Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Meurtre

🇮🇩Bram_Pratamada
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.3k
Views
Synopsis
#Thriller, Crime, Mystery. Semua yang terjadi dalam cerita ini hanya fiktif belaka. Seperti biasa, rutinitas kereta api yang datang silih berganti ramai seharian ini. Enam jalurnya tak pernah sepi dari deru bising yang melintas. Dan tentu seperti hari-hari pada umumnya, banyak orang yang masih setia menunggu kereta di sini. Renovasi setahun yang lalu menampilkan wajah baru stasiun yang menjadi ciri khasnya, megah berdiri dua bangunan besar ini mengapit sisi timur dan baratnya. Bocah laki-laki yang terbiasa mondar-mandir di stasiun ini juga kerap kali terlihat. Tiga tahun sudah ia berseliweran mengumpulkan pundi-pundi rupiah di stasiun yang biasa di sebut Gubeng ini. Perkakas kotak hitam itu selalu ia bawa mengiringi setiap langkah kecilnya mencari pelanggan. Namun di sela-sela pekerjaannya, sama sekali tak pernah terpikir olehnya akan terlibat masalah dalam suatu pembunuhan. Tak ada saksi mata kecuali Si Bocah penyemir sepatu ini. Dalam kepanikan, pemuda mencurigakan yang sempat ia temui juga turut menyeretnya dalam petualangan panjang. Untuk beberapa saat, situasi mencekam menyelimuti stasiun. Pembunuhan demi pembunuhan masih berlanjut menyisakan tanda tanya, ketakutan, dan kecemasan bagi mereka yang tinggal di sekitarnya. Sementara kepolisian kesulitan mencari pembunuhnya, nyawa bocah kecil ini dalam cengkeraman bahaya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Jumpa Pertama

Surabaya, 25 April 1997.

TUUUUUTTTTTTTT!!!

Nyaring pekiknya terdengar menggema memekakkan telinga, tepat pukul 16:23 WIB, lantang bunyi klakson terngiang bagi siapa saja yang menginjakkan kaki di stasiun ini. Sekejap pintunya terbuka sejak decit suara rem tak terdengar lagi, tak butuh waktu lama, kerumunan ini sontak keluar menuruni tiap gerbongnya. Langit sore tak sungkan beramah tamah, seakan sengaja menyapa kereta api yang baru berhenti ini beserta seluruh penumpangnya.

Beberapa senyum mulai mengembang, menyiratkan rasa lega atas berakhirnya perjalanan panjang yang sudah mereka lalui. Tibalah saat di mana mereka akan pergi menuju tujuannya masing-masing.

Tak begitu jauh dari hiruk pikuk kereta yang baru saja berhenti, di seberang sana, tepatnya di dalam bangunan lama sebelah barat. Sosok kecil berkaos polos abu-abu ini sedang serius menyemir sepatu pelanggannya. Terduduk Sang Bocah di atas bangku kecil yang sudah ia siapkan, tangan kecilnya memperlihatkan kelihaiannya dalam menggosok sepatu. Ah, mata itu, tiap sisinya benar-benar diperhatikan seolah memastikan hitam semirnya benar-benar merata.

"Wah, sudah datang, Dik!" ucap Sang Pelanggan menyadari keretanya berhenti tepat di seberang sana.

Rapi dan elegan. Jaket kulit hitam itu menutupi kemeja hijau gelap yang di kenakan, tampak sangat pas dengan postur tubuhnya yang tegap berisi. Sebuah koper hitam pun tak luput di genggamnya erat-erat.

"Sudah selesai belum?" lanjutnya lagi sambil melempar senyum pada Si Bocah.

"Sudah Pak," jawab bocah kecil ini singkat.

Lantas bangkit sosok kecil ini menyodorkan hasil kerjanya dengan percaya diri, dari gelagatnya seolah dirinya menyuruh Si Pelanggan mengecek apakah ada bagian yang belang atau tidak? Dan yang pasti, tentu ia akan meminta upah jasanya mengingat Sang Pelanggan akan segera pergi.

"Seribu Pak! Kalo hitamnya nggak rata saya yang bayar dua ribu," celetuknya asal-asalan diikuti jarinya mengacungkan angka dua.

"Haha bisa begitu ya? Ya sudah ambil saja, Dik," jawab pria ini ramah sambil merogoh saku kemejanya dibalik jaket hitam yang ia pakai.

Ia lantas memberikan koin seribu seraya tangannya memegang pundak Si Bocah dengan pelan. Tangan kecil penyemir sepatu ini pun langsung menerima koin yang diberikan, tak luput ia memerhatikan tangan pria ini saat memegang pundaknya. Entah kenapa perhatiannya tertuju pada jam tangan yang di kenakan Si Pelanggan, tanpa sadar ia memegangnya tanpa ragu.

"Jamnya bagus, Pak," ucapnya.

"Haha, Kamu yang pintar ya, ada baiknya kamu kembali ke sekolah dari pada kerja seperti ini, kamu masih kecil loh... sandalnya tak masukan kotak ya, Dik," balas si pria seraya menutup perkakas hitam milik Si Bocah.

Agaknya pria ini sedang terburu-buru, bahkan ia tak menghiraukan pujian akan jam tangannya dan segera pergi berlalu. Sandal jepit yang dipakainya tadi memang milik Si Bocah, ia terbiasa meminjamkannya sebagai alas kaki sementara saat ia menyemir sepatu pelanggannya. Meski di patok tarif seribu rupiah, nyatanya bocah ini cukup senang, lagi pula seharian ini sudah tujuh belas orang yang sudah ia semir sepatunya.

Tak bergeming, Sang Bocah hanya memandangi kepergian pelanggan terakhirnya dari kejauhan. Sosok berkemeja hijau gelap yang membawa koper itu sudah tak terlihat lagi sejak turun menyeberangi rel, mungkin ia sudah memasuki gerbong kereta sekarang. Seolah terngiang perkataan Si Pelanggan, dirinya masih mematung di tempatnya. Di usianya yang masih sepuluh tahun sudah sewajarnya seorang anak akan pergi bersekolah. Namun lain lagi dengan Si Bocah yang sudah putus sekolah sejak tiga tahun lalu. Tangannya merogoh saku celana disertai bunyi gemercik yang khas, kepingan koin yang ia kumpulkan seharian ini lantas ia keluarkan sembari menghitungnya.

"Cukuplah buat hari ini," ujarnya yang tersenyum puas.

Jemari kecilnya mengusap-usap bagian bulat di tengah koin seribu ini yang berwarna emas, mungkin itu menjadi kesenangan tersendiri baginya setelah seharian ini bekerja. Koin ini pula yang setiap harinya memenuhi isi kantong Si Bocah.

Sejenak ia terduduk, perkakas kotak hitam itu di peluknya di atas lutut entah sekedar pengalihan rasa letih atau ia sedang memikirkan sesuatu saat ini?. Tanpa ia sadari sekelilingnya pun mulai sepi.

TUUUUUTTTTTTTT!!!

Bunyi yang memekakkan telinga itu kembali terdengar diiringi laju kereta yang mulai beranjak meninggalkan stasiun. Saat kereta itu telah benar-benar pergi, tampaklah pemandangan yang sedari tadi tertutup oleh gerbong-gerbongnya. Si Bocah mendongakkan kepala, mulai bergumam dirinya menyaksikan apa yang sedang ia hadapi. Kilauan itu seakan mengalihkan semua rasa letihnya seharian ini.

"Merah sekali...." ucapnya lirih tanpa mengalihkan pandangan.

Terkesan sangat merah rona senja di depan matanya, rasanya tak seperti hari-hari kemarin. Kain yang di pakainya mengelap sepatu bahkan ia gunakan menyeka keringat di dahinya. Dirinya benar-benar melamun tak berdaya kala berhadapan dengan cakrawala sore yang menawan saat ini.

Matanya sama sekali tak berkedip, mungkin ia sedang menikmati suasana yang menghanyutkan kesadarannya. Pupil matanya tampak perlahan membesar di terpa cahaya merah yang membiusnya.

CLAPP!

Lamunannya harus berakhir karena sebuah tangan tiba-tiba menepuk pundak kanannya. Sontak dirinya pun terkaget dan langsung menoleh ke belakang.

"Pak Ridwan!" Serunya agak keras.

"Indra kenapa?" tanya seorang satpam di belakangnya yang heran dengan dirinya.

Meski kaget dengan tepukan tersebut, bocah kecil yang di panggil Indra ini mencoba tetap tenang.

"Enggak Pak! Cuma duduk-duduk disini, lagi santai," jawabnya asal-asalan.

"Jangan di biasakan melamun ya! Ini Bapak ada camilan kalo kamu mau," rayu Pak Satpam seraya menyodorkan sebungkus biskuit pada Indra.

"Enggak usah pak! Saya mau langsung pulang kan sekarang sudah sore, ibu juga sendirian di rumah," sahut Indra seraya menolak, segera ia bangkit dari duduknya.

"Sudah bawa saja enggak apa-apa kok," pinta Satpam ini yang masih memaksa Indra menerimanya.

Sepertinya ia memang tak diberi kesempatan untuk menolak, mau tak mau, Indra pun terpaksa menerima biskuit tersebut. Belum sempat ia berucap terima kasih, Satpam Stasiun ini sudah pergi meninggalkannya seraya melambaikan tangan. Merasa sekitarnya sudah benar-benar sepi, Indra pun segera beranjak pulang, iseng jemarinya pun mengambil satu biskuit.

"Enak juga ya," ucapnya tersenyum kala lidahnya mengecap rasa manis vanila.

Perkakas hitam yang ia bawa di tangan kanannya, menandakan ia sudah terbiasa menenteng berat kotak tersebut. Sudah terbiasa pula ia berjalan pulang menyusuri pinggiran rel setelah seharian bekerja. Rumahnya tak begitu jauh, agak ke utara beberapa meter dari Stasiun Gubeng. Selain menyemir sepatu, terkadang ia juga mencari barang-barang bekas di sekitar stasiun untuk kembali dijual. Waktu bermain pun rasanya sudah tak begitu ia pikirkan.

Baru saja dirinya hendak turun menyusuri rel, lamat-lamat terdengar olehnya suara langkah seseorang dari belakang. Meski pelan, tiap ketukan derap sepatu itu akhirnya berhasil membuatnya menoleh ke asal suara.

"Pak Ridwan, ini biskuitnya...." ucapnya yang tiba-tiba terdiam.

Tak seperti dugaannya, ternyata yang mendekatinya bukanlah Satpam Stasiun. Ia mengamati lekat-lekat sosok berkacamata hitam tersebut, matanya yang menyipit menandakan jika ia memang tak mengenal orang ini. Kemeja hitam lengan panjangnya ia lingkis menampakkan kedua tangannya yang ia masukan ke dalam saku celana. Dari dalam saku celananya, terlihat ia seperti membawa sesuatu? Tampaknya itu ujung dari sebuah koran.

"Ini seperti di film-film, jangan-jangan memang seperti ini sosok pencabut nyawa?" batin Indra masih memperhatikan sosok yang mendekatinya.

Mungkin usia dari pemuda yang berpakaian serba hitam ini sekitar dua puluhan. Langkahnya berhenti tepat saat ia sudah berhadapan-hadapan dengan Si Bocah, sejenak keduanya diam saling pandang, namun siapa sangka Indra kecil malah tersenyum menyapanya.

"Anu, apa kakak mau di semir sepatunya? Hehe, tapi maaf ini sudah sore, sekarang saya mau pulang dulu," ucap Indra kecil ini sambil tersenyum.

CLAPP!

Terkesiap Si Bocah saat tangan pemuda ini tiba-tiba memegang pundaknya. Belum habis keterkejutannya, Si Pemuda lantas menundukkan kepala memandang lekat-lekat wajahnya dari dekat, tatapan itu seolah sedang menerawang jauh ke dalam sosok kecil ini.

Kemilau merah senja itu pun mengenai kacamata si pemuda, samar-samar terlihat mata di balik kacamata hitam itu. Entah kenapa sorot matanya yang tenang malah terkesan tajam, tak ada keraguan ataupun niat ingin bercanda sekarang. Mata itu pula yang membuat Si Bocah diam tertegun tak mengerti apa yang sedang terjadi dengannya, ia hanya merasakan kakinya seolah berat untuk di gerakkan.

"Pernah bunuh orang?" tanyanya bersamaan dengan angin yang berembus pelan mengenai keduanya.

Keluarnya pertanyaan dari mulut Si Pemuda yang sedari tadi diam ini membuat Indra menelan ludah beberapa kali. Meski pelan dan terkesan datar saat bertanya, tapi itu sudah cukup membuat bocah kecil ini tercekat sesaat. Dengan pelan ia mengeratkan pegangan di pundak Indra membuat bocah ini mulai ketakutan dalam keheranannya. Sesuatu di balik kemeja hitamnya juga tak sengaja Indra perhatikan. Sekilas dari balik pinggangnya, bentuk yang menonjol dari lekukan benda itu membuat Indra yakin, pemuda ini sedang membawa pistol sekarang!. Nyalinya menciut kala membayangkan apa yang akan terjadi padanya sore ini, sementara cengkeraman di pundaknya pun terasa semakin erat.