Sederhana saja, keinginanku hanya ingin makan enak dan tidur nyenyak. Tidak sulit, bukan?
Kata Pak Ustadz di tempat mengajiku dulu, "Hidup itu harus Qana'ah, selalu merasa cukup. Cukup makan sederhana, cukup punya rumah biasa, motor cukup satu saja, dan istri cukup ada dua."
Untuk saat ini, umurku sudah cukup legal untuk membuka situs-situs dewasa. Ups! Becanda. Maksudku, umurku sudah 18 tahun. Dan tepat bulan depan, aku akan segera naik kelas, dari yang awalnya murid tahun pertama, menjadi murid tahun kedua.
Sekedar informasi, beberapa kali aku tinggal kelas waktu SD. Alasannya, karena jarang masuk sekolah akibat berak di celana.
Pergi ke sekolah bagiku hanya sekedar formalitas untuk mendapatkan uang jajan. Tak ada yang menarik, kecuali Bu Alfi, guru paling cantik. Mataku yang biasanya mengantuk akan selalu terbuka bila pelajaran beliau. Jujur, aku menyukainya, meskipun umurnya sudah kepala 3 dan berstatus janda anak dua.
Lupakan soal Bu Alfi. Di sekolah aku punya dua teman akrab. Kami bersama sejak kelas 3 SD, namun aku memutuskan untuk bersama mereka sejak tahu bahwa 2 orang itu saling menyukai, padahal mereka sama-sama lelaki.
Di rumah, aku anak kedua. Kakakku yang pertama adalah seorang perwira tentara, Satria namanya. Aku biasa memanggilnya Bang Sat. Dan aku ... hanyalah anak biasa penyuka film Jepang, anime lebih tepatnya. Jika kakakku memiliki postur tinggi dan kekar, aku kebalikannya, badanku pendek dan kerempeng.
Ah, membosankan jika terus banyak basa-basi. Biar kupersingkat saja, langsung pada inti cerita yang ingin aku bagikan pada kalian semua.
Suatu hari, ayah meminjam laptopku, katanya sih untuk urusan kerja, padahal diam-diam membuka Facebook untuk mencari janda.
Hari itu aku lupa menghapus riwayat pencarian di internet.
Di antaranya:
Cara jual diri untuk laki-laki.
Cari sugar mommy di mana?
Sugar mommy.
Cara memeras uang bapak tanpa aplikasi.
Sialnya, aku tak sadar jika Papah membuka google dan melihat riwayat pencarian. Ya, tak perlu dijelaskan lebih detail, jelas saja aku disidang. Bahkan ibuku juga turut menjadi Tuan Hakim yang terhormat dengan wajan panci di tangan siap memukul kepalaku.
"Coba jelasin, maksudnya apa ini?" tanya Papah setelah banyak ceramah yang membuat kepalaku hampir pecah.
"Laptop," jawabku. Dihadiahi satu geplakan sapu.
"Kamu mau jual diri, hah? Sampe nyari sugar mommy segala." Kali ini giliran Mamah, berkacak pinggang dengan mata melebar sampai hampir keluar.
"Enggak, kok."
"Terus ini apa di pencarian google kamu?"
"Itu ...." Aku menggaruk kepala belakang yang tak gatal, berusaha mencari alasan. "Sebenernya, aku ngetik itu bukan buat jual diri."
"Terus buat apa nyari sugar mommy?" Nada suara Mamah masih terdengar seperti macan—Mamah Cantik maksudnya.
"Buat jual Papah."
.
.
.
"Gak mau. Ngapain masuk pesantren? Aku kan di sini juga ngaji sama Pak Ustadz."
"Ngelawan aja kamu sama orangtua."
"Kayak Papah gak pernah ngelawan aja. Kata Nenek Papah bandelnya lebih bandel dari aku."
"Berani kamu? Lama-lama gak Papah anggap anak lagi, mau?" ancam ayahku.
"Ya kalo Papah gak mau anggap aku anak, suruh Mamah nikah lagi aja. Cari Papah baru. Easy kan, Bro?"
Aku lupa kejadian selanjutnya, soalnya yang aku ingat hanyalah gagang sapu yang menghantam bagian bawah kakiku berkali-kali. Sampai aku harus berpura-pura pingsan supaya tak lanjut dipukuli.
Didikan di keluarga ini memang seperti militer, pantas saja Bang Sat menjadi tentara. Salah sedikit, pukul. Salah banyak, hajar. Apalagi jika salah-salah, mengintip tetangga lagi mandi.
.
.
.
Singkat cerita, setelah perdebatan panjang yang tak ada usai. Aku dibawa paksa, seperti diculik, dibawa ke sebuah pondok pesantren yang bangunannya cukup megah dan besar. Katanya, aku terlalu susah diatur dan telah terlalu jauh tersesat dalam pergaulan. Mau tidak mau, rela tidak rela, suka tidak suka, aku dimasukkan ke pondok yang berada di luar kota.
Aku hanya memandang masam pada Pak Kyai pemilik pondok ketika orangtuaku memasrahkan diriku ini. Sangat ingin menangis, tapi malu karena aku ini laki-laki. Rasanya seperti aku hendak dibuang dan diasingkan ke tempat yang menurutku sangat mengerikan dan penuh aturan.
"Jadi, namanya siapa?" tanya istri Kyai padaku.
"Lupa." Aku membuang muka dan mendapat cubitan keras di pinggang oleh Mamah. Padahal aku sengaja, berharap bahwa Kyai dan antek-anteknya tak menyukaiku dan menolakku dari sini.
Ibuku tersenyum resah. "Maaf. Namanya Ansen. Tolong dimaklumi ya, Bu."
Istri Kyai sepertinya memaklumi, jadi hanya menganggukkan kepala dan tersenyum. "Gak pa-pa, Bu, biasa kok kalo baru masuk pondok."
"Dia emang nakal banget. Susah diatur. Aneh-aneh kelakuannya. Capek saya ngurusnya. Makanya saya mohon banget, tolong dibimbing dan dimaklumi sikapnya."
Dasar emak-emak, bisa-bisanya menjelek-jelekkan putranya sendiri. Padahal, pepatah mengatakan jika buah jatuh pasti ke bawah.
"Maklumin aja, soalnya saya ganteng," celetukku.