Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The Hidden Crown

HydraGhea
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.6k
Views
Synopsis
Hidup Ëlmyra seperti sudah digariskan begitu menginjak umur 21 tahun elf. Diawali dengan kepergian orang tuanya, satu per satu perubahan terjadi. Ia memutuskan mengikuti ramalan peramal tua tentangnya yang bisa menemukan dan mengembalikan Mahkota yang hilang. Perjalanannya sampai Kerajaan Arkhenia. Satu dari tiga kerajaan besar bangsa Elf dan yang paling tidak disukai. Pertemuan dengan Kyson menjadi jalan mengetahui tentang mahkota itu dan kenyataan hidupnya. Saat semua terkuak, Ëlmyra hanya punya dua pilihan: Melepaskan atau Menerima. Namun, bagaimana ia bisa melepaskan kalau hidup orang-orang di sekitar bergantung padanya dan mahkota itu? Namun, bagaimana ia bisa menerima kalau ada takdir menyakitkan yang menantinya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Part 1 Hari Ulang Tahun yang Kelam

Part 1 Hari Ulang Tahun yang Kelam

Sosok pria setengah baya—dalam usia elf—berjalan tergopoh-gopoh. Wajah tampannya yang tampak dihiasi keriput menyorotkan kekhawatiran yang teramat sangat. Ia tidak memedulikan pelayan-pelayan manusianya yang sudah bangun—bahkan matahari belum terbit—dan membungkuk memberi hormat padanya. Tujuannya adalah satu kamar di lantai tiga mansion besarnya. Itu adalah ruangan milik elf wanita kedua yang sangat berarti untuknya.

Meskipun dalam kondisi panik, ia tidak lantas membuat kehebohan. Terlebih saat melihat sosok elf yang masih tidur pulas di atas ranjangnya di kamar. Ia mendekat lalu duduk di tepi ranjang. Helaan napas lolos dari bibirnya sebelum mengulurkan tangan menyentuh pipi lalu menggoyang pelan elf itu.

"Ëlmyra? Bangun, Nak!"

Elf perempuan itu pun tidak ayal terbangun merasakan goyangan di bahu dan tepukan pelan di pipi. Mengeluh pelan lalu membuka mata. Memperlihatkan sepasang manik biru safir yang tampak begitu indah dan unik dengan semacam cincin emas di tepinya. Ia tampak mengernyitkan dahi menatap sosok yang balik menatapnya.

"Ayah? Ada apa? Kenapa ayah membangunkanku sepagi ini? Bahkan matahari belum terbit." Ëlmyra—namanya—beranjak duduk lalu meregangkan tubuh, kemudian menyelipkan rambut ke belakang telinga runcingnya—telinga khas yang hanya dimiliki bangsa Elf.

"Ayah harus pergi memanggil mey'i*, Nak. Ibu sakit," sahut elf pria itu—sang ayah—dengan nada cepat, tapi lembut.

Seketika itu juga, kedua mata Ëlmyra terbuka lebar dengan kesadaran penuh. Dengan secepat kilat, ia menyingkap selimut lalu berlari keluar kamar meninggalkan ayahnya. Ia tidak memedulikan dinginnya lantai--yang terbuat dari bahan kaca khusus—menyentuh telapak kakinya yang telanjang. Mengangkat bagian bawah gaun tidurnya dan menghambur ke dalam kamar orang tuanya.

Ia berhenti berlari dan berjalan pelan mendekat ke ranjang. Kedua matanya seketika memanas menatap sosok elf wanita cantik—dengan karakter fisik yang mirip dengannya—terbaring di ranjang dengan mata tertutup. Ia tidak memedulikan dua pelayan yang menyingkir lalu membungkuk padanya.

"Ibu? Ibu kenapa?" Ëlmyra duduk di tepi ranjang dan mengulurkan tangan menyentuh pipi elf itu. Ia tersentak merasakan dinginnya kulit sang ibu. "Ini Ëlmyra, Ibu. Bukankah Ibu semalam berjanji akan menyambut Ëlmyra dengan kue karena ini hari ulang tahun Ëlmyra? Hari ini Ëlmyra benar-benar menjadi elf dewasa. Bangunlah, Ibu!" lirihnya dengan suara bergetar dan air mata yang jatuh mengalir.

Ëlmyra tidak memberikan reaksi saat sang ayah masuk lalu berdiri di samping dan merangkul bahu. Fokusnya ada pada sang ibu. Air matanya semakin deras mengalir saat tidak ada reaksi apa pun dari sosok elf yang begitu berarti untuknya itu. Ia memiliki trauma dengan ibunya yang sakit. Pengalaman sang sangat buruk saat ia masih sangat kecil hingga tidak mau berpisah sama sekali dengan ibunya selama lima tahun elf.

"Kenapa ibu tidak bangun, Ayah?" tanya Ëlmyra dengan suara bergetar.

"Semalam ibu demam setelah membuatkan kue untukmu, Ëlmyra. Ia sudah minum obat dan Ayah sempat mengompres dahinya. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba saja ia tidak bangun pagi ini," sahut sang ayah dengan suara bergetar.

Sosok pelayan wanita datang dengan tergesa-gesa masuk dan membungkuk memberi hormat. "Tuan Wolfred, kereta kuda Tuan sudah siap," ucapnya.

Elf pria itu mengangguk, kemudian mengembalikan perhatian pada Ëlmyra. "Ayah pergi dulu, Ëlmyra. Semoga tabib tidak sedang sibuk sehingga kami bisa cepat datang."

Ëlmyra mengangguk dan menerima kecupan lembut di kepalanya. Ia menatap punggung sang ayah yang menjauh dan menerima jubah hangat dari pelayan tadi, kemudian memakainya sambil berjalan keluar kamar. Setelah itu, ia mengembalikan perhatian pada sang ibu. Kalau bukan karena melihat dada ibunya naik-turun dengan teratur, ia pasti mengira sang ibu telah tiada.

Helaan napas panjang lolos dari bibir Ëlmyra. Di hari istimewa yang sangat dinantikannya, ia tidak merasakan kebahagiaan sedikit pun. Sambil menunggu sang ayah kembali bersama tabib, ia memutuskan untuk membersihkan diri. Ia mengatur kedua tangan sang ibu di atas perut, kemudian membenahi selimut.

"Jaga ibu! Pastikan tidak ada masalah! Kayu di perapian sudah hampir habis, kalian tambah dengan yang baru!" titah Ëlmyra tegas.

"Baik, Myusé." Kedua pelayan itu mengangguk.

Ëlmyra pun berjalan pelan keluar dari ruangan itu. Menolak saat ditawari jubah hangat karena udara benar-benar dingin meskipun mendekati musim semi. Langkah dan ekspresi wajahnya tampak lesu. Tidak ada binar ceria yang selalu menghiasi wajah cantiknya yang menjadi kesukaan sang ibu.

Suasana mansion besar dan mewah itu tampak sepi dan sunyi meskipun banyak pelayan yang sudah bangun serta memulai aktivitas. Keluarga Ëlmyra termasuk ke dalam keluarga terpandang di sebuah kota yang terkenal dengan pertaniannya—Kota Sandward. Semua manusia dan elf yang tinggal di kota itu sangat menghormati Wolfred.

Wolfred adalah elf kepercayaan raja kerajaan tempat kota itu berada dan diberi gelar earl. Sayangnya, Wolfred menolak menjadi wali kota dan mengusulkan seorang manusia—yang menjadi satu-satunya wali kota dari bangsa manusia—untuk mengisi posisi itu. Meskipun begitu, Wolfred tetap menjadi sosok penting dengan memegang tanggung jawab mengawasi kegiatan perekonomian.

Sampai di kamarnya yang cukup mewah—dengan didominasi warna merah, Ëlmyra membersihkan diri dengan cepat. Ia tidak berdandan sama sekali karena memang tidak menyukai hal itu. Dadanya terasa sesak saat keluar kamar dan mendapati seorang pelayan elf setengah baya—sang kepala pelayan sekaligus pengasuhnya sejak kecil—menyiapkan sebuah gaun di tempat tidur.

"Semalam Lady Aderyn berpesan kalau aku harus memastikan kau memakai gaun ini hari ini, Myusé." Pelayan itu menatap Ëlmyra lembut, tapi tersirat kesedihan dalam kedua mata cokelatnya.

Ëlmyra menghela napas sambil menyentuh gaun itu perlahan. "Iya, Heemea. Aku akan memakai gaun ini," ucapnya pelan.

Dengan dibantu oleh Heemea, Ëlmyra memakai gaun itu—yang sangat pas membalut tubuhnya yang proporsional. Ia yakin sekali kalau ibunya membuat gaun ini sendiri. Mengingat selama enam bulan ibunya sibuk dan sering tidur larut. Memiliki warna merah tua dengan hiasan emas. Tampak begitu indah dan membuat kedua matanya berkilau bersanding dengan rambut pirang abu-abu keperakannya.

Tepat saat hendak keluar kamar, Ëlmyra mendengar ribut-ribut di lantai bawah. Ia pun berlari dengan tergesa-gesa dan berhenti berpegangan pada besi pembatas koridor. Kelegaan merasuk ke dalam hatinya saat melihat sang ayah masuk bersama sosok elf yang jauh lebih tua dan langsung menuju kamar utama. Ia tidak memedulikan teriakan Heemea untuk memakai alas kaki.

Ëlmyra berdiri berdampingan dengan sang ayah memperhatikan tabib elf itu memeriksa sang ibu dengan cekatan dan saksama. Ia menoleh saat merasakan genggaman di tangannya. Menatap wajah sang ayah yang menyorotkan harapan. Ia membalas genggaman itu dan mengembalikan pandangan ke depan.

"Bagaimana kondisi Aderyn, Mey'i?" tanya Wolfred.

Tabib itu tampak menghela napas sejenak, kemudian berujar, "Aku sama sekali tidak menemukan adanya masalah di tubuh Lady Aderyn—tidak ada luka atau apa pun itu. Maafkan aku, Tuan dan Nona, tapi aku tidak memahami apa yang terjadi pada Lady Aderyn hingga tidak bangun dan tubuhnya terasa sangat dingin."

Hati Ëlmyra hancur mendengar jawaban satu dari dua tabib yang paling terkenal di kota itu. Ia melepaskan genggaman sang ayah lalu berjalan mendekat ke tempat tidur. Duduk bersimpuh di lantai sambil memegang tangan sang ibu. Air matanya pun kembali jatuh saat kebingungan dan ketakutan merasuk ke dalam hatinya.

"Maaf aku tidak bisa membantu, Tuan, tapi …." Tabib itu tampak ragu melanjutkan ucapannya.

"Apa, Mey'i? Katakan saja!" Wolfred sedikit memaksa.

"Aku merasa kalau tabib mana pun di Sandward juga tidak akan mengerti, tapi sekitar tiga minggu lalu lalu, aku mendengar ada tabib elf baru di Kota Gennesy. Menurut informasi yang kudengar, ia tabib yang sangat hebat dan andal.. Mungkin ia bisa memberikan jawaban untukmu mengenai kondisi Lady Aderyn," jelas tabib itu.

"Gennesy, ya?" sahut Wolfred dengan ekspresi berpikir. "Baiklah. Terima kasih informasinya, Mey'i. Akan kupikirkan dan bicara dulu dengan Ëlmyra soal ini."

Wolfred memerintahkan pelayan mengantar tabib itu keluar, sekaligus berpesan agar seorang penjaga mengantar pulang dengan kereta kuda. Ia kemudian menyuruh dua pelayan yang ada di situ untuk keluar dan menutup pintu. Kini, hanya ada dirinya, Ëlmyra, dan Aderyn di dalam kamar itu.

Dengan langkah pelan, Wolfred mendekat lalu berlutut dan memeluk Ëlmyra. Kedua matanya terpejam dengan sedikit bergetar saat ia berusaha menahan air mata. Ia menarik napas panjang lalu mengecup kepala Ëlmyra sebelum melepas pelukannya.

"Ayah akan menjemput tabib di Kota Gennesy. Ayah berjanji akan pulang secepat mungkin," ucap Wolfred sambil memegang kedua pipi Ëlmyra.

"Apakah aku perlu ikut denganmu?" tanya Ëlmyra dengan suara bergetar.

"Tidak perlu, Ëlmyra. Kau di rumah saja menjaga ibu. Untuk sementara waktu, jangan sampai ada yang tahu kalau ibu sakit. Katakan saja ibu ikut pergi dengan ayah ke Gennesy," sahut Wolfred lembut. "Jangan lupa untuk sarapan. Ayah tidak mau kau ikut sakit karena tidak mau makan ."

Ëlmyra mengangguk mendengar ucapan terakhir sang ayah. Ia menatap kepergian punggung ayahnya yang berjalan menjauh. Begitu sosok sang ayah menghilang di balik pintu yang tertutup, ia mengembalikan perhatian pada sang ibu. Beranjak duduk di tepi ranjang lalu mengamati wajah ibunya yang tampak tidur tenang.

Untuk beberapa saat, ia duduk diam menggenggam tangan sang ibu. Membiarkan saat seorang pelayan masuk bersama pelayan lelaki membawa potongan kayu. Udara di kamar menjadi lebih hangat saat api sedikit membesar. Ia tidak memikirkan apa pun lagi, selain ingin ibunya bangun.

"Myusé*?" Heemea masuk ke kamar lalu mendekat dan berdiri di kiri Ëlmyra.

"Aku tidak ingin bertemu siapa pun hari ini, Heemea. Bisakah kau menerima orang-orang yang datang untukku? Katakan apa saja pada mereka, asal jangan sampai memberi tahu kalau ibu sakit," ucap Ëlmyra pelan dengan suara sedikit bergetar.

"Baik. Akan kulakukan itu untukmu, tapi kau harus makan," sahut Heemea.

"Aku akan turun sebentar lagi. Tolong, jangan ada kue. Cukup makanan biasa saja dan aku harap kau mau menemaniku, Heemea," sahut Ëlmyra setengah meminta.

"Aku akan menemanimu, Myusé. Kalau begitu, aku akan turun dulu." Heemea pun keluar dari kamar itu.

Ëlmyra menatap sendu pada sang ibu. Setelah beberapa saat, ia pun beranjak menyusul Heemea. Menuruni anak tangga dengan langkah pelan. Begitu sampai di lantai satu, ia diam menatap rumah besarnya. Begitu sunyi dan sepi. Ia yakin sekali kalau semua sudah menyiapkan pesta untuk menyambut ulang tahunnya.

Ia menghela napas lalu beranjak menuju ke ruang makan. Duduk di kursinya yang biasa dan menatap makanan yang terhidang di meja. Ia tidak terlalu memiliki selera untuk makan, tapi tidak mau membuat Heemea sedih. Helaan napas lolos dari bibir sambil tangannya bergerak memilih makanan.

"Aku membuatkan pai anggur." Heemea masuk ke ruang makan lalu meletakkan piring yang dibawanya di dekat Ëlmyra. "Aku tahu kau tidak mau kue. Ini bukan kue.," lanjutnya sebelum sempat Ëlmyra membuka suara. "Selamat ulang tahun, Myusé."

Ëlmyra pun mengulas senyum dan menerima piring kecil berisi sepotong pai dari Heemea. "Terima kasih, Heemea," ucapnya.

Ëlmyra pun makan ditemani Heemea yang juga ikut makan. Hanya berdua ditemani lima pelayan yang berdiri diam di dekat dinding. Obrolan santai mengalir mengisi suasana ruang makan. Tidak terlalu ramai karena Ëlmyra dan Heemea mengobrol dengan suara pelan, tapi satu sama lain tetap bisa mendengar.

Saat makanannya nyaris habis, Ëlmyra mendengar suara derap langkah mendekat. Ia mengalihkan perhatian saat mendengar pintu dibuka. Menatap seorang pelayan yang mendekat lalu membungkuk.

"Maaf mengganggu, Myusé. Di luar ada Tuan Muda Adfyr yang ingin bertemu," ucap pelayan itu.

"Katakan padanya kalau Myusé sedang ke—"

"Aku akan menemuinya." Ëlmyra menyela ucapan Heemea. "Aku akan membuat pengecualian untuknya. Mungkin ia datang atas perintah ayahnya atau punya hal penting untuk disampaikan pada ayah," jelasnya pada Heemea.

"Baiklah. Aku akan membereskan meja. Panggil aku kalau ada apa-apa," sahut Heemea.

Ëlmyra meraih susu anggur dan minum sedikit, kemudian beranjak dari situ. Ia membiarkan pelayan tadi mengikutinya ke ruang tamu. Sambil berjalan, ia menghela napas beberapa kali dan mengatur ekspresi. Ia tidak mau sampai Adfyr melihat kesedihan di wajah dan matanya.

Sosok pemuda berwajah tampan tersenyum menyambut kedatangan Ëlmyra. "Selamat siang, Myusé," sapanya dengan nada ramah dan lembut.

"Selamat pagi menjelang siang, Tuan Muda Adfyr." Ëlmyra membalas senyuman pemuda itu lalu berhenti beberapa langkah di depannya. "Ada yang bisa kubantu? Hanya ada aku dan Heemea di rumah. Orang tuaku sedang ke Genessy untuk suatu urusan."

"Aku memang datang dengan tujuan menemuimu untuk mengucapkan selamat ulang tahun." Adfyr mendekat lalu meraih tangan kanan Ëlmyra dan memberikan kecupan kecil. "Aku terkejut karena tidak ada hiasan atau persiapan pesta di rumah," ucapnya setelah menegakkan tubuh kembali.

Ëlmyra mengulas senyum kecil dan menarik pelan tangannya dari genggaman Adfyr. "Memang tidak ada pesta. Ada hal yang harus kulakukan dan aku sebenarnya tidak menerima tamu. Pengecualian untumu karena kupikir kau membawa berita penting dari wali kota," ucapnya.

"Aku hendak mengajakmu jalan-jalan sore, Myusé," ucap Adfyr tetap dengan senyuman.

"Aku sedang ada kesibukan lain. Jadi, maaf, aku tidak bisa menerima ajakanmu," sahut cepat Ëlmyra tetap dengan sopan.

"Ëlmyra, aku—"

"Kau mendengar ucapan Myusé, Tuan Adfyr. Situasi di rumah sedang tidak baik. Pergilah! Kau bisa datang lagi saat semua sudah lebih tenang." Pelayan yang berdiri di kanan Ëlmyra akhirnya angkat bicara.

Rahang Adfyr mengeras mendengar ucapan pelayan itu. Ia sedikit mengangkat dagu dengan sorot mata tajam. Tidak senang mendengar ucapan pelayan Ëlmyra yang menurutnya amar sangat kurang ajar.

"Berani sekali kau berkata seperti itu padaku? Kau hanya pelayan! Jaga sikapmu!" sentak Adfyr.

"Kau yang seharusnya menjaga sikap, Adfyr!" Ëlmyra balas membentak dengan tatapan tajam karena tidak senang mendengar nada bicara Adfyr. "Ini rumahku! Berani sekali kau membentak pelayanku!"

Ëlmyra melemparkan tatapan tajam dan penuh amarah pada Adfyr. Hatinya sedang kalut karena khawatir pada sang ibu. Emosinya cukup mudah terpancing saat pikirannya sedang kalut. Ditambah ia memikirkan ayahnya yang sedang jauh dari rumah.

Sementara itu, Heemea sedang membereskan sisa makanan dibantu dua pelayan lain. Ia tidak mendengar keributan di ruang depan karena cukup jauh. Perhatiannya teralih saat mendengar derap langkah mendekat dan pintu ruang makan terbuka. Menatap seorang pelayan yang mendekat.

"Maaf mengganggu, Sieverthe*. Myusé Ëlmyra dan Tuan Adfyr bertengkar di ruang depan."

"Bertengkar?" Dahi Heemea berkerut mendengar laporan pelayan itu. "Bantu yang lain membereskan sisa makanan! Aku yang akan mengurus mereka!" titahnya.

Heemea berjalan cepat keluar dari ruang makan menyusuri lorong ke ruang depan. Saat makin mendekat, ia mulai mendengar suara-suara. Ia sampai di pintu lorong memelankan langkah. Kedua manik biru langitnya memperhatian gerak-gerik sang putra tunggal wali kota itu.

"Berani sekali kau mengusirku? Setelah semua yang dilakukan ayahku pada keluargamu, kau berani bersikap tidak sopan padaku?" Adfyr menatap dingin pada Ëlmyra.

"Me—"

"Semua yang didapatkan Myusé dan orang tuanya bukan karena ayahmu dan keluargamu." Heemea menyela ucapan Ëlmyra lalu berhenti di kanan. "Justru Tuan Wolfred mengangkat keluarga ayahmu karena kerendahan hatinya. Hanya saja, tampaknya itu semua salah melihat sikapmu saat ini. Tunggu sampai Myusé duduk di takhtanya dan saat itulah keluargamu akan hancur. Pergilah sebelum aku memerintah penjaga menyeretmu pergi dari sini! Atau akan terjadi hal yang membuatmu menyesal seumur hidup."

Ëlmyra tertegun dan menatap Heemea dengan tatapan bingung. Kemarahannya sirna seketika. 'Aku duduk di takhta? Apa maksud ucapan Heemea?' batinnya bertanya-tanya.

Catatan :

*Myusé : Nona

*Sieverthe : Kepala Pelayan

*Mey'i : Tabib