Keluar dari gerbong berbahaya itu, Odelie mendorong Alicia ke tembok—walau dorongannya tidak terlalu keras. Dia lalu menghentakkan tangannya di tembok tepat di sebelah kepala Alicia. "Kukira dirimu ayu, namun ternyata nakal juga, ya?"
"Maafkan aku, Odelie! Aku tadinya mau melaporkan sesuatu kepada Grand Master Haddock, tapi aku juga ingin berkeliling!" pinta Alicia.
Masih dengan wajah seriusnya, Odelie semakin mendekatkan wajahnya ke Crimsonmane yang tidak bisa mundur selain perlahan terjongkok. "Sepertinya dirimu harus dihukum, Crimsonmane Mungil."
Suara Odelie yang lembut dan pelan malah menambah hawa tak nyaman merayapi sukma gadis berkacamata sampai kedua kakinya menggeliat! "Dihukum—apa? Dengan segala hormat, Odelie, aku tidak menyentuh atau merusak apapun!" protes sang gadis.
Setiap kali Odelie Verdandi mengeluarkan suara, entah kenapa sesuatu di dalam Alicia selalu bergejolak, memintanya melakukan sesuatu. Suaranya memang lembut dan penuh afeksi, bahkan ketika ia marah.
Serius, ada apa dengan perempuan ini? Apakah ia memantrai dirinya atau semacamnya?
***
Kedua pasang kaki masih berderap menuju gerbong paling depan tempat Grand Magus berada. Mereka berdua berjalan sendiri-sendiri, tangan Alicia tak lagi digenggam oleh Odelie. Beberapa meter sebelum mereka meraih pintu, Alicia mengutarakan sesuatu.
"Aku sekali lagi minta maaf karena sudah menerobos masuk ke tempat yang tak seharusnya."
"Ya, bukan berarti aku akan mengurungkan niat untuk melaporkannya kepada Grand Magus," tegas Odelie.
"Tidak masalah, Odelie, laporkan saja. Aku hanya ingin minta maaf."
Derapan kaki tersebut tiba-tiba berhenti melantun di tengah lorong. Penasaran, Odelie memalingkan wajahnya ke wajah tanpa ekspresi sang gadis.
"Kau yakin, nona? Tidak ada maksud tersembunyi? Tidak berniat membuat hatiku luluh?"
"Odelie, ayolah. Memangnya hal buruk apa yang terjadi? Diusir dari kereta? Dimarahi Grand Magus? Aku baru saja mengalami perlakuan yang lebih buruk dari Necromancer tadi."
"Ah, iya, aku baru ingat! Bodohnya aku lupa atas perlakuan penyihir bedebah itu," Sang astrolog kembali melakukan sesuatu yang membuat Alicia tidak nyaman—menggenggam kedua lengannya tiba-tiba. "Maafkan aku kalau aku tidak peka! Kau berhasil meluluhkan hatiku, Crimsonmane Mungil. Kita akan merahasiakan kejadian tadi dari siapapun agar kau tetap tenang."
Setelah mengutarakan kalimat-kalimat lembut yang tersirat rasa kasih sayang, Odelie hendak menarik sang gadis untuk mendekapnya sebagai bentuk penghiburan. Untunglah Alicia cepat sadar kalau wajahnya akan mendarat di kedua dada ranum sang astrolog jika ia berserah begitu saja. Ia pun segera menarik diri ke arah sebaliknya.
"Odelie! Odelie, tidak perlu! Aku baik-baik saja" tegas Alicia.
Pintu depan gerbong bergeser, menampilkan Grand Magus Haddock yang sepertinya mendengar krasak-krusuk di balik ruangan. Kedua lengan Alicia masih tercengkram dan ia hampir saja menempel dengan tubuh sintal Astrolog berambut pirang itu. Keduanya terpaku dalam diam, saling berbalas tatap dengan Haddock.
"Uh, halo, Nona-Nona. Apa aku menganggu privasi kalian?"
"A-apa? Tidak!" Alicia menampik kedua tangan Odelie dan merapikan pakaiannya dengan secercah perasaan malu. "H-hanya … pembicaraan antar g-gadis …?"
"Benar, hanya pembicaraan antar gadis," Odelie mendukung sang gadis sambil memberinya kedipan. Tubuh Alicia seketika menegang. "Ada apa, Haddock? Kau ingin bergabung juga?" tanya Odelie.
"Aku tidak punya waktu untuk itu," jawab Haddock, lalu menyuruh mereka masuk. Suasana di dalam gerbong ini lebih ramai daripada gerbong yang pernah Alicia jelajahi. Banyak penyihir dan petugas kereta lalu lalang di tempat tersebut. Belum lagi beberapa jenis binatang turut meramaikan gerbong tersebut, mengantarkan surat dan dokumen ke baris-baris meja. Alicia dan Odelie mengikuti langkah kaki Haddock menuju ruangan paling ujung di lantai bawah—kantor pribadi Grand Magus.
Kantor pribadi dalam kereta mewah itu tak kalah berantakannya dengan yang di Skycastle. Namun setidaknya tidak ada perkakas acak yang tak seharusnya berada di sana layaknya ruangan lamanya dulu.
Haddock menyandarkan diri di meja. "Baiklah, dengan adanya Alicia di sini, aku berasumsi kau telah membaca seluruh isi buku."
"Tentu saja sudah," ujar Alicia. "Walaupun aku masih sedikit kewalahan oleh ramalan tersebut. Diriku masih percaya tidak percaya Nostradame dapat mendeskripsikanku secara akurat—"
"Sepuluh persen akurat," potong Haddock, "Baru tanda luka di tanganmu yang terbukti benar. Kita belum tahu gambaran jelas akhir dunia yang dimaksud seperti apa, nasibmu selanjutnya bagaimana, bahkan cara kita mengenali dan menemukan anak yang lain! Tapi aku mengerti perasaanmu, Nak. Kalau memang ramalan ini legit, Magisterium pasti akan membantumu memenuhi apa yang ditulis di buku itu."
"Aku mengerti. Aku mungkin juga harus menyimpan buku ini sedikit lebih lama, jika Grand Magus berkenan."
"Ya, tentu saja. Kau bahkan boleh memilikkinya. Ada lagi?"
Alicia membuka buku tersebut kembali. Ia kemudian mengarahkan satu halaman ke hadapan Grand Magus—halaman terakhir mengenai nubuatan Enam Anak. "Bagaimanapun, aku merasa terganggu dengan ini. Aku mengerti jika Anak Kegelapan ingin menyingkirkanku. Tapi… apakah aku juga perlu 'menyingkirkannya' pula?"
Haddock melihat kembali halaman tersebut lekat-lekat—sekedar menyegarkan ingatannya. "Oh, begitu. Ya tentu saja kau harus melakukannya," katanya.
Ekspresi kurang puas terpampang pada roman Alicia. "Tapi aku merasa tidak enak jika harus membunuh seseorang."
"Hei, kau adalah penyihir sekarang, ingat? Kau harus melakukan tugasmu sekalipun itu membuatmu mempertanyakan moralmu."
"A-aku tahu! Hanya saja … apakah tidak ada cara lain agar tidak perlu ada yang dikorbankan dari enam anak ini? Bagaimana kalau aku bisa membebaskannya dari pengaruh Khaos atau semacamnya?"
"Diriku merasa yakin jika Anak Kegelapan tersebut pasti telah mengambil banyak nyawa, bahkan sebelum kalian kelak bertemu. Jadi aku merasa aneh jika dirimu bersimpati kepadanya!"
Gadis Crimsonmane kehilangan kemampuan membantahnya. Bagaimanapun juga, ia tetap tidak bisa meyakinkan hati kecilnya untuk menerima fakta bahwa salah satu dari mereka harus mati untuk menentukan bagaimana nasib bumi nanti. Dia merasa ia harus berbeda dari pengendali Arcane yang lain—yang dengan kekuatan suci tersebut, rela mengotori tangan mereka dengan darah jika hal itu diperlukan. Arcane adalah daya bersumber dari Ilahi, pasti ada cara ia bisa menyelesaikan kontestasi tanpa mencabut nyawa seseorang!
Kebimbangan sang anak terpilih justru akan berbahaya jika dibiarkan terus. Haddock mencoba melunakkan dirinya, memberikannya sedikit kalimat penghibur.
"Kalaupun ada kemungkinan membiarkan Anak Kegelapan tetap hidup, itu tergantung bagaimana situasi dan kondisi saat itu. Namun karena ramalan Nostradame tidak menyebutkan hal itu lebih lanjut, kau tetap harus bersiap untuk skenario terburuk."
Alicia mengangguk patuh. "'Terkadang pengorbanan satu orang diperlukan demi keselamatan seluruh bangsa'," tutur sang gadis mengutip sepatah kalimat petuah. "Baiklah, Grand Magus. Aku akan berusaha yang terbaik."
Haddock melayangkan senyuman kecil padanya. "Anak pintar." Ia menambahkan lagi, "Dan satu lagi, Alicia. Walaupun Nostradame adalah astrolog terburuk sepanjang masa, aku mempelajari ada orang-orang yang ikut menelusuri ramalan akan Enam Anak ini. Orang-orang berbahaya, termasuk Agosh Grendi. Kau harus sangat berhati-hati."
"Aku tahu, aku baru saja berbicara dengannya tadi," Alicia mengakui dengan santainya.
"Apa?" suara Haddock naik setengah oktaf. "Aduh, Alicia! Padahal aku baru saja memintamu untuk tidak gegabah!"
"A-aku minta maaf soal itu. Sungguh."
"Apa yang kau bicarakan dengannya?"
"Kami hanya berbicara sedikit tentang ramalan tersebut. Tapi dia lebih sering menggertakku dengan cemoohnya. Mengatakan bahwa aku lebih baik menyelamatkan dunia dengan caranya ketimbang nubuatan Nostradame."
"Dan kau termakan dengan semua perkataanya?"
"T-tidak, tentu saja tidak!"
Haddock menghela nafas sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu ini! Yasudahlah, kembali saja ke tempatmu sambil menunggu perjamuan malam. Dan tolong, Alicia, demi Kesunyian Ilahi, jangan mengunjunginya lagi! Orang itu akan memanipulasimu sebelum kau sempat menyadarinya!"
"Aku mengerti, Grand Magus. Aku sangat menyesal!" Alicia menunduk dan berbalik ke pintu keluar.
***
Silau mayapada berganti redup rembulan. Jamuan makan malam mewah harusnya mampu membuat para penumpang budiman menyambut kantuk, terlelap ketika menghantam kasur. Ini tidak berlaku bagi gadis Crimsonmane yang masih merenung nasib. Alicia sedang menikmati tiupan angin di jendela lantai atas gerbong bersama sahabat bolanya. Sementara menatap pohon pohon menjulang, ia mendengar sesorang menggeser pintu. Tampak kepadanya Odelie yang kelihatannya baru saja dari gerbong terungku Agosh Grendi.
"'Dik Alicia?" sapanya "Belum tidur?"
Gadis muda itu menggeleng. "Belum ngantuk."
"Bosan di perjalanan, ya?"
Alicia tidak menjawab, mengimplikasikan jawaban untuk sang astrolog. Matanya masih terpaku pada pemandangan alam yang ditawarkan. Ia seperti mengharapkan ada monster yang tiba-tiba menampakan diri, agar setidaknya ada sedikit bumbu aksi di malam yang jenuh ini.
Odelie kemudian terpikir sebuah usul. Dengan lembut ia mengalunkan bisikan yang merangsang telinga Alicia. "Alicia, mau melakukan sesuatu yang menarik di kamarku?"
"H-HA?" Alicia langsung melompat dengan muka yang memerah. Lagi-lagi dengan pesona sensual nan genitnya! Cara berbicaranya yang ambigu membuat siapaun terjebak dalam putaran roda kebimbangan—tak dapat menerka apa intensi sang gadis sebenarnya. Baik laki-laki atau perempuan, siapa yang tak tergila-gila ketika mendengar rayuannya yang menggoda?
Mengira gadis Crimsonmane menolak, ia berkata lagi, "Kejauhan, ya? Hmm… atau kita bisa melakukannya di kamarmu saja—"
"O-Odelie, cukup!" Alicia menegurnya keras sehingga Odelie pun membatu dalam keadaan menganga. "Dengan segala hormat, Odelie, aku tidak bermaksud membentak seorang senior. Tapi kumohon, berhenti berbicara kepadaku seperti itu! Kau membuatku merasa aneh, dan ini jelas-jelas salah!"
"Tapi aku kan cuma—" Odelie merenung sesaat. Lantas tawa dirinya memenuhi lorong gerbong, semakin lepas ketika melihat muka gadis malang yang kebingungan. "Anak jaman sekarang. Laki-laki, perempuan, sama saja. Pikirannya selalu kemana-mana. Aku tidak bermaksud apa-apa, sayang. Kecuali…."
"TIDAK!"
Besar hasratnya untuk mempermainkan emosi Alicia lebih lanjut. Namun ia meredam keinginan tersebut. "Maaf, Alicia. Bukan itu maksudku. Aku ingin mengajakmu membaca takdir lewat kartu tarot!" Odelie mengeluarkan sekotak kecil berwarna putih yang tampaknya berisikan satu set kartu. "Kupikir kau ingin melihat sedikit cara kerja seni Astrologi."
Alicia belum berani menanggapi tawaran tersebut. Barangkali karena caranya berlebihan, membuat gadis kecil itu takut.
"Mungkin kau belum tertarik. Tidak apa-apa, Alicia. Maaf mengganggu malammu, ya."
"T-tunggu…!" seru Alicia ketika Odelie berbalik. Wajah mulusnya masih penuh rona. "Aku mau melihatnya, di kamarku. Tapi tidak ada hal yang aneh-aneh!"
Odelie tersenyum puas. Mungkin sedikit godaan kecil—sedikit saja—tidak akan mengganggu?
"Baiklah, tidak ada hal yang aneh-aneh. Kecuali kau meminta—"
"Jangan harap!"
Keduanya turun ke kamar Alicia. Odelie yang masuk duluan langsung duduk di lantai dan mengeluarkan semua kartu itu dari kotaknya. Alicia tidak mau ketinggalan, ia membuka tas dan mengambil buku catatan dan alat tulis. Tidak mungkin ia melupakan pengalaman magis ini untuk dilaporkan.
Sambil mengocok kartu, Odelie melayangkan Crimsonmane mungil sebuah pertanyaan, "Kau sering mendengar para penggiat seni mistis Astrologi menerima bisikan dari bintang-bintang, bukan?"
"Mama pernah mengatakan itu. Beliau bilang tiap astrolog punya satu bintang sebagai temannya," jawab Alicia.
"Aww, kata-kata Ailsa benar-benar menggemaskan! Tapi benar, kami Astrolog terkadang suka berpikir bahwa kami punya satu bintang yang melindungi hidup kami. Walaupun kenyataannya bintang tidak seakrab itu."
Alicia menjadi penasaran, "Lalu bagaimana cara kalian berkomunikasi dengan bintang?"
"Secara teknis kita tidak melakukannya." Setelah berkata demikian, Odelie mengatupkan mata. Dirinya masih mengocok kartu sesaat sebelum menjabarkannya di lantai. Semua permukaan kartu yang tampak hanyalah kanvas mini putih kosong.
"Kami menggunakan mana kami agar bisa terhubung dengan pemilik mana yang lebih besar, lebih besar dari tatanan semesta, bahkan dari dewa—Keberadaan. Ia dapat kita rasakan walaupun tidak kita rasakan. Kita tau karena kita ada. Dan karena kita ada, maka disitulah Keberadaan. Kami percaya Keberadaan itu lebih besar dari ilah manapun, karena ia melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh para dewa: menulis takdir."
"Tunggu dulu…," potong Alicia. "Apakah Keberadaan ini pada dasarnya adalah Ilahi yang Sunyi?"
"Banyak teori yang bertebaran tentang hal itu, memang. Mau bagaimana lagi, sesembahan kaum barat seperti Camelot dan Kekaisaran Abadi sama abstraknya dengan konsep entitas Keberadaan. Tapi kami belum mempercayai teori tersebut. Aku percaya akan Kesunyian Ilahi, tapi Keberadaan lebih dari sekedar dewa …."
"Hm… Karena kalian tidak menganggap Keberadaan sebagai sesembahan?"
"Dik Alicia pintar! Dewa mungkin maha tahu akan takdir, tapi Keberadaan-lah yang menciptakan takdir. Dewa menguasai dan memerintah, namun Keberadaan, dia berpikir dan menonton. Pikirannya menciptakan alur cerita mengenai semesta yang bercabang, dan Keberadaan menonton bagaimana arah riwayat suatu semesta berjalan sesuai dengan cabang yang dilalui layaknya ekperimen tanpa kesimpulan akhir."
Kamar Alicia hanya memiliki satu penerang dekat meja dan satunya lagi di dekat pintu gerbong. Namun sorotan mereka harus direbut oleh taburan debu bintang penuh campuran warna yang muncul dari ketiadaan—buah karya dari Odelie dari semacam meditasi yang ia lakukan. Tidak mungkin Alicia tidak tersenyum lebar dan matanya berseri-berseri melihat fenomena ini.
Sementara Alicia terpana, Odelie melanjutkan lagi, "Astrolog mencoba berhubungan dengan Keberadaan bukan untuk bersatu dengannya—karena kita sendiri adalah bagian dari Keberadaan—tapi untuk ikut menyaksikan jalan takdir menurut kacamata Keberadaan. Dengan mengetahui kisah kreatif apa yang dituangkan oleh Keberadaan, kita mendapatkan secercah ilham akan apa yang telah, sedang, dan hendak terjadi pada seseorang atau suatu peristiwa. Semua ilham itu dideskripsikan dengan kemampuan indera manusia melalui tanda-tanda di sekeliling kita. Melalui tanah, bintang, bahkan di kartu kosong ini."
Seperti anak kecil, Alicia menyambung dengan semangat. "𝘌𝘳𝘨𝘰, ramalan!"
Taburan emas yang mengitari ruangan seketika turun ke atas permukaan kartu layaknya gumpalan salju. Gumpalan itu menutupi hamparan kartu lalu sirna menjadi kabut emas yang tersebar ke penjuru kamar.
Alica bertanya kembali, "Jadi, apa yang akan kita lakukan dengan kartu-kartu ini?"
Odelie menjawab, "Kita akan melihat sekilas masa depanmu, tentu saja!" []