"Seira, aku duluan, yaa!" teriak perempuan tersebut sembari berjalan menuju lorong jalan. Seira tersenyum mengangguk dan membalas lambaian tangannya.
Seira Hinata, gadis berumur enam belas tahun yang kini menempuh pendidikan menengah atas di kelas sebelas. Perempuan yang barusan mengucapkan salam perpisahan adalah teman sekelas Seira. Selain itu, perempuan bernama Lala itu juga satu SMP dengan Seira. Jadi, keduanya bisa dibilang akrab. Mereka berdua selalu pulang bersama karena arah rumah yang satu arah, tetapi kemudian dipisahkan dengan simpang jalan. Jarak sekolah mereka yang tidak jauh dan masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki, sedikit menghemat uang saku.
Melihat Lala sudah jauh dari pandangan, Seira bergerak melangkah dengan perlahan, tidak ingin cepat sampai di rumah. Hal yang selalu ia lakukan ketika pulang sekolah. Alasannya karena di rumah tidak ada siapa-siapa. Hidan—papa Seira bekerja sebagai sopir barang dan selalu pulang petang, sedangkan Natasya—mamanya sudah lama tidak pulang. Beliau menjadi ART di luar kota, sehingga pulang hanya pada tanggal-tanggal tertentu saja. Sejujurnya Seira rindu dengan wanita itu, tetapi apa daya, sekalipun Seira berulangkali berkata ingin bertemu dengannya, itu tidak akan membuat Nata pulang. Bukan karena sang mama tidak sayang padanya, tetapi karena pekerjaan yang mengharuskan seperti itu. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan mengharuskan mereka bekerja lebih keras untuk bertahan. Mencukupi kebutuhan sehari-hari. Natasya selalu mengirimkan uang seriap bulan, termasuk uang untuk kebutuhan sekolah Seira.
Terhitung kepergian Nata selama lima tahun, tepatnya saat Seira memasuki sekolah menengah pertama. Jika seseorang bertanya apa Seira kesepian karena setiap harinya selalu sendiri, maka jawabannya adalah 'iya'. Namun, bagi Seira itu sudah menjadi hal biasa dengan kesendirian. Dirinya yang diajarkan mandiri sejak awal masuk SMP.
Langkahnya berhenti ketika melihat warga sekitar berpakaian rapi. Seira bertanya-tanya apa yang sedang mereka lakukan. Apa ada kegiatan? Tapi tidak ada pemberitahuan sebelumnya dari kepala desa. Pakaian mereka kini sangat sopan dan banyak orang juga membawa makanan. Biasanya jika ada kegiatan di dalam desa, Seira akan hadir untuk mewakili Hidan dan Nata yang tidak ada. Seira mencari seseorang yang bisa ia tanyai.
Lalu Seira bertanya pada bocah kecil yang sedang berlari hendak menyusul seseorang di depan sana.
"Ada acara, ya?" tanya Seira pada bocah itu.
Lantas bocah itu mengangguk cepat dan berkata, "Iya, di rumah Kak Sei 'kan acaranya. Masa Kak Sei gak tahu, sih?" jawabnya yang membuat Seira terkejut.
Kening Seira mengernyit bingung dengan jawaban bocah itu. Lalu bocah itu pergi meninggalkan Seira untuk mengejar temannya yang sudah berlalu, Seira diam sejenak di tempatnya. Menerka-nerka apa yang terjadi, tidak mungkin ada acara di rumahnya sedangkan tuan rumah tidak ada. Seira berpikir jika bocah itu hanya membohongi dirinya saja. Pandangan Seora kembali mengamati arah tujuan para warga, yang jika diperhatikan memang benar mengarah ke rumah. Pertanyaannya, siapa yang mengadakan acara itu? tidak ada tuan rumah di rumah itu. Bahkan Seira saja baru pulang dari sekolah.
Karena penasaran dengan apa yang terjadi, Seira segera belari untuk segera sampai di rumah. Di depan bangunan bercat putih para warga berkumpul ramai, kebingungan dalam kepala Seira bertambah. Seolah mencuat ingin segera tahu. Kondisi halaman rumah yang terpasang tarup dan ramai orang di teras rumah.
Apa yang mereka lakukan?
Sebuah tepukan pelan dipundak membuat Seira terperanjat kaget. Wanita itu tersenyum tipis dengan tangan yang mengusap rambutku. Dia adalah Fira, tetangga samping rumah Seira.
"Tante, kenapa di rumah ramai orang? Bukannya Papa gak ada di rumah?" tanya Seira padanya.
"Kami dapat kabar dari pihak tempat kerja Papa kamu. Kata mereka Pak Hidan mengalami kecelakaan saat sedang mengantar barang." Jawaban itu terdengar seperti usaha untuk tidak membuat Seira merasa sedih. Justru jawaban itu yang berhasil membuat jantungnya berdegup kencang.
"Lalu kondisi Papa gimana, Tan? Apa dia baik-baik aja?!" sergah Seira menjadi panik dan cemas. Mataku seolah memanas dengan detak jantung berdegup cepat.
Karena tidak sabar dengan jawaban dari wanita tersebut, Seira berlari menerobos masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan Hidan di dalam. Tidak mempedulikan panggilan orang-orang yang meminta untuk berhenti atau ucapan mereka yang prihatin.
Tangis Seira pecah saat tidak mendapatkankan apa yang dicari. Hidan tidak ada di manapun. Seira sudah memcarinya di dalam kamar, dapur, dan runah lainnya. Hanya ada wajah-wajah dengan tatapan kasihan ke arah Seira.
"Tante, Papa di mana?!" teriak Seira pada wanita yang baru saja datang mengejarnya. Fira mendekati Seira yang sudah terduduk lemas dengan air mata mengucur deras. Fira memeluknya seperti memberikan kekuatan untuk Seira.
"Sekarang Papa kamu di rumah sakit, Sei. Beliau dalam keadaan kritis," jawabnya.
Tangis Seira meraung keras, benar-benar luruh saat itu juga. Semua orang yang melihat kondisi Seira hanya bisa menaruh rasa kasihan dan harapan agar Seira selalu tabah. Bukan rahasia lagi bagaimana kondisi keluarga Hidan. Seira yang selalu sendiri di rumah dan melakukan pekerjaan rumah dengan baik.
Fira mengantarkan Seira ke rumah sakit sekarang juga. Tidak ada yang menjadi pikiran Seira lagi, selain Hidan. Pikirannya sudah dipenuhi dengan banyak pertanyaan mengenai kondisi Hidan. Pikiran buruk juga terus memgahangui Seira. Ini seperti kejutan yang sangat menyakitkan bagi Seira. Entah kenapa mereka tidak memberitaukan pada Seira sejak awal. Dengan begitu Seira bisa cepat datang ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Fira menuntun Seira menuju ruangan tempat Hidan diperiksa. Tepat langkah saat langkah kaki Seira sampai di depan ruangan, pintu itu terbuka dengan tergesa-gesa. Sebuah hospital bed di dorong dengan terburu-buru. Wajah Hidan dapat terlihat jelas di mata Seira. Wajah yang kini tidak memiliki ekspresi apapun.
Seira melihat dokter-dokter itu membawanya ke ruangan lain, Seira baru saja sadar satu hal. Tidak ada alat bantu rumah sakit yang dipasang pada tubuh Hidan lagi. Tanpa berpikir lagi, Seira mengejar para dokter itu. Mengikuti kemana mereka akan membawa Hidan.
"PAPAA, AYO BANGUN, PA! SEIRA ADA DI SINI!" teriak Seira dengan suara serak. Ia langsung memeluk tubuh Hidan yang kaku, kulitnya sangat pucat, dan beberapa darah masih menempel pada kain putih yang menyelimuti.
Dokter yang ada di sana hanya bisa menatap pasrah sekaligus kasihan pada Seira. Gadis itu bahkan masih menggunakan seragam sekolah. Seira terus mengguncang tubuh Hidan, meminta agar laki-laki itu membuka mata dan melihat keberadaan Seira.
"Pa, Seira mohon buka mata Papa! Papa gak boleh kayak gini," isak Seira dengan air mata berjatuhan di tubuh Hidan.
"Dok, bantu Papa Seira!" teriak Seira keras. Meminta para dokter yang ada di sana untuk melakukan sesuatu pada Hidan supaya terbangun.