Namanya Kanaya, tepatnya Dinaya Kanaya Abhyaksa, wanita berusia 25 tahun, seorang influencer dan seorang pelukis aliran ekspresiomis, serta putri dari pengusaha batu bara terkenal, Daud Abhyaksa. Cantik, multitalenta, terkenal, punya banyak penggemar layaknya idol Negeri Ginseng, namun berakhir menyedihkan ketika Tuhan mentakdirkan dia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Mahendra Brawijaya Kusuma, pria berdarah Jerman-Indonesia, putra seorang pengusaha relasi bisnis ayah Kanaya yang telah dibantu dengan susah payah, namun ternyata menyiksa putri tercinta lahir batin. 'Tak ada asap jika tak ada api', kiranya begitulah pepatah lama mengatakan. Sikap Mahendra bukan tanpa sebab mengapa ia sampai hati "menyiksa" Kanaya, karena api bermula dari wanita yang sangat menolak perjodohan ini. Kanaya memang tipikal wanita yang menyukai kebebasan, bebas sebebas-bebasnya melakukan apa pun yang ia inginkan, termasuk soal percintaan. Namun sang ayah yang telah lama hidup menduda tak ingin buah hati satu-satunya menjadi anak yang kesepian hingga akhir hidupnya. Susah payah sang ayah melakukan segala cara agar sang anak mau menikah, mulai dari merencanakan kencan buta, aplikasi kencan online, hingga menyewa seorang pria yang paling tampan untuk menggaet hati Kanaya, namun sepertinya Tuhan juga belum berkehendak mengetuk hati Kanaya.
"Hah, lelah rasanya diriku pada Kanaya," sang Ayah merutuki dirinya sendiri kala mengunjungi perusahaan milik keponakannya, Mikaela Nadin.
"Paman kenapa? Sepertinya lelah sekali? Apa soal Kanaya lagi?" tanya Mikaela sembari menyuruh sekretarisnya membawakan teh lemon kesukaan sang paman.
"Paman lelah, Mikaela. Cara apa lagi yang harus Paman jalankan untuk Kanaya agar dia cepat menikah. Umur Paman sudah tua, Paman sangat iri sama kamu yang sudah punya anak, sementara Kanaya ...." Daud terus menarik napas panjang dan Mikaela langsung mengelus dada sang Paman.
"Paman tenanglah, jangan terlalu memaksakan kehendak. Tau sendiri kan Kanaya sifatnya bagaimana, salah-salah bertindak, dia akan kabur lagi seperti waktu itu. Paman masih ingat, kan?" Mikaela terus mengelus dada sang Paman, mencoba memintanya agar tenang supaya penyakit hipertensi-nya tak kambuh.
"Seandainya Kanaya seperti kamu, Mikaela-"
"Paman, jangan ngomong gitu, Kanaya mungkin belum siap menikah karena dia masih ingin mengembangkan karirnya." Mikaela berusaha menenangkan sang Paman.
"Meniti karir apanya? Dia sudah cukup sukses di usianya yang menginjak 25, namanya juga sudah dikenal di mana-mana, sukses juga d dunia maya, apalagi yang mau dia bangun? Sekarang saatnya dia bangun keluarganya sendiri!" ucap Daud berapi-api.
Mikaela hanya menghela napas mendengar ucapan sang paman yang memang terkenal temperamental. "Paman, mohon perhatikan kesehatan Paman. Kalau Paman jatuh sakit, Kanaya pasti akan sedih, apa Paman ma melihat Kanaya sedih?"
Kali ini giliran Daud yang mengatur napasnya, "Paman sudah tua, Mikaela. Paman tak punya harapan apa pun, kecuali melihat Kanaya menikah, membangun keluarga kecilnya, punya anak, dan Paman bisa meninggal di temani anak-cucu Paman." Daud mengelus dadanya.
"Paman!" pekik Mikaela.
"Paman benar-benar tak mengerti dengan sikap Kanaya yang semuanya ingin sesuai dengan apa yang ia mau-"
"Nah, itu dia Paman!" ucap Mikaela tiba-tiba memotong ucapan Daud.
"A-ada apa, Mikaela? Kamu buat Paman terkejut."
"Ah, maafkan Mikaela jika mengejutkan Paman. Tapi, sepertinya Mikaela punya ide yang bagus." Senyum seringai Mikaela.
"Ide bagus apa, Mikaela?" penasaran Daud.
"Paman hanya tinggal duduk manis dan lihat hasilnya," yakinkan Mikaela.
"Jika kau bisa yakinkan Kanaya untuk segera menikah, Paman akan berikan sebagian saham Paman ke perusahaan kamu."
"Hahaha, tak perlu seperti itu, Paman. Sudah kewajiban Mikaela untuk membantu Paman. Karena Paman telah banyak membantuku."
"Yah ... yah, lakukanlah apa yang menurutmu baik, Mikaela." Daud terlihat pasrah mengenai putrinya. Sementara Mikaela tampak mengambil ponsel pintarnya di meja kerjanya.
"Hi, apa kabar? Maaf, ya mengganggu waktumu, tapi apa kita bisa bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Oke, di restoran De Pasta, jam lima sore ini. See ya."
"Siapa yang kau hubungi, Mikaela?" tanya sang Paman penasaran.
"Teman, Paman." Senyum Mikaela penuh misteri.
"Teman?"
"Tolong Paman hubungi Kanaya, katakan padanya aku ingin bertemu dengannya di restoran De Pasta, jam lima sore ini."
Daud terdiam. Mikaela hanya tersenyum melihat kekhawatiran sang paman.
"Paman jangan khawatir, ini temen Mikaela kok. Kanaya pasti suka."
Tak lama, Daud menghubungi putrinya, sedikit resah dan cemas karena ia tahu jika Kanaya paling anti dengan namanya perjodohan dan kencan buta, karena telah sering dijebak dengan cara seperti itu oleh sang ayah.
"Ayo, Paman. Jangan ragu, nanti Kanaya malah curiga," ucap Mikaela memelankan suaranya.
"Halo, Sayang kamu lagi di mana?"
[Oh, Ayah. Aku sedang di galeri. Ada apa, Yah?]
"Oh, Ayah sekarang ada di kantor Mikaela. Sudah lama Ayah tak mengunjungi sepupumu."
[Oh, bagaimana kabarnya?]
"Baik, dia menanyakan tentang dirimu. Apa kamu ada waktu sore ini, Kanaya?"
Kanaya terdiam. Tak biasanya sang ayah menanyakannya soal waktu.
"Halo, Kanaya. Kamu masih di situ, kan?"
[Iya, Yah. Kenapa Mikaela tak menghubungi Kanaya langsung?]
"Ah, itu karena dia tahu kamu sangat sibuk dan tak ingin mengganggu. Jadi, dia minta Ayah yang menanyakannya padamu. Bagaimana? Apa kau bisa bertemu dengannya?"
[Kapan, Yah?]
"Sore ini, Sayang di De Pasta jam lima sore."
Kanaya melihat jam tangannya menunjukkan pukul satu siang.
"Gimana Kanaya? Kamu bisa?"
[Hmmm, oke deh, Yah. Nanti aku ke sana menemui Mikaela.]
"Bagaimana, Paman? Kanaya mau kan menemui Mikaela?" Senyumnya.
"Kamu memang yang paling mengerti soal Kanaya, Mikaela. Apa kamu sudah merencanakan semua ini?" tanya sang Paman menaikkan salah satu alisnya.
"Menurut Paman kenapa Kanaya sangat mempercayaiku?"
Kini, Daud dan Mikaela sama-sama tersenyum menyeringai, seolah mereka sangat yakin rencana kali ini akan berhasil.
***
Akhirnya, tepat pukul lima sore, Mikaela pergi ke restoran tempat ia telah berjanji dengan seseorang yang ia sebut dengan teman serta Kanaya, tanpa Daud tentunya. Mikaela yang mengenakan celana panjang hitam pensil, kemeja putih dibalut blazer hitam serta tas merk terkenal warna hitam benar-benar membuatnya terlihat seperti wanita karir yang berkelas. Dengan kacamata hitam, Mikaela memasuki restoran ternama itu. Sepatu stiletto warna putih dengan tambahan aksesoris batu permata hijau zamrud serta riasan yang tak begitu tebal, benar-benar layaknya seorang lady.
"Ternyata kau sudah datang," ucapnya pada seorang pria dengan penampilan kasual.
"Haha, aku tak ingin membuatmu menunggu karena aku tahu kau paling tak senang dengan istilah menunggu." Senyum pria yang tak lama kemudian membuka kacamata coklat gelapnya dan menunjukkan mata coklat gelap bercampur coklat gelap yang tajam serta alis tebal dan hidung mancungnya.
"Wah ... wah, lama ga ketemu kamu makin tampan, ya." Puji Mikaela tak hentinya melihat pria dengan kaos warna putih polos serta jeans biru muda dengan sneaker putih sebagai alas kakinya. "Kalau aku belum nikah, aku pasti akan langsung jatuh cinta sama kamu, Bram."
"Haha, apakah itu suatu pujian atau pengakuan kamu yang tertunda, Mikaela?" Senyum laki-laki yang duduk di hadapan Mikaela. "Ngomong-ngomong, ada acara apa kamu telepon aku? Ga biasanya. Apa ada bisnis yang mau kamu tawarkan ke aku?" goda pria bernama Bram itu.
"Lebih dari sekadar bisnis!" Senyum Mikaela menaikkan kedua alisnya.
"Lebih dari bisnis? Maksudnya ...." Bram mulai penasaran.
Mikaela melihat arloji mewahnya dan kemudian berkata, "Tak lama lagi akan datang kejutan untukmu."
"Kejutan? Untukku? Apa sih yang kau bicarakan, Mikaela? Dengar, kalau ini hanya candaanmu, sama sekali tak lucu, oke!"
Mengacuhkan kata-kata Bram, Mikaela melambaikan tangannya ke arah berlawanan, membuat Bram penasaran dan akhirnya menolehkan kepalanya ke belakang. Seorang wanita dengan dress pendek selutut warna hitam dengan garis lurus warna putih seolah membelah pakaian yang dikenakan, stiletto hitam, serta clutch warna putih dengan simbol huruf salah satu brand ternama dunia dijinjing di tangan kanannya.
"Apa aku telat?" tanya wanita dengan rambut kecoklatan, hidung mancung, dan mata besar bak barbie serta bibir tipis itu menyapa sang sepupu, Mikaela.
"Tidak! Malah sebaliknya, kau sangat tepat waktu." Senyum Mikaela.
"Nah, Bram. Inilah yang membawaku ingin bertemu denganmu. Kanaya, kenalkan, ini Bram. Tepatnya Mahendra Brawijaya Kusuma. Bram, kenalkan, ini Kanaya, tepatnya Dinaya Kanaya Abhyaksa, agak susah memang namanya, tapi kau bisa memanggilnya Kanaya." Mikaela tanpa sungkan beraksi seperti mak comblang.
"T-tunggu dulu! Ada apa ini? Bisakah kau jelaskan padaku, Mikaela?" Kanaya bingung, begitu pula dengan Bram.
"Ya, jelaskan padaku juga. Apa maksud semua ini?" kali ini giliran Bram yang bertanya.
Sedikit tak enak dan canggung, Mikaela dengan ekspresi memelas, memelankan suaranya berkata, "Ini adalah kencan buta yang telah kuatur untuk kalian."
"APA!" pekik Kanaya dan Bram.