September 1997
Namaku Rangga Tham. Murid SMK kelas XI yang biasa-biasa aja. Muka nggak tampan dan sikap bak rakyat jelata aja cukup buatku. Lewatkan perkenalan sisanya. Itu saja yang perlu kalian tahu untuk saat ini.
"Oi, Rang. Kamu nggak makan?"
"Makan dong, Dir! Kamu pikir aku nggak lapar?"
Aku menyikut teman dekatku yang duduk di atas meja. Dirga Banyuki—— Anak populer tingkat dewa sekaligus temanku dari SD. Mengenalnya seperti luar dalam, dia adalah anak paling keren di satu sekolah ini.
Gaul, pintar, baik, tampan, pokoknya tipikal cowok keren lah- Bodoh amat deskripsi selanjutnya!!
"Dir, udah kerja PR belum?"
"Kamu belum kerja, Rang?"
"Udah kok- Cuman minta cross check aja. Memang aku ini pengemis harus minta semuanya dari kamu?"
Dirga terkekeh geli. Menarik tanganku, ia menyeretku menuju kantin yang seramai pasar ikan. Tidak- lebih ramai daripada itu.
Sekolah Bunga Senja adalah sekolah yang menyediakan berbagai jenjang pendidikan. Mulai dari TK, SD, SMP, SMA, SMK, hingga universitas Bunga Senja, semuanya tercakup dalam satu yayaysan pendidikan.
Dikarenakan banyaknya tingkatkan dan kelas, yayasan yang terkadang kekurangan uang dan halaman untuk membangun gedung baru, kami— Siswa-siswi SMK Bunga Senja terpaksa tetanggaan dengan anak SMA yang meminjam segala fasilitas kami.
Asal kalian tahu saja, hubungan anak-anak SMK dan SMA Bunga Senja itu bagai kucing dan tikus. Kedua pihak sama-sama bermuka dua.
—— Dan disinilah Dirga berperan penting sebagai penegah dari kedua sekolah ini. Statusnya sebagai ketua OSIS pun sangat membantunya.
"Hadeh.. Ada apa ribut-ribut disini? Ini kantin sekolah bukan warung kopi- Jangan buat keributan nggak penting deh"
Yah.. walaupun aku kasihan padanya juga setiap hari harus menegur mereka. Tidak ada habisnya. Dirga bisa saja tidak menghentikan mereka, tetapi ia bakalan ditegur oleh kepala sekolah karena tidak meleraikan mereka.
Itu aneh bagaimana masalah kecil seperti ini bahkan dilimpahkan kepadanya. Bukan cuman itu saja, tapi dampaknya juga dirasakan oleh Dirga dan aku sebagai teman dekatnya.
"Dir, nggak perlu omel mereka terlalu banyak. Mereka harusnya bisa sadar sendiri"
"Cih, itu mah gampang kalo mereka nggak sengaja memprovokasi satu sama lain"
"Ditegur ajaa. Nggak perlu repot-repot sampai begituan. Kamu nggak merasakannya?"
Dirga melirik ke seisi ruangan. Semua perhatian mata tertuju padanya dan aku yang berada di sampingnya. Tentu saja tidak semua pandangan tersebut adalah tatapan kagum dan takjub. Kebanyakan dari tatapan itu adalah tatapan tidak senang akan keberadaannya di kantin.
"Biarin ajalah- bukannya aku mau ikut campur masalah mereka juga," ujar Dirga sembari membeli bekalnya. "Kamu nggak beli?"
"Udah tadi pagi," jawabku, mendorongnya keluar dari kantin sebegitu ia selesai jajan agar atmosfernya tidak memburuk.
Kami berdua lalu duduk di tempat nongkrong biasanya. Tidak lain adalah tangga menuju atap sekolah. Tidak mungkin kan kami secara literal makan disana siang bolong di atap?
Sambil mnghabiskan makan siang, kami berdua mengobrol. Curhat-curhatan, tertawa-tawa.. Kalian pasti tahulah maksudnya gimana..
"Ngomong-ngomong, aku dengar hari ini kau ditembak sama anak SMP. Gimana rasanya, Dir?"
"Pfft- Tentu saja aku menolaknya. Bukan bermaksud meremehkannya yaa"
"Yang benar? Cewek yang nembak kamu itu populer sekali lho! Cuman beda 2 tahun juga!! Kamu tahu nggak dia itu anak juara-"
"Iya, iya aku tahu. Aku kan sudah sering ketemu," Dirga menyelaku dan mendubrukku. Ia mengatakan ini bukanlah pertemua pertama mereka.
Sarah Roschaic—— Anak juara umum sekaligus ketua MPK SMP Bunga senja. Mana mungkin Dirga yang ketua OSIS SMK tidak kenal dia. Kalau ada acara sekolah bersama, pasti ketemu sama dia.
Mengapa? Itu dikarenakan kami harus berbagi sebagian halaman kami dengan milik mereka. Jadi tidak heran kalau setiap hari Senin upacara bendera, Dirga selalu berpapasan dengannya melulu.
"Lalu, dia bukan style kamu ya? Sarah itu cantik banget lho~"
"Tidak sama sekali," jawabnya ketus. "Lagipula, aku kan cuman sekedar kenal ajaa. Dekat juga tidak. Masa aku mau jadian dengannya tiba-tiba?"
"Ih, jadian kan nggak perlu harus dekat dulu. Yang penting itu-"
BRAKK!!!
"!!!... Eh?"
"!!!... S, Suara apa itu?"
Aku dan Dirga terperanjat seketika suara hantaman sesuatu diatas lantai terdengar jelas. Sumbernya berasal dari atap. Namun sejauh yang kuingat, tidak ada orang lain selain kami yang pernah datang kemari.
Samar-samar, kami lalu dapat mendengar suara gaduh dari balik pintu atap yang tertutup erat. Ada seseorang diluar sana yang sedang bertengkar. Mendengar dari percakapan mereka, ini bukanlah sekedar masalah sepele.
Biasanya, kalau teman itu bertengkar.. yah mungkinlah sesekali kelepasan saling nonjok. Nggak jarang kok misalkan orangnya susah mengendalikan emosi atau kelewatan batas provokatornya.
Akhir-akhirnya muka jadi babak belur dan keduanya sama-sama dipanggil ke kantor kepala sekolah apabila tidak ada yang melerai. Siapa yang salah biasanya nggak ada yang mau ngaku. Tapi nggak tahu pihak mana yang yang salah, pokoknya pasti dua-duanya ada salah dalam kasus umumnya.
Tapi.. dari yang ku amati kali ini...
".. Dir, ini kita harus gimana? Kayaknya ini bukan sekedar pertengkaran antar teman deh"
"A, Apa maksudnya itu? Mereka hanya bertengkar"
"—— Ini adalah penindasan kan?"
.. Itu tidak masuk akal bagaimana pihak yang lain tidak melawan dan hanya bersikap tunduk terhadap kekerasan yang terjadi. Ini jelas sekali bukanlah pertengkaran, ini adalah perundungan.
Nggak mungkin dari segala alasan aku dapat mengakui bahwa yang terjadi di balik pintu ini hanyalah pertengkaran remaja. Walaupun suara mereka tidak jelas dan aku hanya bisa mendengar suara seorang lelaki meneriaki seseorang, aku tahu 1000% ini bukanlah hal yang wajar.
"Kamu nggak lapor ke guru?"
"Mengapa? Sudah kubilang ini hanya pertengkaran remaja kan? Aku nggak mau ikut campur dengan-"
"Ini bukan masalah ikut campur atau tidak- Kamu nggak bakalan nolongin?"
Dirga mengerutkan keningnya, menatapku aneh. Seakan-akan tidak setuju dengan perkataan ku, ia mengatakan ia tidak mempunyai alasan untuk ikut campur. Meskipun dia adalah ketua OSIS yang bisa meleraikan keduanya, ia tidak merasa perlu menghentikan apa yang terjadi.
"Bagaimana dengan tugasmu sebagai ketua OSIS?"
"Tugasku tidak berlaku pada perseorangan dan personal. Aku yakin sekolah pun tidak mempermasalahkan nya. Mengapa kau bersikeras menyuruhku?" Tanya Dirga, jengkel. "Ini juga akan berkahir begitu saja kok. Jangan dipermasalahkan dan dipedulikan. Kau tidak akan mendapatkan keuntungan dari hal ini"
Aku melebarkan mataku setengah centimeter. Nafasku tertahan dan untuk yang pertama kalinya, aku merasakan ucapanku salah. Ditempat pertama, ini memang bukanlah urusanku. Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi di atap.
Aku juga tidak mau terlibat dengan hal berbahaya misalkan itu akan berakhir padaku mencelakai diriku sendiri. Dirga ada benarnya. Aku tidak akan mendapatkan keuntungan sama sekali dari melerai urusan pribadi seseorang.
"Mengapa kau bersikap seperti ini? Ini tidak seperti biasanya"
"Apa maksudmu, Rang? Kau lah yang tidak bertingkah seperti biasanya. Apa kau sedang berdelusi?"
".... Tidak.."
Dari dulu, kupikir Dirga adalah orang hebat. Dia gaul, tampan, pokoknya cowok keren. Dirga itu seseorang yang kukagumi karena keberaniannya dan sikapnya yang kontroversial. Kalau dia nggak mau, dia katakan tidak. Kalau dia maju, ya terus maju. Ideal cowok keren.
Tapi kini aku mulai bertanya-tanya-
—— Apa itu sebenarnya cowok keren? Apa selama ini aku hanya memproyeksikan pandanganku padanya? Apa sebutan itu hanya omong kosong belaka karena aku tidak bisa mendeskripsikannya?
Entahlah. Aku tidak ingin mengetahui jawabannya. Aku akan merasa lebih puas tidak mengetahuinya karena aku yakin pertemanan kami akan pecah jika begitu.
"Haaa.. Rang, nggak usah susah payah mikir. Kalau kamu mau bantu, silahkan saja. Jangan menyuruhku menyelesaikan segalanya. Aku juga lelah tahu?"
Aku memang memilih hidup dalam delusi ya? Benar. Selalu saja.
"Aku tahu. Kau lelah."
Sayangnya, itu tidak penting. Alasan mengapa aku melakukan ini melebihi batas dari frasa 'cowok keren'.
"Dir, kau ini manusia kan?"
"Tentu saja! Makanya aku juga bisa lelah kan?"
".. Syukurlah. Panggilkan aku seorang guru kalau begitu"
"Huh? Apa yang ingin kau lakukan?"
Aku rasa itu wajar seorang manusia akan merasa sakit dan lelah. Itulah sebabnya kami ini manusia— makhluk hidup sosial yang memerlukan bantuan orang lain dalam situasi sulit.
Alasan mengapa aku bersikeras mempermasalahkan masalah ini, bukanlah karena Dirga atau 'cowok keren'.
—— Melainkan kemanusiaanku sebagai seorang manusia pecundang yang lemah.