digulung hingga menyentuh siku, dipasangkan dengan celana jins belel yang sudah kulupakan kapan terakhir kali aku menyetrikanya. Rambutku undercut gaya lama, tanpa pernah dioles minyak rambut dan selalu dibiarkan berantakan bila lupa disisir. Kehadiranku pun tidak menjadi pusat perhatian.

Diam-diam, aku melirik ke arah lelaki asing di sebelahku.

Ia duduk santai. Kaki kanannya menumpang di atas kaki kiri. Wajahnya kaku. Matanya pun masih fokus pada jam tangan, meski tidak setajam sebelumnya.

"Nunggu siapa?"

Setelah beberapa detik perang batin, akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya lebih dulu. Aku hanya menghindari kecanggungan ini, meski kutahu kalau pertanyaanku tidak cukup menarik untuk ia jawab.

Seperti dugaanku, lelaki itu tidak cepat membalas. Dia mengamatiku sesaat. Mungkin ia sedang menilai penampilanku. Melihatku dengan ujung mata tajamnya, membuatku merasa bahwa bertanya padanya adalah salah satu tindakan terbodohku.

Selesai mengamatiku, ia menjawab singkat, "Pemilik hotel."

Suaranya berat dan dalam. Tegas, sekaligus terdengar seksi di waktu yang bersamaan.

Tunggu, aku ini laki-laki normal, ya. Aku tahu, tidak sepantasnya aku menggunakan kata "seksi" terhadap sesama jenis. Tapi, aku memang tidak menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan jenis suara misteriusnya itu.

Mendengar jawaban lelaki itu, punggungku spontan menegak. "Om Benri 'kan maksudnya?" tanyaku, memastikan.

Ia hanya mengangguk kecil. Tampak tak begitu peduli dengan eksistensiku.

Tapi, siapa sangka kalau ternyata tujuan kami sama?

Ya, aku rela memesan tiket first flight dari Semarang, pukul enam pagi, demi terbang ke Jakarta untuk memenuhi pertemuan mendadak dengan Om Benri hari ini. Padahal, beberapa hari terakhir, aku memiliki jadwal les yang cukup padat. Salah satu muridku bahkan sampai merengek, memintaku agar tidak pergi. Tapi, aku harus pergi. Permintaan Om Benri sudah seperti kewajiban bagiku. Tidak pernah sekalipun aku menentangnya.

Detik berikutnya, kami kembali terperangkap dalam keheningan. Kali ini berlangsung cukup lama. Ia sibuk dengan ponselnya, beberapa kali bergerak menjauh ketika menerima telepon.

Sementara aku hanya mengamati suasana di sekitar. Orang-orang berlalu-lalang di luar lobi. Penginap di hotel ini lumayan banyak, omong-omong. Kulihat beberapa orang tengah mengantre di ruang check-in. Beberapa yang lain sudah berhambur membawa kopernya menuju kamar yang sudah dipesan.

"Hai, boleh gabung?"

Sebuah suara berhasil mendistraksi pengamatanku. Aku mendongkak. Menemukan lelaki lain sedang berdiri di hadapanku dengan cengiran lebarnya. "Kata mbak-mbak yang tadi, gue suruh nunggu di sini," ujarnya lagi.

Aku sedikit terkejut ketika pemuda berkemeja marun itu duduk di depanku. Aku bahkan belum mengizinkannya. Well, meskipun kenyataannya itu tidak perlu.

Lelaki itu memandangiku dengan seringai pongah. Rambutnya sedikit gondrong nyaris menutupi mata, bibirnya tipis sedikit kehitaman, jelas meneriakkan seorang pecandu rokok.

"Eh, kenalin dulu, gue Kaf." Ia menyodorkan sebelah tangannya ke arahku. "Udah lama di sini?"

Cepat, aku menjabat tangannya. "Aku Nath," ucapku disertai senyum tipis. Dapat kurasakan telapak tangannya yang hangat dan kasar, mencerminkan betapa kerasnya ia bekerja. Kulitnya pun cokelat matang, seperti sering memandikan diri di bawah sinar matahari. "Hm, lumayan," sambungku.

"By the way, lagi nunggu siapa?" lelaki bernama Kaf itu melirik manusia dingin di sampingku, berusaha menariknya ke dalam percakapan kami.

"Om Benri, pemilik hotel ini," kataku saat Kaf melepaskan tangannya perlahan.

"Oh, dia juga?" Kaf menunjuk lelaki dingin itu dengan dagunya.

Aku mengangguk mengiyakan.

"Oi, nama lo siapa? Gue Kaf." Kali ini, Kaf menyodorkan tangannya pada lelaki itu, disertai cengiran yang sama seperti saat ia mengajakku bicara.

Lelaki itu menatap tangan Kaf tanpa selera. Bibirnya masih rapat. Mimiknya tak berubah. Masih sedingin seperti sebelumnya.

Tentu saja Kaf merasa tersinggung. "Oh, gue paham. Nggak terbiasa bersentuhan sama rakyat jelata?" Sarkasme, Kaf justru memberikan pertanyaan retoris.

Dengan wajah datar, lelaki itu membalas, "Grey."

Aku hampir saja tidak mendengarnya. Suaranya sangat pelan dan dalam. Apa yang dia katakan barusan?

Gray? Abu-abu?

"Hah? Apa?" Rupanya Kaf juga merasakan ketulian yang sama.

"Grey. Itu nama saya," ulangnya sekali lagi, kali ini dengan lebih keras dan sedikit menekan.

Kaf hanya mengangguk paham, tak berani mengomentari nama lelaki itu yang mungkin terdengar asing bagi kami. "Omong-omong, ini nggak ada minuman? Jus atau apa kek," Kaf berbasa-basi sembari mengusap tenggorokannya.

Tapi, dia benar. Sedari tadi, pemandangan di atas meja hanya kotak tisu dan vas bunga kecil saja. Tidak ada apa-apa. Tidak ada satu orang pun yang peka dan menghidangkan air secara cuma-cuma.

Padahal, udara di luar sangat panas. Tenggorokanku kering kerontang akibat kekurangan cairan dan terlalu banyak merokok. Aku tahu kebiasaanku yang satu itu dapat memperburuk kesehatan. Tapi, jangan salahkan aku. Salahkan saja kenikmatan hakiki yang berasal dari pembakaran nikotin yang masuk ke dalam paru-paruku itu. Maaf.

"Coba kamu pesan. Aku sih sudah duduk di sini dari tadi, tapi nggak ada satu pun yang memberi minum," sambungku, akhirnya.

Belum sempat Kaf membalas, mataku tiba-tiba menemukan sosok tak asing yang tengah berjalan tergesa ke arah kami.

Seorang pria bertubuh tinggi besar, sepasang mata cokelat yang menatap bersahabat, serta senyuman yang sudah mengembang sejak detik pertama ia melihat kehadiran kami.

"Sudah lama menunggu?"

Pria itu, yang kukenal sebagai Om Benri Diwanta, kini sudah berada di tengah-tengah kami. Wajahnya masih awet muda, sama seperti apa yang kuingat beberapa bulan lalu.

"Maaf ya, tadi saya ada pertemuan penting dengan klien. Jadi sedikit terlambat," imbuhnya, disertai senyum kulum.

Aku berdiri, begitupun dengan Kaf dan Grey.

"Nggak papa. Gimana kabarnya, Om?" Kaf yang pertama kali bersalaman dengannya. Disusul aku dan Grey.

Om Benri tersenyum sekejap, namun segera pudar begitu ia menjawab, "Saya sehat, tapi pikiran saya tidak ada sehatnya sama sekali."

Aku tidak tahu hubungan apa yang mengikat antara Kaf dan Om Benri. Tapi yang jelas, aku melihat kedekatan dari keduanya. Sangat dekat. Seperti sudah lama saling mengenal.

"Apa yang terjadi, Om?" Aku ikut bertanya.

"Saya akan jelaskan semuanya, tapi tidak di sini. Kalian bertiga ikut saya sekarang." Om Benri menepuk pundak kami secara bergantian.

Dan, tanpa direncanakan, kami bertiga mengangguk serempak.

*

Yang pertama kali terlintas dipikiranku ketika melihat ruang sempit dengan tembok hitam, empat kursi kosong, dan satu meja polos berbentuk bundar, ialah tempat penginterogasian.

"Duduk dulu, pembicaraan ini jauh lebih serius dari suara perut kalian yang kelaparan."

Boom!

Om Benri menyindirku. Sepertinya radar dukun miliknya masih berfungsi dengan baik.

Kami berempat duduk melingkar dengan formasi aku-Kaf-Grey-Om Benri. Tidak ada yang berani membalas ejekan itu. Kami bertiga diam menatap pria itu lamat-lamat.

Lampu redup yang menggantung tepat di atas kepala kami, membuat ruangan ini terasa lebih sempit dari kelihatannya.

"Baik, sebelumnya saya minta maaf karena tiba-tiba meminta kalian datang ke sini. Saya tahu kalau kalian punya kesibukan masing-masing." Om Benri menatap kami satu per satu. Tangannya bersidekap di atas meja. "Tapi saya sangat membutuhkan kalian. Hanya kalian yang bisa membantu saya."

Mendengar kalimat itu, aku tahu, ada sesuatu yang tidak beres.

"Mari saya ceritakan dari awal," ujar Om Benri lagi, tahu kalau tak ada yang berani menyela ucapannya. "Kalian masih ingat putri saya, 'kan?"

Tanpa sadar, kami mengangguk secara bersamaan.

Dan, ya. Tentu saja aku masih ingat putri semata wayang Om Benri Diwanta. Gadis berusia tujuh belas tahun itu bernama Caesa Ibrianis. Dia memiliki paras yang cantik dan tubuh yang seksi. Wajahnya kerap kali hadir di layar televisi atau di cover majalah remaja. Dia pintar secara akademis.Ā  Berbakat di bidang modeling maupun tarik suara. Aku pernah beberapa kali bertemu dengannya saat dia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Saat aku diminta Om Benri untuk mengajarinya bermain piano dan melatih vokalnya.

"Iya, aku inget, Om. Caca pernah mampir di bengkelku waktu mobilnya mogok," cetus Kaf, membuatku sedikit mengernyit dan meliriknya dengan tatapan heran.

"Caca?" aku membeo, lebih terdengar seperti bisikan.

Kaf mengangguk ke arahku. "Iya. Caca. Caesa. Panggilan iseng sih, hehe."

Hanya mendengus kecil, aku memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya lagi.

"Memangnya kenapa dengan Caca, Om?" Akhirnya pertanyaanku diwakilkan oleh Kaf.

Om Benri menghela napas sejenak. Kulihat kantung matanya begitu hitam dan dalam. Sebuah bukti bahwa ia tak memiliki banyak kesempatan untuk mendapatkan waktu tidur yang cukup.

"Sudah dua hari, Caesa hilang. Biasanya, dia memberi kabar jika pergi ke luar kota atau kemana pun. Tapi semenjak dia pamit ke Bogor, dia hilang kabar. Saya sudah menghubungi manager-nya. Tapi dia bilang, Caesa pergi ke Bogor sendirian, tanpa asisten juga. Saya belum melaporkan ini ke polisi. Dan saya juga belum membicarakan hal ini pada istri saya."

Ia menggigit bibir bawahnya yang tebal dan berwarna kehitaman. Sebelah tangannya memijat pelipis, sementara tangan lainnya mengetuk-etuk random di atas meja.

"Kalau istri saya tahu Caesa hilang, dia bisa kena serangan jantung lagi. Jadi, saya berbohong padanya dan berkata kalau Caesa sedang liburan di Bogor. Saya tidak ingin membuat istri saya cemas. Kesehatannya sedang memburuk akhir-akhir ini. Saya tidak mungkin membebani pikirannya dengan masalah ini. Maka dari itu, saya meminta bantuan kalian untuk mencarinya."

"Kenapa Om nggak meminta polisi untuk mencarinya?"

Sebagai Chief Executive Officer BD's Group yang perusahaannya beranak-pinak di mana-mana, harusnya Om Benri memiliki banyak koneksi yang dapat membantunya mencari keberadaan Caesa, alih-alih memercayakannya pada kami.

"Saya sempat berpikir begitu, Nath. Tapi ini masalahnya berbeda. Tadi malam, saya mendapat telepon dari seseorang, nomornya tidak dikenal. Dia mengatakan kalau Caesa baik-baik saja, dan akan tetap baik-baik saja jika saya mengirimkan uang tebusan padanya sebesar 10 Miliyar. Dengan syarat, saya tidak boleh melaporkannya pada polisi."

"Maksudnya, Caca diculik, Om?" Kaf membulatkan kedua bola mata almond miliknya.

Aku merasakan keterkejutan yang sama. Entah dengan si Grey-Grey itu, yang masih saja betah berdiam diri dengan wajah tanpa ekspresinya.

Lesu, Om Benri mengangguk. "Iya, Kaf. Saya sangat mencemaskan keadaan Caesa. Dia putri saya satu-satunya."

Selama aku mengenal Om Benri, belum pernah aku melihatnya sepanik ini. Kehilangan Caesa pasti membuat pikirannya kacau.

"Grey, Kaf, Nath, saya minta kalian untuk mencari Caesa. Saya tidak tahu di mana lokasi tepatnya, tapi, orang yang semalam menelepon saya memberikan satu clue."

"Apa cluenya, Om?"

[...]