"Valerie … kau belum tidur?" tanya sang ibu yang menerobos masuk ke dalam kamarnya.
Valerie berbalik badan, melihat ke arah ibunya. Ia terlihat tidak senang karena ibunya terlalu mencampuri urusannya.
"Kalau sudah mengantuk, aku juga tidur, Bu …," jawab Valerie.
"Konsekuensi bangun pagi, jika kau ingin tidur larut. Jangan sampai ibu berteriak setiap pagi untuk membangunkanmu!"
BRAKK!
***
Valerie berhenti tepat di mulut pintu kelas. Ia melihat ke arah Wolfie yang kini tengah duduk sembari mendengarkan musik dengan earphone dan membaca sebuah buku Sains. Terlihat jelas kalau Wolfie adalah pria pandai yang sangat tekun belajar. Bahkan disela kekosongan waktunya, ia memilih untuk membaca buku pelajaran, bukan bermain game ataupun berbincang dengan teman kelas yang lain.
Valeri menyatukan kedua tangannya dan saling mengeratkan jemarinya satu sama lain. Ia berniat ingin menghampiri Wolfie. Namun saat ia baru saja melanjutkan langkahnya, tiba-tiba saja ….
BRUGH!
"Ups, sorry," ucap Bianca yang tidak sengaja menabraknya. Bianca pun tak peduli dan melanjutkan langkahnya untuk menghampiri Wolfie. Sementara Valerie sendiri hanya diam melihat Bianca yang dengan sangat percaya diri menghampiri Wolfie dan mengajaknya bicara.
"Mengapa nyaliku menjadi down ketika melihat kalau sainganku adalah Bianca," gumamnya menggerutu. Valerie memilih untuk melanjutkan langkahnya, namun bukan untuk menghampiri Wolfie, melainkan untuk menuju ke tempat duduknya yang berada di belakang tempat duduk Wolfie.
Pemandangan yang membuat Valerie jengah, dimana Bianca masih berada di dekat Wolfie dan mengajak bicara Wolfie. Meski Wolfie terlihat acuh, namun Bianca masih terus berusaha untuk mengajak Wolfie berkencan.
Valerie tidak ingin melihat dan mendengarnya. Ia memilih memasang earphone dan menundukkan kepalanya, menelungkup dan bersandar pada kedua tangannya yang dilipat di atas meja.
***
"Apa ini?" tanya Valerie ketika Wolfie melempar dua tiket bioskop ke atas meja Valerie.
"Kau tidak tahu ini apa?" Wolfie balik bertanya dengan sinis.
"A—aku tahu ini tiket bioskop. Tapi … untuk apa kau letakkan di atas mejaku?"
"Untukmu. Dan teman sebangkumu," ujar Wolfie kemudian berlalu meninggalkan kelas.
Valerie diam, belum bisa berpikir jernih dengan maksud Wolfie.
"Valerie bodoh! Mengapa kau diam saja?" gerutu Anna.
"Lalu aku harus bagaimana Ann?" tanya Valerie bingung.
"Kau kejar dia. Untuk apa dia memberikan tiket ini jika bukan untuk mengajakmu berkencan!"
"T—tapi Wolfie meminta aku pergi denganmu—"
"Kau pasti mengerti maksudku. Cepat kejar dia!"
Valerie menunduk. Ia yakin dengan apa yang ada di hatinya. Valerie pun beranjak dari tempat duduknya dan segera menyusul Wolfie yang sudah melangkah cukup jauh dari kelas. Langkah kaki Wolfie membawanya menuju ke perpustakaan sekolah.
"WOLFIE!" seru Valerie, agar Wolfie menghentikan langkahnya dan tidak masuk ke dalam perpustakaan.
Benar. Wolfie menghentikan langkahnya dan menunggu Valerie menghampirinya.
"Wolfie," panggil Valerie lagi.
"Ada apa?" tanya Wolfie.
"Hmmm, mengenai tiket tadi—"
"Kau bisa pergi dengan temanmu. Siapa namanya? Anna, ya?"
Valerie mengernyit. Kemudian ia melipat kedua tangannya di atas perut dan mendekat pada Wolfie.
"Kau ingin mengajakku kencan? Tapi kau malu, iya?" tanya Valerie, terlalu percaya diri.
Wolfie tersenyum sinis. Ia kemudian menggelengkan kepalanya, seolah tidak habis pikir dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Valerie.
"Mengapa kau tersenyum?" tanya Valerie heran.
"Aku membeli tiket lebih, sudah kebiasaan pergi menonton bersama ibu dan ayahku. Tapi sekarang, aku tidak bisa mengajak mereka. Kuberikan saja tiket mereka kepada kalian. Kalian pasti juga ingin menonton film itu, bukan?" jawab Wolfie menjelaskannya. Baru kali ini, Wolfie berbicara cukup panjang dari biasanya.
"Oh, begitu …," gumam Valerie seperti kecewa.
"Jika tidak ada perlu lagi, aku akan masuk ke dalam perpustakaan. Kau kembalilah ke kelas."
"Iya," balas Valerie lesu.
Wolfie tersenyum dan berkata, "Tiketku nomor 5A." Wolfie melanjutkan langkahnya untuk memasuki area perpustakaan, sementara Valerie masih diam di depan perpustakaan.
"5A?"
Valerie membesarkan matanya dan segera kembali ke kelasnya dengan berlari. Seperti ada yang ingin ia ketahui dengan tidak sabar.
"Valeri? Mengapa kau tergesa-gesa seperti itu?" tanya Anna.
Valerie tidak memedulikan pertanyaan dari Anna. Ia memilih untuk melihat tiket yang diberikan oleh Wolfie.
"3A … 4A? Berarti …," gumam Valerie, matanya berbinar.
"Ada apa, Val?" tanya Anna penasaran.
"Wolfie benar-benar mengajakku berkencan!" ucap Valerie dengan sangat senang. Ia kemudian menutup kedua matanya, seolah tidak percaya. Meski sebenarnya hipotesis yang perkirakan itu belum tentu benar, namun besar kemungkinan Wolfie memang ingin mengajak kencan Valerie secara tidak langsung. Ya, itu masih dugaan Valerie saja, belum tentu benar adanya.
***
Valerie sudah berdiri di depan pintu bioskop dengan pakaian rapi dan juga harum parfum yang ia pakai. Valerie melihat jam yang ia pakai di tangan kirinya. Ia masih menunggu Anna dan Wolfie yang masih belum datang.
"Valerie? Kau datang jam berapa?" tanya Anna, saat ia baru saja tiba. "Film nya tayang masih satu jam lagi dan kau sudah berada di sini?"
"Sejak satu jam lalu," jawab Valerie. "Aku terlalu bersemangat!"
Anna menggelengkan kepalanya melihat sikap temannya yang sedang jatuh cinta.
"Ayo kita masuk!" ajak Anna.
"N—nanti dulu … Wolfie belum datang," tolak Valerie, ia tidak ingin masuk lebih awal.
"Wolfie akan masuk jika ia sudah tiba, Val …."
"Tapi aku—"
"Sudah, ayo ikut aku!" perintah Anna, kemudian ia menarik lengan tangan Valerie, seolah menyeret temannya itu masuk ke dalam bioskop lebih dulu, tanpa menunggu Wolfie.
***
Film sudah akan dimulai. Valerie dan Anna juga sudah berada di dalam bioskop dan Wolfie masih belum juga tiba. Di antara mereka, tidak ada yang memiliki kontak Wolfie, yang bisa dihubungi. Jadi keduanya hanya bisa diam dan menunggu Wolfie tiba.
"Kenapa dia belum datang?" gumam Valerie kecewa.
"Permisi …."
Valerie mengangkat kepalanya, melihat Wolfie yang baru saja tiba dengan membawa sekotak popcorn dan 3 gelas minuman.
"Kalian tidak membeli apapun?" tanya Wolfie.
Valerie dan Anna hanya menggelengkan kepalanya.
"Minuman untuk kalian," ujar Wolfie, memberikan dua gelas minuman yagn tergabung dalam satu kantong plastik.
"Terima kasih, Wolfie," jawab Anna.
"T—terima kasih, Wolfie …," sahut Valerie, tak lupa mengucap terima kasih juga.
Valerie yang semula tidak sabar menunggu kedatangan Wolfie, kini menjadi diam dan canggung. Ia benar-benar menahan dirinya agar tidak salah tingkah. Valerie berharap kalau dirinya tidak akan melakukan kesalahan fatal selama menonton bersama pujaan hatinya.
"Mengapa tidak diminum?" tanya Wolfie heran. "Tidak suka?"
"O—ou … s—suka …," jawab Valerie dan Anna serentak.
"Suka kok, Wolfie … hanya saja aku belum haus," lanjut Valerie.
Bukan mereka tidak suka dengan minuman yang diberikan oleh Wolfie, namun keduanya tidak bisa makan dan minum sembarangan, karena mereka berdua adalah vampir, yang hanya membutuhkan darah saja untuk bertahan hidup.